Kamis, 12 November 2009

JURNAL
ISSN : 1907-5316
Vol. II, No. 1, Mei 2007
Vol. II, No. 1, May 2007
Hutan & Masy. Vol. 2 No.1 Hlm 263-328 Makassar Desember 2007 ISSN 1907-5316
ISSN : 1907-5316 Tahun KeduaTerbit : 2007 Jurnal Hutan dan Masyarakat Vol. III, No. 3, Desember 2008 Penanggung Jawab │Publisher Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Kepala Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Ketua Pengarah │Editor-in-Chief : Prof. Dr. Ir Yusran Jusuf, M.Si (Kebijakan Kehutanan) Wakil Ketua Pengarah│Vice of Editor-in-chief : Dr. Ir. Supratman, MP (Manajemen Hutan) Penyunting Pelaksana │ Editorial Staff : Risma Illa Maulany, S.Hut., M.Sc Ir. M.Asar Said Mahbub, MP Ir. Abd. Rasyid Kalu, MS Muhammad Alif KS, S.Hut, M.Si Tata Usaha dan Distribusi│Administration and Distribution Sultan, S.Hut Adriyanti Sabar, S.Hut Desain/Layout │Layouters : Sultan, S.Hut Alamat Redaksi │ Address :
Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Fak. Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. (0411) 589592 - (0411) 585917. Kampus Unhas Tamalanrea. www.fahutan-unhas.web.id
Email : bira_hut@yahoo.co.id
Hutan dan Masyarakat diterbitkan tiga kali setahun oleh Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar. Jurnal ini merupakan sarana komunikasi dan peyebarluasan hasil penelitian mengenai kebijakan, kewirausahaan, sosial dan ekonomi kehutanan. Forest and Society is published three times in a year by the Laboratorium of Policy and Enterpreunership of Forestry, Hasanuddin University, Makassar, Indonesia. The Journal is intended to be a vehicle for communicating and promoting the dissemination of research results concerning forest and enterpreunership of forest, social and economic of foresty.
ISSN : 1907-5316
PEDOMAN PENULISAN
JURNAL HUTAN DAN MASYARAKAT
1. Naskah yang dimuat adalah naskah asli berupa hasil penelitian, review, konsep pemikiran/gagasan ilmiah dibidang kebijakan, kewirausahaan dan ekonomi kehutanan dengan mencantumkan nama lengkap dan institusi dan alamat institusi penulis.
2. Naskah dapat ditulis dalam bahasa indonesia disertai dengan abstrak. Diketik satu setengah spasi, dan diserahkan kepada redaksi pelaksana yang disertai dengan CD yang dapat diedit dan melampirkan biodata singkat tentang penulis. Naskah dapat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Isi Naskah untuk yang berbasis pelatihan terdiri atas : ABSTRACT dengan Keywords, PENDAHULUAN, METODOLOGI PENELITIAN, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, dan DAFTAR PUSTAKA untuk naskah bahasa Indonesia. untuk naskah bahasa Inggris, terdiri atas ABSTRAK dengan Kata Kunci, INTRODUCTION, METHODOLOGY, RESULT AND DISCUSSION, CONCLUSSION dan REFERENCES.
Isi Naskah untuk yang berbasis review dan konsep pemikiran dalam bahasa Indonesia, terdiri atas minimal : ABSTRACT dengan Keywords, PENDAHULUAN, setelah pendahuluan dapat disertakan bagian lain sesuai dengan onteks dan kategorisasi isi naskah) KESIMPULAN dan DAFTAR PUSTAKA. Begitupun dengan naskah bahasa Inggris terdiri atas minimal : atas ABSTRAK dengan Kata Kunci, INTRODUCTION, METHODOLOGY, RESULT AND DISCUSSION, CONCLUSSION dan REFERENCES.
3. Judul diibuat secara singkat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan huruf kapital dan jelas dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis (satu atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan huruf kecil. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis dan alamat lengkap instansi/institusi
4. ABSTRAK dibuat dalam bahasa Indonesia jika naskah berbahasa Inggris dan dalam bahasa Inggris jika naskah berbahasa Indonesia, isinya berupa intisari permasalahan, tujuan, rancangan penelitian dan kesimpulan yang dinyatakan secara kuantitafi atau kualitatif. Abstrak ditulis dengan hurufkecil miring dengan jarak 1 (satu) spasi. Keywords dan kata kunci masing-masing tidak lebih dari 9 kata.
5. PENDAHULUAN berisi : latar belakang, tujuan penelitian dan hipotesis (tidak harus ada)
6. METODOLOGI PENELITIAN berisi : waktu dan tempat, bahan dan alat, metode, rancangan penelitian (kalau ada), analisis data. Metode disajikan secara ringkas namun jelas
7. HASIL DAN PEMBAHASAN berisi : Hasil dan pembahasan, dibuat terpisah atau dijadikan satu
8. Tabel berjudul dalam bahasa Indonesia, judul tersebut harus singkat, jelas, dan terletak di atas Tabel yang bersangkutan, diikuti keterangan sumber data. Antar kolom/anak kolom terpisah cukup jelas
9. Gambar, Grafik dan Foto warna atau hitam/putih harus kontras, tajam, jelas,diberi keterangan, dengan ukuran paling kecil sebesar kartu pos.
10. KESIMPULAN disampaikan secara ringkas dan padat
11. Daftar Pustaka disusun alfabetis dengan mencantumkan : (a) untuk buku: Nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul lengkap buku, penyuntig (bila ada), nomor seri (bila ada), volume, edisi, penerbit, kota penerbit, (b) untuk terbitan berkala : nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul tulisan, nama beidak lebih dari 9 rkala, volume dan nomor,nama penerbit, kota penerbit
12. Redaksi menerima makalah melalui e_mail account: bira_hut@yahoo.co.id Setiap naskah yang diterima akan dinilai dan diedit oleh Dewan Redaksi.
ISSN : 1907-5316
DAFTAR ISI
Vol. II, No. 3, Mei 2007
Vol. II, No. 3, May 2007
Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Kawasan Hutan Di Desa Borisallo Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan
Community Interdependency Level towards the forest area in Borisallo
Village of Parangloe District, Gowa Regency, South Sulawesi
Yusran dan Nurdin Abdullah………………………………………………………. 127-135
Analisis Deskriptif Pola Konversi
Hutan Kemiri Rakyat (Hkr) Di Kabupaten Maros
Descriptive Analysis of Conversion Pattern of
Community Candlenut Forest (Hutan Kemiri Rakyat-HKR) in Maros Regency
Syamsu Alam .................................................................................................... 136-144
Potensi Dan Karateristik Ekologi Provenansi Eboni
(Diospyros celebica Bakh) Untuk Pemuliaan Dan Konservasi Genetik
Potency and Ecologycal Characteristic Of Eboni Provenances
(Diospyros celebica Bakh) for Tree Improvement and Genetic Conservation
Muh. Restu……………………………………………………………………………. 144-150
Dinamika Tenur Dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Pada Sub
Das Minraleng Hulu Kabupaten Maros
The dynamics of land tenure and its influencing factors
in Sub-Watershed of Minraleng, Maros Regency
Muh. Dassir……………………………………………………………………………. 151-167
Komposisi Limbah Penebangan di Arel HPH
PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya
The Composition of Cutting Waste at PT. Teluk Bintuni
Mina Agro Karya Concession
A. Mujetahid, M………………………………………………………………………. 168-173
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Debit Sungai Mamasa
Analysis of Factors Influencing the River Discharge of Mamasa
Asikin Muchtar dan Nurdin Abdullah………………………………………………… 174-187
Studi Sosial Ekonomi Masyarakat pada Sistem Agroforestry di Desa
Lasiwala Kabupaten Sidrap
Study of Community Socio-Economic Aspects in Agroforestry System in
Lasiwala Village, Sidrap Regency
Iswara Gautama. ............................................................................................... 319-328
127
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135
TINGKAT KETERGANTUNGAN MASYARAKAT TERHADAP KAWASAN HUTAN DI DESA BORISALLO KECAMATAN PARANGLOE KABUPATEN GOWA SULAWESI SELATAN Community Interdependency Level towards the forest area in Borisallo Village of Parangloe District, Gowa Regency, South Sulawesi Yusran dan Nurdin Abdullah Abstract This study aims to identify forms of community activities inside the forest area, to calculate the incomes derived from each activity, and to calculate the contribution of the activities towards the total incomes of the community, and to identify the level of interdependency to the forest area. Data collection were conducted purposively with 25 respondents involved. The results of the study show that the forms and the average value of community activities in Lantaboko sub-Village inside the forest area in term of palm sugar making was Rp. 1,960,920,- (31.36 %). From other activities such as honey bee production was Rp. 80,200,- (1,28 %), and from rattan was Rp. 38,000,- (0.61 %). Paddy cultivation has contributed Rp. 964,280,- (15.42 %), while livestock was Rp. 1,574,240,- (25.17 %). Firewoods collection has resulted Rp. 254,960,- (4,08 %) and for construction wood was Rp. 564,000,- (9.02 %). From other forest products was Rp. 185,360,- (2.96 %). The community interdependency level towards the forest area can be categorized as high. This was because 89.9 % of the total incomes gained from the outside of the forest. Keywords : level of interdependency, palm sugar, community.
PENDAHULUAN Hutan berfungsi secara alami sebagai fondasi dan penyelaras kehidupan di atas permukaan bumi ini. Hutan di samping menghasilkan kayu, juga hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Hasil hutan non kayu berupa damar, rotan, bahan obat-obatan, dalan lainnya, sedangkan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara, serta sebagai tempat dan sumber kehidupan satwa dan makhluk hidup lainnya. (Sudana M.UA, dan Wollenberg E., 2001). Jumlah masyarakat Indonesia yang tinggal di dalam atau di pinggir hutan yang menggantungkan hidupnya dari hasil hutan sangat besar. Namun akibat aktifitas masyarakat dalam kawasan hutan cenderung tidak terkendali menyebabkan munculnya bencana dan kerusakan. Selain itu kebijakan pengelolaan hutan masa lalu yang tidak berjalan secara optimal telah menyisakan banyak permasalahan ekonomi, sosial maupun lingkungan. (Rangkuti. N, Ferdi, 2005).
Salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yang kondisi hutannya sangat memprihatinkan adalah Kabupaten Gowa. Dengan luas hutan sekitar 188.000 ha, seluas 28.000 ha merupakan lahan kritis
128
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135
(Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan, 2006). Kondisi tersebut disebabkan antara lain karena masyarakat masih memandang hutan semata-mata sebagai sumber pendapatan, terjadinya benturan kepentingan dan konflik pemanfaatan sumberdaya, pemanfaatan kawasan yang melampaui daya dukung kawasan, maraknya pemanenan dan perdagangan hasil hutan illegal (illegal logging) dan lemahnya penegakan hukum. Selain itu, kawasan hutan di wilayah Gowa banyak digunakan untuk menanam tanaman semusim dengan tanaman yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Dusun Lantaboko Desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Gowa yang sebagian besar penduduknya melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan. Umumnya masyarakat di wilayah ini menjadikan pembuatan gula aren sebagai sumber mata pencaharian utama. Selain itu, masyarakat masih memanfaatkan hutan dengan membuka lahan untuk bercocok tanam, memungut hasil hutan kayu dan non kayu. Berdasarkan hal yang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan di Dusun Lantaboko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa. Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi bentuk-bentuk aktivitas masyarakat dalam kawasan hutan.
2. Menghitung pendapatan masing-masing aktivitas dan konstribusi terhadap pendapatan total masyarakat.
3. Mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – April 2006 di Dusun Lantaboko Desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survei, wawancara, diskusi terfokus. Penentuan sampel dilakukan secara purposive dengan jumlah responen sebanyak 25 responden.
Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dan hasil wawancara kepada responden. Wawancara akan dituntun dengan daftar pertanyaan atau quisioner. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait berupa dokumen laporan dan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi
Desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa terletak pada poros Sungguminasa – Malino kurang lebih 54 Km dari ibukota kabupaten dan sekitar 15 Km dari ibukota kecamatan. Desa Lonjoboko termasuk dalam wilayah DAS Jeneberang dengan ketinggian rata-rata dari permukaan laut 350-800 dpl dan Desa ini memiliki luas 62,60 Km2 . Desa Lonjoboko meliputi Dusun Bontoloe, Dusun Galesong, Dusun Tombongi dan Dusun Lantaboko. Sampel penelitian di Dusun Lantaboko yang merupakan terluas yaitu seluas 32,08 Km2, dengan kepadatan penduduk rata-rata 4 jiwa/Km2. Jarak Dusun Lantaboko dari ibukota desa sejauh
129
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135
16 Km dengan waktu tempuh ± 120 menit.
Lahan yang dimanfaatkan oleh responden di dalam kawasan hutan diperuntukkan sebagai areal pemungutan nira, produksi gula aren, dan pembukaan lahan pertanian. Hal tersebut dikarenakan membuat gula aren merupakan mata pencaharian utama responden. Selain itu, kawasan hutan dimanfaatkan responden sebagai areal persawahan, perkebunan, pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu serta menggembalakan ternaknya secara bebas dalam kawasan hutan tanpa mengandangkannya. Areal persawahan hanya dikelola pada musim hujan saja karena sawah di wilayah ini merupakan jenis sawah tadah hujan. Mata Pencaharian Responden
Penduduk Dusun Lantaboko memiliki mata pencaharian utama sebagai pembuat gula aren, sedangkan mata pencaharian sampingannya adalah bertani, pedagang dan beternak. olongan mata pencaharian responden dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Responden Berdasarkan Mata Pencaharian di dusun Lantaboko
No
Mata Pencaharian Utama
Jumlah Responden (Orang)
Persentase (%)
1
Petani
8
32
2
Pedagang
1
4
3
Pembuat Gula Aren
16
64
Jumlah
25
100
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2006
Responden mengambil nira aren sebagai bahan membuat gula aren dari
Responden mengambil nira aren sebagai bahan membuat gula aren dari dalam kawasan hutan sedangkan bertani dilakukan di dalam dan di luar kawasan hutan.Responden yang memiliki mata pencaharian sebagai pembuat gula aren berusia produktif tua (11 responden), usia produktif muda (9 responden), dan usia non produktif (2 responden). Sedangkan tingkat pendidikan, tidak bersekolah (12 responden), tamat SD (7 responden), SMP (2 responden) dan SMA 1 responden. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara umum responden yang bermata pencaharian sebagai pembuat gula aren memiliki tingkat pendidikan yang rendah dengan kategori usia produktif tua. Hal ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pemberdayaan dan pembinaan mitra kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Bentuk-Bentuk Aktivitas Masyarakat Dalam Kawasan Hutan Penduduk Dusun Lantaboko pada umumnya melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan sebagai pembuat gula aren. Aktivitas lain adalah bertani, memanfaatkan hasil hutan kayu, rotan, madu, dan menggembalakan ternaknya di hutan. Jumlah pendapatan dari masing-masing aktivitas disajikan pada Tabel 2.
130
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135
Tabel 2. Rata-rata Pendapatan dari aktivitas responden Dalam Kawasan Hutan
No
Aktivitas
Pendapatan (Rp/Thn)
1
Membuat Gula Aren
1.960.920
2
Mengambil Madu
80.200
4
Memungut Rotan
38.000
5
Pemanfaatan lahan
964.260
6
Penggembalaan ternak
1.574.240
7
Kayu Bakar
254.960
8
Kayu Bangunan
564.000
9
Lain-lain
185.360
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2006
Membuat Gula Aren
Pohon aren yang tumbuh di dalam kawasan hutan sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Dusun Lantaboko secara turun-temurun. Proses pembuatannya dilakukan secara tradisional dengan memasak menggunakan kayu bakar yang juga diperoleh dari kawasan hutan. Nira aren disadap dari pohon aren setiap harinya selama 4-6 bulan/tahun. Penyadapan nira dilakukan secara bergantian pada pagi dan sore hari. Nira yang disadap pada pagi hari, ditampung dan diambil pada sore hari begitu pula sebaliknya.
Gula aren merupakan komoditi utama yang paling banyak menghasilkan pendapatan dibanding dengan komoditi lain yang ada di Dusun Lantaboko. Dalam sehari, responden dapat memproduksi 20 – 50 buah gula aren dengan rata-rata 35 buah gula aren per hari. Jumlah responden yang terlibat langsung dengan aktivitas pembuatan gula aren adalah 22 orang dengan nilai pendapatan per tahun yang tertinggi adalah Rp. 5.600.000,- dan yang terendah Rp 840.000,- atau rata-rata Rp. 1.960.920,-/tahun (tabel 12) dengan persentase pendapatan 31,36 % dari total pendapatan responden.
Madu
Selain aren, hasil hutan non kayu lainnya yang dimanfaatkan oleh responden adalah madu. Madu merupakan hasil hutan yang di dapatkan dari sarang lebah di hutan. Madu di percaya berkhasiat mengobati berbagai macam penyakit. Hasil hutan ini sangat digemari karena khasiat dan rasanya manis. Di dalam kawasan hutan Lantaboko banyak lebah yang bersarang, namun masyarakat hanya mengambil madunya pada saat musim kemarau saja.
Madu yang diperoleh dijual kepada masyarakat setempat atau ke pasar dan selebihnya dikonsumsi sendiri. Harga jual madu di pasar lokal Rp. 15.000/botol. Jumlah responden yang terlibat langsung dengan aktivitas pemanfaatan madu adalah 6 orang dengan pendapatan per tahun tertinggi adalah Rp 900.000,- dan terendah Rp 75.000. Persentase pendapatan rata-rata responden dari aktivitas mengambil madu sebesar 1,28 % dari total pendapatan responden di Dusun Lantaboko.
131
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135
Rotan Rotan yang tumbuh liar di kawasan hutan hanya digunakan sebagai alat pengikat dan dianyam untuk tempat pengumpulan gula aren yang sudah dimasak dan dicetak. Pekerjaan ini hanya pekerjaan sampingan yang dilakukan responden sambil memasak gula. Barang kerajinan ini tidak dipasarkan tetapi untuk konsumsi sendiri. Berdasarkan hasil wawancara, hanya 2 orang (8 %) responden yang memungut rotan. Jika diasumsikan harga rotan Rp. 25.000,-/ikat, maka rata-rata penghasilan dari mengambil rotan adalah Rp. 38.000,-/tahun. Sebenarnya banyak kerajinan yang dapat dibuat dari rotan dan bernilai tinggi, misalnya saja kursi, meja, pembatas ruangan, tirai dan tikar. Namun rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai kerajinan tangan sehingga hanya membuat untuk dipakai sendiri. Masyarakat harus diberikan pelatihan mengenai cara membuat kerajinan dari rotan dan diberikan bantuan dalam pemasaran hasil nantinya. Pemanfaatan lahan Kegiatan bertani sawah di dalam kawasan hutan dilakukan secara turun temurun, bak pada lahannya sendiri dan maupun mengolah lahan milik orang lain. Sawah yang berada di wilayah ini adalah sawah tadah hujan. Musim tanam padi berlangsung pada bulan Desember dan Januari, pemeliharaan dilakukan sejak bulan Februari hingga bulan April, dan masa panen berlangsung bulan Mei dan Juni.
Jumlah responden yang terlibat langsung dalam pengelolaan sawah adalah 23 orang dengan pendapatan tertinggi adalah Rp 2.400.000,-/tahun dan terendah Rp. 375.000,-/tahun. Hasil wawancara menunjukkan bahwa selain bersawah, lahan yang dimanfaatkan masyarakat di tanami dengan tanaman perkebunan seperti kopi, coklat, sayur dan buah. Namun, penghasilan dari perkebunan ini terus mengalami penurunan sehingga banyak masyarakat meninggalkan lahan mereka dan lebih memilih tanaman persawahan yaitu padi. Penggembalaan Ternak Ternak di wilayah ini di lepas bebas di sekitar hutan maupun di dalam kawasan hutan tanpa pengawasan. Petani menggiring ternaknya ke dalam hutan dan dibiarkan berkeliaran dalam hutan tanpa penjagaan. Pada saat akan dimulai persiapan lahan untuk menanam padi atau ada pembeli ternak barulah ternak tersebut akan dicari dalam hutan. Ternak dijual kepada masyarakat setempat dan ke konsumen yang datang langsung ataupun melalui pesanan. Harga jual ternak sapi tertinggi Rp.2.500.000,-/ekor dan harga terendah Rp 1.500.000,-/ekor. Persentase pendapatan rata-rata responden dari ternak sapi adalah 25,17 % dari total hasil pendapatan komoditi yang dimanfaatkan dari kawasan hutan di Dusun Lantaboko. Selain memberi konstribusi langsung, ternak juga dijadikan pembajak sawah oleh masyarakat serta digunakan untuk mengangkut hasil pertanian dan gula aren dari tempat produksi menuju ke rumah atau ke konsumen. Kayu Bakar
Masyarakat di Dusun Lantaboko masih menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak sehari-hari dan proses pembuatan gula merah. Kayu bakar diperoleh dengan beberapa cara yaitu memotong bagian-bagian tertentu dari pohon seperti ranting tau cabang, mengambil ranting-ranting pohon pada saat ada penebangan.
132
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135
Mereka mengumpulkan kayu dalam jumlah yang cukup banyak di musim kemarau untuk persediaan di musim penghujan. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa seluruh responden memperoleh kayu bakar dari dalam kawasan hutan. Selain itu diketahui pula harga kayu bakar di pasar lokal Rp. 1.500/ikat. Perhitungan pendapatan kayu bakar yang mereka gunakan dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari hasil perhitungan tersebut diketahui biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap rumah tangga jika seandainya mereka membeli kayu bakar yaitu rata-rata Rp. 254.960,-/tahun atau 4,08 % dari total hasil pendapatan komoditi yang dimanfaatkan dari kawasan hutan di Dusun Lantaboko. Dengan demikian konstribusi kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga cukup besar. Kayu Bangunan Mengambil kayu bangunan juga merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan responden pada kawasan hutan. Pemanfaatan hasil hutan kayu digunakan untuk membuat rumah dan perabot rumah tangga. Masyarakat mengambil kayu tersebut dalam kawasan hutan tanpa adanya penanaman kembali.
Kayu Uru (Elmerillia pubescens Dandy) banyak dijumpai dalam kawasan hutan pada wilayah ini. Kayu Uru yang nama lokalnya disebut kayu Bissu, yang paling banyak digunakan masyarakat untuk bahan bangunan rumah. Kayu Uru merupakan salah satu jenis kayu yang bernilai komersil, sehingga masyarakat biasa mengeluarkan kayu ini secara ilegal. Kayu yang ditebang menggunakan peralatan gergaji mesin (Chain Saw). Harga jual kayu pertukangan rata-rata Rp. 300.000,-/kubik. Jumlah responden yang terlibat dalam pengambilan kayu bangunan dalam kawasan hutan hanya 4 orang dengan pendapatan rata-rata dari aktivitas mengambil kayu adalah sebesar Rp. 564.000,-/tahun atau 9.02 % dari total hasil pendapatan responden di Dusun Lantaboko. Berdasarkan hasil pengamatan, di wilayah ini dapat dibudidayakan jenis kayu yang lain. Hal ini dapat dilihat dari kawasan penghijauan milik PT.Inhutani Gowa yang ditanami kayu-kayuan dengan jenis Jati Putih (Gmelina arborea), Sengon (Parasienthys falcataria), dan Akasia (Acacia mangium). Menurut responden, mereka mau saja menanam komoditi kehutanan di lahan mereka bila saja pemerintah memberikan bibit tanpa harus dibeli. Ketergantungan Masyarakat Terhadap Kawasan Hutan
Masyarakat Dusun Lantaboko menjadikan kawasan hutan sebagai sumber mata pencaharian. Pendapatan masing-masing aktivitas masyarakat dalam kawasan hutan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
133
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135
Tabel 3.Persentase pendapatan responden berdasarkan jenis aktivitas
No
Aktivitas Responden
Persentase Pendapatan (%)
Dalam Kawasan Hutan
Di Luar Kawasan Hutan
1.
Gula Aren
31.36
-
2.
Madu
1.28
-
3.
Rotan
0.61
-
4.
Pemanfaatan lahan
15.42
6.49
5.
Penggembalaan ternak
25.17
0.28
6.
Kayu Bakar
4.08
-
7.
Kayu Bangunan
9.02
-
8.
Lain-lain
2.96
2.97
Jumlah
89.9
9.74
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2006
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tingkat pendapatan masyarakat Lantaboko di dalam kawasan hutan jauh lebih tinggi (89,9 %) dibandingkan pendapatan di luar kawasan hutan (9,74%). Komoditi tertinggi pada pembuatan gula aren (31,36 %) dan terendah pada komoditi rotan (0,61 %). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keberadaan hutan bagi masyarakat Lantaboko. Sedangkan jenis aktivitas yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian berupa pemungutan/pemanfaatan hasil hutan dan pemanfaatan kawasan (PP No. 34 tahun 2002). Berdasarkan hasil wawancara, kendala yang dialami masyarakat antara lain lahan di luar kawasan tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sebagai salah satu wilayah yang dekat dengan kawasan hutan, sangat sulit bagi masyarakat melakukan ruang gerak pertanian dengan lahan yang sangat terbatas. Minimnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat menyebabkan masyarakat kurang menyadari pentingnya hutan lestari.
Kegiatan penyuluhan terhadap masyarakat mengenai fungsi hutan lestari dan peningkatan keterampilan perlu digalakkan. Ketrampila mengubah rotan menjadi kerajinan rumah tangga, meubel atau membuat makanan dan minuman yang berbahan dasar nira dan gula aren yang bernilai ekonomis seperti cuka, nata, kecap dan lain-lain.Sosialisasi teknik bertani/berkebun dengan pola cocok tanam yang sesuai juga penting untuk masyarakat di daerah ini (Sardjono, M. A. 1999.) KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Aktivitas yang masyarakat Dusun Lantaboko di dalam kawasan hutan adalah menyadap nira aren, mengambil rotan dan madu, dan menggembalakan ternak.
2. Rata-rata pendapatan aktivitas responden dalam kawasan hutan per tahun, adalah gula aren sebanyak Rp. 1.960.920,- (31.36 %), madu sebanyak Rp. 80.200,- (1,28 %), rotan sebanyak Rp. 38.000,- (0.61 %), padi sebanyak Rp. 964.280,- (15.42 %), ternak sebanyak Rp. 1.574.240,- (25.17 %), kayu bakar sebanyak Rp. 254.960,- (4,08 %), kayu
134
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1\: 127-135
bangunan sebanyak Rp. 564.000,- (9.02 %), dan hasil hutan lainnya sebanyak Rp. 185.360,- (2.96 %).
3. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan dikategorikan tinggi karena 89,9 % dari total pendapatan masyarakat Dusun Lantaboko berasal dari dalam kawasan hutan dan hanya 9,74 % dari total pendapatan masyarakat berasal dari luar kawasan hutan.
4. Kegiatan pemberdayaan masyarakat di Dusun Lantaboko melalui penyuluhan, pelatihan dan pendampingan perlu dilakukan secara terpadu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan.
5. Menjalin mitra kerja dengan produsen yang bergerak dalam industri pengolahan makanan berbahan dasar nira aren dan gula aren.
6. Membudidayakan tanaman untuk penggunaan kayu bakar.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2002. PP No. 34 tahun 2002.. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan, 2006. Kebijakan Kehutanan. Makalah pada Seminar Sosialisasi Kebijakan Departemen Kehutanan Kepada Perguruan Tinggi, Pemda, UPT di Universitas Hasanuddin, 9 Mei 2006. Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Rangkuti. N, Ferdi, 2005. Mencari Alternatif Ekonomi Lokal. Center for International Forestry Research, Jakarta. Sardjono, M. A. 1999. Mensiasati Keberhasilan Pengembangan Kebijakan Hutan Kemasyarakatan dari Kebijakan Menuju Penerapan. Makalah Disampaikan pada lokakarya Pengembangan HKm 29 – 30 September 1999 di Bogor. Direktorat Penghijauan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Sudana M., Uluk A., dan Wollenberg E., 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap Hutan di Sekitar Taman Masional Kayan Mentarang. Center for International Forestry Research, Jakarta.
135
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 127-135
Diterima 21 April 2007
Yusran Jusuf
Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan,
Fakultas Kehutanan,Program Studi Manajemen Hutan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Alamat Rumah : Perumahan Dosen Unhas Blok BG No 64. HP 08152517364
Nurdin Abdullah
Laboratorium Konservasi Sumber Daya Hutan,
Fakultas Kehutanan,Program Studi Manajemen Hutan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Alamat Rumah : Perumahan Dosen Unhas Blok B No 31 Telp. 0411-512255
136
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):136-144
ANALISIS DESKRIPTIF POLA KONVERSI
HUTAN KEMIRI RAKYAT (HKR) DI KABUPATEN MAROS
Descriptive Analysis of Conversion Pattern of
Community Candlenut Forest (Hutan Kemiri Rakyat-HKR) in Maros Regency
Syamsu Alam
Abstract
The purpose of this research is to investigate the conversion pattern of community candlenut forest (hutan kemiri rakyat-HKR) in Maros Regency. It was found that there were three categories of conversion in HKR area: temporary farming, permanent farming, and cocoa farming. Each of the conversion category had its own characteristics. However, the income obtained from the conversion activities was always higher compared to the income obtained from the HKR in all categories. The income sharing from HKR were as followed: temporary farming (22.43%), permanent farming (13%), and cocoa farming (27.29%). It seems that the income differential between conversion income and HKR income of the farmer became a driving factor that affect the level of conversion.
Keywords: community candlenut forest, conversion pattern, maros regency
PENDAHULUAN
Visi pembangunan jangka panjang kehutanan tahun 2006-2025 adalah “KEHUTANAN SEBAGAI PENYANGGA BERKELANJUTAN Tahun 2025”. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, seyogyanya pengelolaan hutan harus diarahkan pada peningkatkan pendapatan masyarakat, peningkatkan lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta peningkatkan fungsi hutan untuk kelestarian lingkungan.
Perkembangan jumlah penduduk yang semakin meningkat dari waktu ke waktu mendorong meningkatnya kebutuhan masyarakat akan bahan pangan, lapangan kerja, dan kebutuhan hidup lainnya hasil hutan, sehingga mendorong terjadinya konversi lahan hutan (alih fungsi lahan hutan ke penggunaan lahan yang lain). Kegiatan konversi lahan hutan tersebut menyebabkan berkurangnya fungsi produksi jasa lingkungan seperti pengatur tata air dan penyerapan karbon serta produksi langsung berupa kayu dan hasil hutan lainnya. Hal tersebut menimbulkan dampak terhadap banjir, kekeringan serta menurunnya kontribusi pendapatan dan penyerapan tenaga kerja sektor kehutanan.
Hutan Kemiri Rakyat (HKR) di Kabupaten Maros telah memberikan manfaat baik langsung (tangible benefit) maupun manfaat tidak langsung (intangible benefit). Manfaat langsung yaitu produksi biji kemiri dan kayu untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun untuk konsumsi luar negeri (pasar ekspor). Sedangkan manfaat tidak langsung yaitu produk jasa lingkungan (pengatur tata air dan penyerapan karbon). Kondisi HKR tersebut sedang mengalami proses konversi ke penggunaan lahan yang dianggap oleh petani lebih menguntungkan. Kegiatan konversi tersebut yang tidak terkendali akan berdampak kepada kerusakan (degradasi) HKR yang dapat menurunkan nilai manfaatnya. Selanjutnya Yusran (2005)
137
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 136-144
menyatakan bahwa konversi lahan hutan kemiri rakyat yang saat ini sedang berlangsung di Kabupaten Maros merupakan ancaman bagi kelestarian hutan kemiri. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pengetahuan pola konversi hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros diperlukan, guna penanggulangan konversi untuk mewujudkan pengelolaan HKR lestari. Penelitian ini mempelajari secara diskriptif karakteristik pola konversi HKR dan pola konversi hubungannya dengan faktor demografi, sumberdaya rumah tangga petani dan aksessibilitas lokasi. Dengan mengidentifikasi secara deskriptif pola konversi dan hubungannya dengan factor tesebut di atas, maka diharapkan mampu memberikan gambaran nyata yang bisa dijadikan referensi untuk strategi penaggulangan konversi hutan kemiri rakyat dalam mewujudkan pengelolaan hutan.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran awal karakteristik pola konversi hutan kemiri rakyat sebagai dasar penelitian selanjutnya. Pengetahuan tentang karakteristik pola konversi HKR dapat dijadikan masukan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada tiga kecamatan di Kabupaten Maros, ketiga kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Camba, Kecamatan Mallawa dan Kecamatan Cenrana. Pertimbangan dalam memilih lokasi penelitian yaitu : (1) Lokasi penelitian tersebut merupakan wilayah yang didominasi hutan kemiri rakyat ,(2) Lokasi tersebut sedang berlangsung konversi hutan kemiri rakyat ke penggunaan lahan yang lain. Pengambilan data dilakukan di perkampungan (dusun) yang masih terdapat hutan kemiri rakyat. Pengumpulan data lapangan, analisa data dan penulisan dilakukan selama tiga (3) bulan yaitu mulai bulan Maret 2007 sampai Mei 2007.
Populasi dan Teknik Sampel
Sebagai populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani yang terdapat pada ketiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Camba, Kecamatan Mallawa dan Kecamatan Cenrana. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa diwilayah ini didominasi hutan kemiri yang sedang terkonversi kepenggunaan lahan yang lain. Pengambilan sampel dilakukan secara acak distratifikasi (stratified random sampling). Yang pertama dilakukan adalah pemilihan kampung-kampung sampel yang akan disurvei secara purpossive yang didasarkan atas kriteria pola konversi HKR ke penggunaan ladang berpindah, ladang menetap dan kebun coklat. Dari 26 desa pada ketiga kecamatan tersebut terdapat sejumlah 92 kampung (dusun). Kampung-kampung tersebut dipilih 12 kampung secara purposive untuk masing – masing pola konversi HKR ke penggunaan lahan usaha tani lain. Sehingga terpilih sebanyak 36 kampung (dusun). Kemudian untuk masing-masing kampung dipilih secara acak petani responden sebanyak 10 orang. Dengan demikian jumlah responden untuk masing-masing pola konversi sebanyak 120 petani, sehingga total responden 360.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survei, yaitu metode yang bertujuan untuk meminta tanggapan dari responden. Beberapa metode
138
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):136-144
yang digunakan adalah, Wawancara dan studi literatur. Metode wawancara dilakukan guna memperoleh data dan informasi langsung dari sumber aslinya tentang kondisi/parameter yang hendak dikaji dalam suatu kuesioner yang terstruktur dan tidak terstruktur, sedangkan studi literatur untuk memperoleh informasi pendukung guna melengkapi data yang ada. Untuk mengetahui karakteristik pengelolaan HKR digunakan analisis deskriptif dengan data tabulasi dari hasil penelitian. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Konversi HKR
Hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros telah dikembangkan oleh masyarakat sejak tahun 1826 yang telah memberikan manfaat ekologi dan ekonomi bagi masyarakat setempat serta memberikan kontribusi bagi pengembangan ekonomi wilayah Kabupaten Maros. Kondisi HKR saat ini sedang mengalami proses konversi menjadi penggunaan lahan non kehutanan. Dampak dari kegiatan konversi tersebut telah dirasakan oleh masyarakat berupa kekekurangan air dimusim kemarau, baik untuk keperluan rumah tangga maupun untuk air irigasi.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan wawancara responden dapat diketahui bahwa ada 3 (tiga) pola konversi HKR ke penggunaan lahan non kehutanan yaitu pola penggunaan ladang berpindah, pola penggunaan ladang menetap dan pola penggunaan perkebunan (kebun kakao). Masing-masing pola konversi HKR tersebut mempunyai karakteristik tersendiri tentang luas dan persentase HKR yang terkonversi sejak tahun 1996 (sepuluh tahun terakhir). Perbedaan luas dan persentase konversi pada berbegai pola konversi HKR ke penggunaan lain terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas dan Persentase Konversi pada Berbagai Pola Konversi HKR
No
Uraian
Satuan
Nilai Rata-rata Pola Konversi HKR
Ladang Berpindah
LadangMenetap
Kebun Kakao
Gabungan
1.
2.
3.
4.
Luas HKR 1996
(10 thn terakhir)
Luas HKR 2007
(saat ini)
Luas HKR terkonversi
Persentase konversi
ha
ha
ha
%
1,39
0,89
0,50
43,41
1,03
0,72
0,31
45,20
2,11
1,33
0,78
39,00
1,51
0,98
0,53
42,56
,
Data yang disajikan pada Tabel 1 memberikan gambaran bahwa pola konversi HKR menjadi kebun kakao paling luas dibandingkan dengan pola konversi penggunan lahan pada ladang berpindah dan ladang menetap. Sedangkan yang paling sempit
konversinya adalah pola konversi HKR menjadi ladang menetap. Jika dilihat dari persentase rata-rata HKR yang dikonversi dari luas hutan kemiri yang dikuasai petani 10 tahun terakhir menunjukkan angka yang paling tinggi justru pada ladang menetap dan paling kecil pada pola konversi kebun kakao. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap pola konversi HKR ke penggunaan lahan usaha tani lain mempunyai
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
139
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 136-144
perbedaan rata-rata luas HKR yang terkonversi dan persentase konversi dari areal HKR yang dikuasai petani. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan karakteristik usaha tani pada masing-masing pola konversi. Penguasaan HKR oleh petani pada pola konversi HKR menjadi kebun kakao lebih luas dan pengelolaan kebun kakao tidak seintensif usaha tani pada pola konversi menjadi ladang menetap.
Hubungan Sumberdaya Rumah Tangga Petani dengan Pola Konversi
Kondisi sumberdaya rumah tangga petani ditinjau dari segi kemampuan menyediakan faktor produksi yang meliputi tenaga kerja keluarga, modal dalam arti kemampuan finansial serta lahan usaha disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Sumberdaya Rumah Tangga Petani
No
Uraian
Satuan
Rata-rata Pola Konversi
Ladang Berpindah
Ladang Menetap
Kebun Kakao
Gabungan
1.
2.
3.
4.
5.
Umur
Lama Pendidikan
Jml Anggota Keluarga
Luas Lahan
Pendapatan Perkapita
Tahun
tahun
orang
ha
Rp.000
44,1
5,0
5,0
2,0
1.046
46,1
7,8
4,6
1,8
2.117.3
43,3
7,2
4,3
2,6
2.136.1
44,5
6,6
4,6
2,1
1.767
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa petani (responden) rata-rata lama menempuh pendidikan 6,6 tahun, rata- rata umurnya 44,5 tahun dan rata-rata jumlah anggota keluarganya 4,6 orang. Jika dilihat dari kemampuan petani dari segi umur dan jumlah anggota keluarganya, maka kemampuan petani untuk melanjutkan usaha HKR masih memungkinkan, karena masih berumur produktif dan tenaga kerja keluaraga tersedia. Tetapi jika dilihat dari tingkat pendidikan petani dalam hal kemampuan menerima inovasi baru dan memperoleh informasi masih sangat terbatas, terutama pada petani yang melakukan pola konversi ke ladang berpindah.
Karakteristik pedapatan pada petani yang melakukan pola konversi ladang berpindah masih tergolong miskin. Hal ini dasarkan kriteria yang dikemukan oleh Sayogyo dengan menggunakan standar pendapatan
berdasarkan harga setara beras lebih kecil 360 kg beras. Pendapatan perkapita petani pada pola konversi ladang berpindah dengan petani konversi ladang mentap dan petani pola konversi kebun kakao dua kali lebih besar.
Hal tersebut menunjukkan bahwa petani yang melakukan konversi ladang berpindah tidak mempunyai kemampuan finansial untuk melakukan usaha tani yang padat modal. Pertanian ladang berpindah adalah merupakan pertanian yang kurang memerlukan modal, tetapi menggunakan banyak tenaga kerja. Hal ini sebagai penyebab utama petani tetap melakukan kegiatan perladangan berpindah.
Rendahnya tingkat pendapatan pada petani yang mengkonversi HKR menjadi ladang berpindah (petani ladang berpindah) dan tingkat pendidikan yang rendah serta jumlah anggota keluarga yang besar adalah merupakan acaman bagi kegiatan konversi HKR dan
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
140
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):136-144
kawasan hutan negara dimasa datang. Karena syarat untuk melakukan pertanian ladang menetap dan kebun kakao harus ditunjang dengan modal intensif dan kemampuan petani untuk menerapkan inovasi teknologi budidaya serta kemampuan memperoleh informasi untuk mengetahui kondisi pasar komoditi usaha tani kedepan dalam hubungannya dengan pemilihan jenis tanaman yang dipilihnya , terutama pada tanaman hortikultura seperti lombok dan tomat.
Hubungan Pendapatan Usaha Tani dengan Pola Konversi Karakteristik pendapatan usahatani pada berbagai penggunaan lahan meliputi : sawah, ladang menetap, ladang berpindah, kebun kakao dan HKR dengan pola koversi memberikan tingkat pendapatan yang sangat bervariasi. Tingkat pendapatan usaha tani dari berbagai pola penggunaan lahan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik Pendapatan Usaha Tani
No
Uraian
Satuan
Nilai Rata-rata Pola Konversi
Ladang Berpindah
Ladang Menetap
Kebun Kakao
Gabungan
1.
2.
3.
4.
5.
Pendapatan HKR
Pendapatan Konversi
Pendapatan Sawah
Pendapatan Total Usahatani
Kontribusi Pendapatan HKR
Rp
Rp
Rp
Rp
%
1.230,4
1.725,6
1.552,8
4.508,9
27,29
1.078,8
2.508,0
5.315,4
8.297,3
13,00
2.027,8
3.287,9
2.660
6.528,9
31,55
1.445,7
2.507,1
3.176,1
6.445,0
22,4
Data pada Tabel di atas menunjukkan bahwa pola penggunaan lahan sawah memberikan kontribusi pendapatan paling tinggi atau lebih 50 % dari total pendapatan usaha tani, kemudian disusul ladang menetap, kebun kakao, ladang berpindah dan yang paling rendah adalah HKR. Kontribusi pendapatan HKR terhadap total pendapatan usaha tani rata – rata sebesar 22,43 % dan yang paling tinggi pada pola konversi kebun kakao (31,11 %) dan paling rendah pada pola konversi ladang menetap, hanya sebesar 13 %. Rendahnya
pendapatan yang diterima petani dari usaha HKR merupakan faktor yang mendorong petani melakukan konversi HKR menjadi penggunaan lahan usaha tani yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi. Tekanan Penduduk Terhadap Lahan
Perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan rumah tangga petani mendorong untuk memanfaatkan lahan mereka yang lebih efisien dan memberikan pendapatan yang paling menguntungkan seperti data pada Tabel 4.
Sumber data primer, setelah diolah, 2007
141
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 136-144
Tabel 4.Hubungan Tekanan Penduduk Terhadap Lahan dengan Pola Konversi
No
Uraian
Satuan
Nilai Rata-rata Pola Konversi
Ladang Berpindah
Ladang Menetap
Kebun Kakao
Gabungan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kepadatan Penduduk
Rasio Orang-Sawah
Rasio Orang-Ladang
Rasio Orang Kebun
Rasio Orang-HKR
Persentase Petani
Jiwa/km
Jiwa/ha
Jiwa/ha
Jiwa/ha
Jiwa/ha
Persen
83,4
7,4
29,0
6,7
22,4
90,5
124,6
7,4
14,8
10,8
16,4
82,1
61,9
9,2
17,0
3,8
5,8
83,4
90,0
8,0
20,2
7,1
14,9
85,3
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kepadatan penduduk pedesaan pada masing-masing pola konversi HKR menjadi ladang menetap lebih tinggi dibandingkan dengan ladang berpindah dan kebun kakao. Yang paling rendah kepadatan penduduknya adalah pada pola konversi kebun kakao. Sedangkan rasio orang-lahan ladang dan kebun serta persentase penduduk yang bekerja sebagai petani memperlihatkan angka yang paling besar adalah pada pola konversi HKR menjadi ladang berpindah. Hal ini memberi gambaran bahwa pola konversi yang paling tinggi tekanan penduduknya terhadap lahan pertanian adalah pada pola konversi ladang berpindah, kemudian disusul dengan ladang menetap dan yang paling rendah tekanan penduduk terhadap lahan pertanian adalah pola konversi kebun kakao.
Kepadatan penduduk kurang 10 jiwa/km2, kegiatan perladangan berpindah masih memungkinkan dilaksanakan untuk dapat memenuhi kebutuhan subsistensi penduduk dan tidak merusak lingkungan (Ruf dan Lancon, 2005). Melihat keadaan
tekanan penduduk terhadap lahan pertanian menunjukkan angka kepadatan rata-rata penduduknya mencapai 90 jiwa per km2 yang berarti bahwa kegiatan perladangan berpindah, yang dapat menjamin kelestarian lingkungan dan memenuhi kebutuhan subsistensi penduduk tidak memungkinkan lagi. Rendahnya tingkat pendapatan dan tingginya tekanan penduduk merupakan faktor pendorong petani melakukan konversi HKR ke penggunaan usaha tani yang memberikan pendapatan yang tinggi, karena, tidak mencukupi lagi lahan usaha taninya (terutama bahan pangan dan tanaman yang cepat menghasilkan).
Hubungan Tingkat Aksessibilitas Petani terhadap HKR dan Pasar dengan Pola Konversi
Tingkat aksessibilitas (kemudahan pencapaian) petani terhadap lahan usahanya berhubungan dengan aktifitas petani terhadap lahannya. Perbedaan aktifitas petani terhadap lahan HKR berdampak terhadap pola konversi HKR ke penggunaan lahan. Hubungan antara tingkat aksessibilitas petani terhadap pola
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
142
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):136-144
konversi hutan kemiri rakyat disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hubungan Tingkat Aksesibilitas Petani Terhadap pasar dan Lahan Terhadap Pola Konversi HKR.
No
Uraian
Satuan
Nilai Rata-rata Pola Konversi
Ladang Berpindah
Ladang Menetap
Kebun Kakao
Gabungan
1.
2.
3.
4.
5.
Akses ke Lahan
Akses ke Jalan Utama
Akses ke Pasar Utama
Biaya Transpotasi Orang
Biaya Transportasi barang
Km
Km
Km
Rp/org
Rp/org
1,9
11,7
77,6
28.333,3
366,7
22
24
68,3
20.666,7
283,3
1,9
8,1
91,5
24.583,3354,2
2,0
7,4
79,1
24,527,8
334,7
Data pada Tabel 5 menunjukkan data bahwa jarak rumah dengan lahan HKR petani rata-rata 2 km, relatif sama untuk pola konversi ladang berpindah dan kebun kakao. Sedangkan pola konversi ladang menetap mempunyai jarak rumah dengan HKR lebih tinggi dibanding lainnya hal ini berarti bahwa pola ladang menetap mempunyai tingkat aksessibilitas yang rendah terhadap hutan kemirinya. Lokasi HKR pada umumnya jauh dari rumah petani, hal ini disebabkan karena HKR tidak memerlukan pengelolaan yang intensif, jika dibandingkan pada pola penggunaan kebun atau ladang. Menurut Hornsby (1988) bahwa pada umumnya petani selalu ingin berdekatan dengan lahan yang dikelolanya.
Terbatasnya lahan pertanian di lokasi penelitian, sehingga secara terpaksa petani melakukan usaha tani pada jarak yang jauh dari rumahnya. Dengan demikan petani melakukan pilihan pola penggunaan lahan yang paling menguntungkan menurut mereka, baik ditinjau dari pendapatan usaha tani dan biaya tenaga kerja maupun dengan alasan keamanan usaha tani terutama serangan hama babi dan monyet.
Oleh karena pola penggunaan lahan sawah, ladang dan kebun memerlukan tenaga kerja yang intensif dan relatif memberikan pendapatan yang lebih tinggi, maka petani cenderung berdekatan dengan sawah dan ladang mereka.
Akses petani terhadap pasar dengan variabel indikator yang diamati adalah jarak pemukiman dengan jalan utama (poros Makassar – Watampone) dan jarak pemukiman petani dengan pasar utama (Makassar) serta biaya transport orang dan barang. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa petani dengan pola konversi ladang berpindah mempunyai tingkat aksessibilitas yang rendah dibandingkan dengan pola konversi lainnya. Tingkat aksessibilitas yang rendah menyebabkan harga produk komoditi pertanian lebih murah terutama pada komoditi tanaman yang cepat rusak dan volumenya besar seperti pada komoditi kayu kemiri. Salah satu keuntungan petani mengembangkan komoditi kemiri pada lahan yang mempunyai akses rendah adalah sifat komoditi biji kemiri dapat ditunda pemanenannya dalam jangka waktu
Sumber : Data Primer Setelah Dioalah. 2007
143
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 136-144
lama, demikian pula waktu penyimpanannya dapat bertahan sampai 3 tahun. Sehingga HKR dapat menempati lokasi yang jauh dari rumah petani dengan menguntungkan, dimana komoditi lain tidak menguntungkan lagi diusahakan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Barlow (1978) yang menyatakan bahwa pola penggunaan lahan ditentukan oleh nilai lahan (land rent) yang diperoleh pemilik lahan dari suatu pola penggunaan lahan.
Berbeda HKR yang terdapat dekat dengan jalan utama ia tidak mampu bersaing dengan pola penggunaan yang lain, terutama dari aspek produktifitas lahan (pendapatan petani) karena hutan kemiri lama baru dapat berproduksi, yaitu setelah berumur 5 tahun. Sedangkan alternatif penggunaan lahan pada pada pola konversi ladang menetap mempunyai alternatif jenis tanaman yang dapat diusahakan terutama tanaman semusim yang cepat berproduksi dan mudah dipasarkan. Terutama untuk lahan sawah dan ladang. Pengembangan prasarana jalan ke pelosok-pelosok desa menyebabkan akses terhadap pasar komoditi pertanian dan kehutanan tinggi, sehingga kayu kemiri sebelumnya tidak punya nilai pasar, sekarang sudah punya nilai pasar. Pada lokasi HKR yang sebelumnya tidak punya nilai pasar sekarang sudah dapat terjual dengan harga pohon berdiri antara Rp 20.000 sampai Rp 60.000 per pohon. Harga kayu kemiri tersebut ditentukan jarak dari jalan yang dapat dilalui kendaraan truk roda empat, Jarak paling jauh yang masih mempunyai nilai pasar maksimun 0,5 km.
Hasil pengamatan lapangan dan wawancara responden, dengan adanya nilai pasar kayu kemiri, justeru belum mendorong petani untuk melakukan kegiatan peremajaan kemiri, tetapi justeru semakin mempercepat mengkonversi hutan kemirinya, karena menyebabkan tersedianya modal bagi petani membuka areal hutan kemirinya untuk dijadikan ladang atau kebun dengan pola pertanian intensif modal dan tenaga kerja.
KESIMPULAN
Pola Konversi HKR ke pengguaan lahan non kehutanan secara umum dapat dikelompokkan atas 3 (tiga pola), yaitu: pola konversi ladang berpindah, ladang menetap, dan kebun kakao. Karakteristik ketiga pola tersebut, memiliki perbedaan ditinjau dari berbagai aspek:
a. Pola konversi ladang berpindah umumnya dilakukan oleh petani yang berpendapatan rendah, akses terhadap pasar dan fasilitas sosial ekonomi lainnya rendah, tekanan penduduk terhadap lahan relatif rendah (rata-rata 83,4 jiwa/ km2), tingkat pendidikan petani rendah. Luas areal HKR yang terkonversi 10 tahun terakhir per petani rata-rata 0,5 ha atau 43 persen dari luas HKR yang dikuasai. Kontibusi pendapatan HKR terhadap total pendapatan usaha tani sebesar 22,43 %.
b. Pola konversi ladang menetap umumnya dilakukan oleh petani yang berpendapatan tinggi, akses terhadap pasar tinggi dan fasilitas sosial ekonomi lainnya tinggi, tekanan penduduk relatif tinggi ( rata-rata 124,6 jiwa/ km2), tingkat pendidikan petani relatif tinggi (rata-rata lama menempuh pendidikan 7,8 tahun). Luas areal yang terkonversi 10 tahun terakhir 0,3 ha atau 45,2 % dari lahan HKR yang dikuasainya. Kontribusi pendapatan HKR terhadap total pendapatan usaha tani sebesar 13 %.
144
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):136-144
c. Pola konversi kebun kakao umumnya dilakukan oleh petani yang berpendapatan tinggi, akses terhadap pasar dan fasilitas sosial ekonomi lainnya rendah sampai tinggi, kepadatan penduduk relatif rendah (61,9 jiwa/km2), tingkat pendidikan relatif tinggi (rata-rata lama menempuh pendidikan 7,2 tahun). Luas lahan yang dikonversi per petani selama 10 tahun terakhir rata-rata 0,8 ha atau 42,6 % dari lahan HKR yang dikuasainya. Kontribusi pendapatan HKR terhadap total pendapatan usaha tani sebesar 27,29 %.
d. Upaya untuk penanggulangan konversi HKR, diperlukan kebijakan yang bervariasi sesuai dengan karakteristik pola konversinya, faktor demografi, tingkat pendapatan dan tingkat aksessibilitas. Prioritas utama pemberian kebijakan yang bersifat insentif untuk penanggulangan konversi adalah
petani yang melakukan konversi hutan kemirinya ke pola ladang berpindah, karena pendapatan petani yang rendah dan ketergantungan sumber pendapatan dari areal HKR tinggi.
e. Diperlukan studi selanjutnya analisis kuantitatif untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi masing-masing pola konversi HKR.
DAFTAR PUSTAKA
Barlow, R. 1978. Land Resources Economic. 3rd Edition. Prentice Hall, Inc., Engelwood Cliffs: New Jersey.
Yusran, 2005. Analisis Performansi dan Pengembangan Hutan Kemiri Rakyat di Kawasan Pegunungan Bulusaraung Sulawesi Selatan. Disertasi tidak diterbitkan. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Diterima : 5 Mei 2007
Syamsu Alam
Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan,
Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Alamat rumah : Kompleks PerumahanDosen Unhas Blok AG 33, HP :0811447810
145
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150
POTENSI DAN KARATERISTIK EKOLOGI
PROVENANSI EBONI (Diospyros celebica Bakh) UNTUK PEMULIAAN DAN KONSERVASI GENETIK
Potency and Ecologycal Characteristic
Of Eboni Provenances (Diospyros celebica Bakh) for Tree Improvement and Genetic Conservation
Muh. Restu.
Abstract
Forest as a natural resource in Indonesia involves high biological diversity. In South Sulawesi, ebony wood is one of endemic and typical natural resources and its existence have placed Indonesia as the producer for the wood with highest economic value. The high economic potency of ebony wood has caused an intensive exploitation of ebony from its natural habitat.. One of factors causing the degradation was the existence of uncontrolled harvesting activities which were not accompanied by rehabilitation efforts. One effort, which can be carried out to anticipate the progressive destructive condition of the ebony in its natural habitat, is by developing and implementing tree breeding as well as genetic conservation systems. This research was addressed to identify the ecological conditions of various habitats or provenances of ebony. Ecological characteristics observed in the current study were the potencies of volume, regeneration or density, and environmental conditions covering four different provenances (Maros, Barru, Sidrap, and Malili). Data were collected by applying random sampling method in plots and field measurement.Research results indicate that the standing stock of different provenances varied from 2.25 – 6.86 m3/ha in volume with the density of 0.8 – 2.16 trees/plot, 2.54 – 6.3 poles/plot, 4.79 – 9.72 saplings/plot, and 90.54 – 139.86 seedlings/plot. The research results show that the existing volume and density of ebony belong to the low category compared to the natural condition.
Keywords: eboni, ecologycal characteristis, provenance
PENDAHULUAN
Sumberdaya alam berupa hutan di Indonesia dengan keragaman hayatinya yang tinggi telah menarik perhatian banyak kalangan, termasuk orang-orang yang berkecimpung dalam bidang perdagangan dan industri. Setiap daerah memiliki sumberdaya potensial dengan kondisi ketersediaan dan peran ekologis, sosial budaya serta ekonomi yang berbeda. Di Sulawesi Selatan, jenis kayu eboni merupakan salah satu sumberdaya alam yang khas dan endemik serta keberadaannya telah menempatkan Indonesia sebagai produsen jenis kayu yang bernilai ekonomi tertinggi tersebut. Penampakan kayu terasnya yang hitam dengan garis-garis coklat kemerahan serta sifat-sifat kayunya yang kuat, awet dan berkilap membuat jenis kayu tersebut digolongkan kedalam kelompok kayu mewah, dengan nilai ekonomi yang tinggi. Nilai jual kayu eboni dapat mencapai US $. 6.000 per m3, jika dibandingkan dengan pohon hutan lainnya nilai jual tersebut, sangat tinggi karena mencapai 10 – 40 kali dari nilai jual kayu non eboni.
Potensi ekonomi yang besar tersebut, menyebabkan pemanfaatan eboni pada habitat alaminya semakin
146
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150
intensif. Pohon dengan diamater lebih 30 cm ditebang, sehingga yang tersisa umumnya didominasi pohon dengan diamater yang kecil. Hal ini mengakibatkan potensi kayu eboni semakin berkurang pada habitat alaminya. Dampak lanjutan dari penurunan potensi adalah semakin menyempitnya basis genetik. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan itu adalah adanya pemanenan yang kurang atau tidak terkendali dan tanpa adanya usaha-usaha merehabilitasi. Hal ini diperparah lagi dengan rendahnya pengetahuan masyarakat akan aspek ekologis dan provenansinya dari kayu tersebut. Ketidakpedulian akan hal ini dikhawatirkan pada suatu saat kayu eboni akan semakin sulit didapatkan, bahkan perlahan-lahan akan punah. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kondisi yang lebih parah terhadap sumberdaya alam hutan berupa kayu eboni adalah dengan pengadaan dan penerapan sistem atau kebijakan pemuliaan dan konservasi genetiknya.
METODE PENELITIAN
Penelitian tahun pertama ini ditujukan untuk mengindentifikasi lingkungan fisik ekologis dan penanda morfologis dari masing-masing provenansi dengan menggunakan metode pengukuran dan pengamatan, parameter yang digunakan adalah :
1. Potensi regenerasi
Potensi regenerasi diketahui dengan mengambil sampel dilapangan menggunakan metode petak ukur. Selanjutnya dianalisis dengan menghitung potensi berdasarkan jumlah individu per satuan luas terhadap tingkat semai, pancang, tiang dan pohon.
2. Potensi Kerapatan
Kerapatan tegakan dihitung dengan menghitung jumlah pohon per satuan luas (N/ha)
3. Kondisi fisik lingkungan
Karateristik fisik lingkungan di ketahui dengan melakukan analisis tanah, kondisi temperatur, kelembaban serta kelerengan areal.
Adapun tahapan metode pengumpulan data dilakukan sebagai berikut :
1. Melakukan survay pendahuluan pada areal/habitat eboni masing-masing provenansi.
2. Pembuatan plot sampel secara sistematis dengan menggunakan plot ukuran 20 x 20 meter dengan jarak antar plot 100 meter.
3. pengamatan dilakukan untuk tingkat pohon yang berdiameter 20 cm ketatas, Tiang dengan diamater 10 – 20 cm, pancang dengan diameter kurang dari 10 cm tinggi lebih 1 meter. Untuk tingkat semai menggunakan plot ukuran 5 x 5 meter atau merupakan sub plot.
Data yang diperoleh dianalisis dengan mengunakaan rumus yaitu :
1. Volume per ha
V = Lbds x Tbc x f
V = Volume
Lbds = luas bidang dasar
F = Faktor koreksi (angka bentuk) yaitu 0,7
2. Luas Bidang dasar (Lbds)
Lbds = I/4 π d2
d = diameter batang
3. Kerapatan
Kerapatan = Jumlah individu / Luas areal (plot)
Pengumpulan data lapangan, analisa data dan penulisan dilakukan selama tiga (3) bulan yaitu mulai bulan Maret 2007 sampai Mei 2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian terhadap parameter potensi volume tegakan, menunjukkan bahwa potensi minimum berkisar antara 2,25 sampai 3,16 m3 per ha, sedangkan potensi maksimum berkisar 4,35
147
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150
sampai 6,87 m3 per ha. Potensi antar provenansi juga menunjukkan adanya. Adapun potensi volume masing-masing provenansi terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1. Potensi Volume Tegakan Masing-masing Provenansi
No
Provenansi
Potensi Volume (m3/ha)
Maksimum
Minimun
1
Maros
4,35
2,25
2
Barru
6,75
2,75
3
Sidrap
5,76
2,65
4
Malili
6,86
3,16
Berdasarkan potensi pada masing-masing lokasi yang menunjukkan adanya variasi, namun jika dibandingkan dengan potensi alami eboni, menunjukkan bahwa secara keseluruhan potensi yang dimiliki telah mengalami penurunan. Potensi alami pada hutan alami yang belum mengalami gangguan mencapai 30 – 60 m3 per ha (Riswan, 2001). Adanya penurunan potensi ini menunjukkan bahwa provenansi tersebut telah mengalami gangguan akibat pemanfaatan berupa penebangan pohon yang berdiamater besar. Akibat yang juga timbul dengan penebangan terhadap pohon induk adalah terjadinya perubahan struktur tajuk. Hilangnya strata tajuk atas menyebabkan terjadinya pembukaan tajuk. Pada tegakan eboni perubahan struktur tajuk dapat berpengaruh terhadap proses regenerasi eboni, karena jenis ini merupakan jenis semi toleran, yaitu pada fase anakan membutuhkan naungan untuk proses pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Whitten, dkk. (1997) bahwa eboni merupakan jenis semi toleran yang pada tahap semai memerlukan naungan. Tegakan eboni terdapat pada hutan campuran bersifat mengelompok dengan dominasi mencapai 90 %, dari keseluruhan jenis yang terdapat dalam tegakan. Hasil analisis terhadap potensi regenerasi di lokasi penelitian menunjukkan adanya perbedaan kerapatan antar lokasi yang ditunjukkan pada plot sampel. Provenansi Maros memperlihatkan potensi regenerasi yang lebih rendah dibanding provenansi lainnya. Jika dilihat dari sebaran kerapatan tegakan berdasarkan tingkatan pertumbuhan, menunjukkan bahwa sebaran pada masing-masing provenansi masih membentuk kurva “J terbalik”. Adapun kerapatan masing-masing provenansi terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kerapatan Tegakan Masing-masing Provenansi
No
Provenansi
Kerapatan (pohon/plot)
Pohon
Tiang
Pancang
Semai
1
Maros
0.8
2.54
4.79
90.54
2
Barru
1.25
4.25
6.98
130.63
3
Sidrap
2.32
5.15
8.32
139.86
4
Malili
2.16
6.3
9.72
125.95
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
148
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa kerapatan tegakan masih terdistribusi secara baik pada masing-masing tingkatan pertumbuhan. Hal ini menggambarkan bahwa proses regenerasi masih tetap berlangsung. Jika dikaitkan dengan karateristik sifat silvik eboni yang semitoleran, maka pembukaan lapisan tajuk akibat pemanfaatan dapat merubah komposisi kerapatan pada berbagai tingkatan pertumbuhan, khususnya pada tingkat semai dan pancang. Pembukaan yang besar akan mengakibatkan cahaya matahari akan mencapai lantai hutan, sehingga jenis-jenis toleran akan mengalami gangguan pertumbuhan atau mengalami kematian akibat, kebutuhan akan naungan tidak terpenehi. Ewusie (1990) mengemukakan bahwa jenis vegetasi yang bersifat toleran dan semi toleran, pertumbuhan awalnya membutuhkan naungan yang berat, jika tidak memenuhi kebutuhan naungan tersebut maka semai akan mengalami kematian. Eboni dalam proses regenerasinya menghasilkan jumlah semai yang banyak per pohon. Jumlah semai yang dihasilkan dapat mencapai 250 – 1000 anakan, namun dalam perkembangannya tidak semuanya akan mencapai tingkat pancang, akibat terjadinya persaingan terhadap kebutuhan cahaya dan unsur hara.
Adapun histogram kerapatan eboni terdapat pada Gambar 1.
020406080100120140individu / plotMarosBarruSidrapMalilipohonTiangPancangSemai
Gambar 1. Histogram Kerapatan Eboni Masing-masing Provenansi
Berdasarkan karateristik ekologis pada tiap lokasi menunjukkan bahwa eboni tumbuh pada ketinggian antara 82 – 564 meter dari muka laut. Masing-masing provenansi mempunyai perbedaan ketinggian tempat tumbuh. Provenansi Barru mempunyai ketinggian tempat tumbuh yang paling rendah dibanding dengan provenansi lainnya. Nai‟em (1991) mengemukan bahwa adanya perbedaan ketinggian tempat akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan diakibatkan perbedaan terhadap karakter genetik.
Tipe iklim tempat tumbuh eboni umumnya termasuk iklim B, kecuali lokasi Malili mempunyai tipe iklim A.
149
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150
Berdasarkan jenis tanah maka umumnya jenis tanah tempat tumbuh eboni merupakan jenis tanah yang telah mengalami proses pelapukan lebih lanjut, atau jenis tanah yang miskin hara.
Pada umumnya eboni mempunyai topografi yang bergelombang hingga bergunung dengan kelerengan lebih dari 15 %. Adapun jenis tanaman yang tumbuh berdampingan yaitu jenis aren (Arenga pinnata) kecuali pada lokasi malili berdapingan dengan jenis lainnya seperti terap (Arthocarpus elasticus). Berdasarkan aspek pemanfaatan potensi, maka umumnya tegakan eboni telah dimanfaatkan untuk kebutuhan kayu pertukangan, sehingga pada tegakan eboni telah dilakukan penebangan, kecuali pada lokasi provenansi maros, tidak dilakukan pemanfaatan, namun luasnya lebih kecil dibanding luas areal prvenansi lainnya. Provenansi maros merupakan ras lahan, atau merupakan tegakan yang dikembangkangkan oleh masyarkat setempat dengan melakukan penanaman bibit eboni yang diperoleh dari sumber provenansi lainnya. Ras lahan ini telah berkembang menjadi tegakan alami, dan mengalami proses regenerasi. Untuk mengetahui sumber bibit provenansi maros, maka diperlukan analisis keragaman morfologis dan genetik dengan provenansi lainnya. Zobel dan Talbert (1984), mengemukan bahwa ras lahan akan membentuk karakter genetik yang khas akibat adaptasi terhadap lingkungan dan proses perkembangbiakan yang terjadi, namun umumnya ras lahan mempunyai tingkat keragaman genetik yang rendah akibat sumber induknya terbatas dan umumnya berasal dari kekerabatan yang dekat. Adapun karateristik ekologis masing-masing provenansi terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Karateristik Ekologis Masing-masing Provenansi
No
Uraian
Provenansi
Barru
Malili
Maros
Sidrap
1
Ketinggian tempat (meter dari permukaan laut)
82 -122
300 - 350
436-564
200-324
2
Letak Geografis
4o 30‟ 01‟‟ LS
119o 6‟ 30‟‟
BT
201 3‟ 05” LS 120031‟43” BT
040 58'03 LS
119o 46 '27,1‟‟ BT
30 43‟20‟‟ LS 119o41‟02‟‟ BT
3
Jenis Tanah
Litosol
Latosol
Litosol
Podsolik
4
Tipe Iklim
B
A
B
B
5
Asosiasi jenis vegetasi
Aren, ipi, bayur
Medang, terap, nyatoh
Cendrana, pinang, aren
Aren, ipi, terap
6
Topografi
Bergelombang hingga bergunung
Berbukit dan Bergunung
Berbukit dan bergunung
Datar, berbukit dan bergunung
7
Luas Areal
200 ha
100 ha
17 ha
200 ha
8
Pemanfataan / Penebangan
Tidak dilakukan penebangan
Penebangan oleh perusahaan kayu
Tidak dilakukan penebangan
Tidak dilakukan penebangan
Sumber : Sulawesi Selatan dalam Angka, 2006/2007. Data Primer setelah diolah, 2007
150
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):145-150
KESIMPULAN Potensi Volume dan kerapatan populasi eboni pada berbagai provenansi yang diteliti lebih rendah dibadingkan potensi alaminya atau telah mengalami penurunan potensi. Kondisi ekologis masing-masing provenansi mempunyai variasi terutama ketinggian tempat, luas areal dan letak geografis. DAFTAR PUSTAKA Ewusie, J.Y, 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Nai‟em, M, 1991. Inheritance and Lingkage of Allozyme of Megagametophyte of Japanese Red Pine Plus-Tree Clones Selected from Natural Stands in Japan. Doctoral Disertation. Doctoral Program in Agricultural Sciences University of Tsukuba. Japan.
Riswan, S, 2001. Kajian Biologi Eboni (Diosphyros celebica Bakh). Prosiding Managemen dalam menundukung Keunggulan Industri Menuju Otonomisasi dan Era Pasar Bebas. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Berita Biologi 6 (2). 211-217.
Whitten A J, M. Mustafa and Henderson G S, 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada Press.
Zobel, B dan J. Talbert, 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley & Sons. New York, Chichester, Brisbane, Toronto. Singapore.
Diterima 11 Mei 2007
Muh. Restu
Laboratorium Silvikultur,
Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Alamat Rumah : Kompleks Perumahan Dosen Unhas Blok BG 65. HP 0811443515
151
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
DINAMIKA TENUR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
PADA SUB DAS MINRALENG HULU KABUPATEN MAROS
The dynamics of land tenure and its influencing factors in Sub-Watershed of Minraleng, Maros Regency
Muh. Dassir
Abstract
The purpose of the research is to describe land tenure dynamic which have been occurred since the Dutch settlement period, until now, in the Sub-watershed of Minraleng and to identify the influencing factors of the dynamic. The data were analyzed by using qualitative and descriptive method in identifying agroforestry, and applying multivariate discriminant to identify the influencing factors regarding land tenure dynamic. For the first step (Dutch settlement – 1970), the characteristics of tenure was traditional communal that was influenced by the economic system on the local level. Traditional agricultural system based on the local resources and the people demography were low with limited land used for agriculture. The influencing factor to land tenure dynamic were demography, technology, bio-physical land characteristics, access for infrastructure, and the institutions. Demography factor such as the variable of urbanization/transmigration, land width, rice field land width, and “sakap” (benefit sharing land) width, and land ownership. Technological factors such as the quantity of the equipment for cultivating the agricultural products, which include tecnologys factors, and the quantity of the land owned system that doing, which include institution.
Keyword: tenur dynamics , land reform, reforma agraria
PENDAHULUAN
Perubahan sistem penguasaan tanah menyebabkan perubahan sistem produksi pertanian Amaluddin (1987). Sebelum tahun 1960, ada tiga jenis hak penguasaan tanah komunal, yaitu hak bengkok, hak banda desa, hak narawita; serta satu yang bersifat individual yaitu hak yasan. Penerapan UUPA tahun 1960 menyebabkan konversi tanah yang semula berdasarkan hukum adat (komunal) menjadi hak milik. Hak narawita secara de facto sudah menjadi milik individual, sehingga penjualan tanah berkembang, peluang tunakisma untuk menggarap me-ngecil, dan mobilitas penguasaan cenderung terpolarisasi. Bersamaan dengan itu, sistem produksi yang semula dilandasi nilai-nilai tradisonal digantikan oleh sistem produksi komersial. Dalam konteks yang lebih luas, Hayami dan Kikuchi (1987) juga menemukan kesamaan dampak Revolusi Hijau di Indonesia dan Pilipina. Transformasi sistem sosial pedesaan seperti itu, juga didukung oleh temuan Temple (1976) dalam Sumaryanto, et al (2002) yang melihat adanya evolusi desa Jawa dari desa komunal (1830-1870) dilanjutkan desa tradisional (1870-1959), dan terakhir desa komersial bersamaan dengan era Revolusi Hijau.
Satu hal yang sangat menarik dalam bahasan Revolusi Hijau menurut Fausi (1999) adalah bagaimana dampak penggunaan teknologi seperti bibit unggul, pestisida, dan lain-lain berpengaruh terhadap konsentrasi penguasaan tanah. Menurut Wiradi
152
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
(1999), dampak revolusi hijau pada skala makro dapat dilihat dengan membandingkan hasil sensus pertanian 1973 dan 1983, sedangkan pada skala mikro dapat dilihat pada hasil studi yang dilakukan Hayami dan Kikuchi (1987) tentang perubahan kelembagaan di Asia. Mereka mempunyai kesimpulan yang sama tentang dampak revolusi hijau, yaitu semakin tingginya gejala konsentrasi penguasaan tanah di pe-desaan sebagai akibat penggunaan tek-nologi.Timbulnya permasalahan ketimpangan penguasaan lahan tersebut menurut Hayami dan Kikuchi (1987), salah satu penyebabnya dikarenakan perbandingan antara tanah-tenaga kerja telah turun begitu cepat dise-babkan oleh angka pertambahan penduduk yang demikian cepat. Untuk menopang pemenuhan kebutuhan pokok dilakukan usaha peningkatan produktifitas tanah dengan menerapkan pengembangan dan penyebaran teknologi benih-pupuk dan perluasan sistem irigasi, dan penyesuaian pranata-pranata yang mengatur pemakaian tanah dan penggunaan tenaga kerja. Lebih lanjut menurut Hayami dan Kikuchi (1987), perubahan sistem penguasaan tanah sangat terkait dengan perkembangan teknologi pertanian, struktur perekonomian desa, dan pada akhirnya terkait pula dengan struktur sosial masyarakat pedesaan. Oleh sebab itu Todaro (1983) dalam Wiradi (2001) menyatakan pembangunan pertanian harus terintegrasi dengan pembangunan pedesaan.
Berdasarkan hasil interpretasi peta citra satelit skala 1: 250.000 tahun 2002, penutupan lahan yang terdapat pada Hulu Sub DAS Minraleng, sangat bervariasi dari padang rumput ( 14.690 ha), sawah (19.699), pertanian lahan kering campur semak (10.703) dan areal berhutan (11. 531 Ha) berupa hutan alam dan hutan tanaman ( hutan rakyat dan hutan pinus hasil reboisasi oleh pemerintah). Salah satu permasalahan pada Sub DAS Minraleng Hulu , yaitu penutupan lahan dengan berbagai pola penggunaan lahan yang kurang bagus berdampak pada terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau pada desa desa hilir yang terletak disekitar danau tempe, sehingga pertanian daerah hilir mengalami kekurangan air irigasi. Permasalahan lainnya, yaitu terjadi peningkatan luas lahan kritis, sebagai akibat dari sistem penguasaan lahan yang tidak jelas, sehingga masyarakat tidak memiliki hak dan kewajiban moral secara jelas untuk pemanfaatan lahan dengan sebaik mungkin dan kewajiban moral untuk tetap menjaga kelestarian produktifitas lahan, melalui usaha intensifikasi dan diversivikasi usahatani. Pentingnya penanganan sistem pertanian pada Hulu Sub DAS Minraleng, dikarenakan banjir yang terjadi pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau pada desa-desa bagian hilir Danau Tempe merupakan akibat dari pola pemanfaatan lahan dibagian Hulu dan tengah DAS Bila-Walanae yang telah rusak, sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik untuk mengatur tata air dari pola pemanfaatan lahan tersebut, seperti perladangan berpindah , penebangan liar, dan konversi lahan. Pengrusakan sumberdaya lahan ini akan berlangsung terus apabila tidak ada alternatif pilihan bagi petani peladang untuk mengalihkan sistem peladang ke sistem wanatani menetap, atau ke lapangan pekerjaan baru. Informasi tentang struktur penguasaan, pemilikan dan penguasaan lahan serta Pengetahuan kita terhadap kearifan tradisional perubahan sistem penguasaan lahan (land tenure) dan dinamika pengusahaan wanatani yang terdapat pada lokasi penelitian merupakan bahan masukan dalam pembaruan agraria dan perbaikan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik pada lokasi bersangkutan.
153
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
Teori pembaruan agraria digunakan pada penelitian ini untuk melihat perubahan penguasaan lahan yang terjadi pada berbagai bentuk wanatani pada rumah tangga petani di Hulu Sub DAS Minraleng. Pembaruan agrarian dalam arti sempit diartikan sebagi land reform, yaitu redistribusi tanah. Sedangkan pengertian land reform yang luas adalah pembaruan dalam struktur penguasaan, struktur produksi dan struktur pelayanan pendukung. Seringkali pengertian agrarian reform dan land reform dipakai bergantian dalam arti yang sama. Sedangkan agrarian reform sebenarnya merupakan upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar, guna mentrans-formasikan struktur agraria kearah sistem agraria yang lebih sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan kesejahteraan masyarakat desa (Wiradi, 2001).
Untuk melihat faktor-faktor apa yang berperan pada terjadinya perubahan penguasaan lahan, maka digunakan hasil penelitian dari World Bank 1975) dalam Wiradi (2001) pada sebuah publikasinya mengenai land reform yang menurutnya berbagai pola penguasaan dan pemilikan tanah yang terdapat pada berbagai masyarakat., karena pengaruh berbagai faktor, yaitu : (1) sistem politik dan situasii politik; (2). struktur ekonomi; (3). sistem sosial; (4). sistem hukum; (5). situasii demografis; (6). sistem pertanian; dan (7). basis sumberdaya nasional masing-masing. Karena pengaruh faktor-faktor tersebut maka terdapat enam katagori dasar penguasaan dan penggunaan tanah, yaitu : tipe feodal Asia, tipe feodal Amerika Latin, tipe komunal tradisional, tipe pasar ekonomi, tipe sosialis, dan tipe perkebunan besar,
Kerangka teori di atas merupakan hubungan antar variabel penelitian pada penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 1.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dinamika tenurial yang terjadi pada Sub DAS Minraleng Hulu dan mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan bahan masukan untuk perumusan kebijakan program sistem penguasaan lahan yang dapat meningkatkan pendapatan petani dan perbaikan kualitas/ekologi lahan wanatani.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian dan Unit Analisis
Penelitian ini merupakan penelitian “ex post fakto” yang bersifat sampling survei mengacu pada teori fungsi dengan menggunakan pendekatan sistem untuk menggambarkan sifat keadaan yang sementara berjalan tanpa intervensi langsung. Daerah studi adalah Hulu Sub DAS Minraleng Kabupaten Maros, meliputi . Kecamatan Cenrana, Kecamamatan Camba dan Kecamatan Mallawa. Waktu penelitian dilaksanakan selama enam bulan, mulai Agustus 2006 sampai Januari 2007. Wilayah desa yang terpilih adalah berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk, teknologi yang digunakan, luas desa, letak desa, dan agroekosistem yang terdapat dan berkembang.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini, yaitu seluruh petani yang terdapat pada Hulu Sub DAS Minraleng yang melakukan aktivitas wanatani, meliputi Kecamatan Cenrana, Kecamatan Camba dan Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros,
Penentuan desa sampel penelitian dilakukan mengunakan metode cluster sampling, yaituan dari masing-masing kecamatan dipilih satu desa yang dapat mewakili keragaman dinamika tenurial yang terjadi. Wilayah desa yang terpilih adalah berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk, teknologi yang digunakan, luas desa,
154
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
letak desa, dan agroekosistem yang terdapat dan berkembang. Berdasarkan pertimbangan tersebut dipilih tiga desa, yaitu desa Batu Pute Kecamatan Mallawa yang mewakili desa-desa dengan usaha tani (1) kebun kemiri dan jati yang lebih dominan, (2) pembangunan dan pengembangan wanatani kemiri dan jati mengarah ke agrobisnis tanaman tahunan, (3) dan luas lahan penduduk. Desa Timpuseng yang mewakili kecamatan Camba dengan karakteristik : (1) usaha tani tanaman semusim lebih dominan, (2) pembangunan dan pengembangan usaha tani mengarah ke usaha tani persawahan, (3) etnis penduduk desa tersebut merupakan campuran etnis bugis dan Makassar, (4) terletak di sepanjang jalan propinsi hingga ke pegunungan dan, (5) lahan pertanian penduduk sempit. Desa Limampoccoe yang mewakili kecamatan Cenrana dengan karakteristik : (1) pola pertanian pangan lahan kering pada kawasan hutan lebih dominan, (2) hutan pinus dibangun oleh pemerintah, (3) pembangunan dan pengembangan usaha tani pada kawasan hutan pinus mengarah ke tegalan dan lahan perkebunan (coklat, kopi), (4) lahan pertanian penduduk sempit dan kawasan hutan pinus masih luas, (5) teknologi budi daya masih terbatas.
Populasi rumah tangga petani pada desa terpilih tersebut tidak homogen, karena petani terdiri atas beberapa lapisan yang antara lain didasarkan pada luas penguasaan lahan dan variasi wanatani yang dikembangkan rumah tangga petani. Sehubungan dengan kondisi populasi rumah tangga petani yang tidak homogen, maka pemilihan contoh responden dilakukan berdasarkan pendekatan prospektif, artinya kausa (faktor pengaruh) diidentifikasi terlebih dahulu kemudian diikuti penelusuran efek. Kriteria pelapisan petani yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis penguasaan lahan petani yang dibedakan atas 1) petani pemilik, 2) petani penyakap, 3) petani penyewa lahan dan 4) kombinasi dari petani pemilik, sewa dan petani penyakap. Sedangkan variasi pengusahaan lahan petani responden dibedakan atas 1) luas areal wanatani yang diusahakan, dan 2) pengelolaan usahatani
155
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
Eeel;lsmlmd
Landasan teori
Gambar 1. Hubungan Antar Variabel Teoritis Dinamika Penguasaan Lahan
berdasarkan agroekosistem menyangkut perbuatan menggerakkan orang (manajemen usahatani), fasilitas dan teknologi wanatani yang digunakan yang digunakan berupa jenis tanaman, peralatan dan saprodi yang digunakan.
Penentuan responden pada masing-masing desa sampel dilakukan secara pengelompokan acak berlapis (cluster stratified random sampling). Kategori yang dijadikan dasar pengelompokan secara stratifikasi pada petani wanatani yang akan menjadi responden adalah : Luas lahan usahatani, petani pemilik tetap, dan petani pemilik sementara. Sedangkan untuk informan kunci untuk
Terkontrol
1. Teknologi :
- Prasarana budidaya
- Prasarana panen
- Prasarana pasca panen
- Prasarana pengolahan hasil
- Prasarana pengangkutan
- Teknologi manajemen
2. Akses terhadap infrastruktur :
- Prasarana jalan
- Prasarana pasar
- Akses pada sarana produksi (modal, peralatan, lembaga ekonomi)
Tidak Terkontrol
1. Biofisik :
- Curah hujan
- Jenis tanah
- Tingg tempat
2. Demografi :
- Pertambahan penduduk
- Migrasi
3. Pranata sosial
3. Pranata sosial
Eksogen
Kebijakan pemerintah :
- Program
- Peraturan
Dinamika penguasaan lahan
- Komunal
- Individu-komunal
- Individu
- Individu- Penyakapan
LAND REFORM
Land tenure
Transformasi
agraria
156
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
wawancara mendalam digunakan metode purposive sampling dengan kriteria ;tokoh masyarakat, masyarakat asli yang berdomoisili sejak lahir sampai sekarang pada lokasi penelitian, dan usia di atas 55 tahun. Berdasarkan kriteria tersebut, maka jumlah responden yang dipilih pada setiap desa ditentukan berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus Cohran (1977) dengan jumlah sampel rumah tangga pada setiap desa sampel penelitian, seperti pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian
Kecamatan
Desa
Karakteristik
Populasi
Sampel Penelitian
Wanatani
(KK)
(KK)
Cenrana
Limampoccoe
Subsisten
319
50
Komersil
230
41
Jumlah
549
91
Camba
Timpuseng
Subsisten
241
43
Komersil
180
38
Jumlah
421
81
Mallawa
Batu pute
Kapitalis
242
40
Total sampel penelitian
212
Sumber : Data Primer setelah Diolah, 2007
Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data
Gambaran secara lengkap teknik pengumpulan data dan jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Teknik Pengumpulan Data, Jenis Data dan Peralatan yang Digunakan
Teknik pe-ngumpulan data
Jenis data yang dikumpulkan
Responden yang diwawancarai
Alata yang digunakan
wawancara Questionnaire
jenis tanaman yang dibudidayakan, per-alatan wanatani, pengolahan hasil, pemasaran hasil, pola tenurial, peralatan transportasi, dan pola tenurial
- Petani wanatani berbagai strata penguasaan lahan (pemilik-penggarap, penyakap, dan buruh tani)
Questionaire
Wawancara mendalam
Dinamika pengelolaan SDA, jumlah penduduk, dan Dinamika tenurial wanatani
Informan kunci
Pedoman wawancara
Penelusuran dokumen
Perkembangan penduduk, dan teknologi
Data BPS
Pengamatan
Biofisik lahan dan Teknologi wanatani, sarana dan prasarana yang digunakan
-tustel. handycam,
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2007
Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kualitatif dilakukan untuk mendiskripsikan dinamika tenurial
yang terjadi sejak periode penjajahan Belanda sampai sekarang. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan menggunakan analisis multivariat
157
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
diskriminan diskriminan untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan terhadap terjadinya dinamika tenurial. HASIL PENE;LITIAN DAN PEMBAHASAN Desa Limampoccoe
Dinamika wanatani berupa konversi lahan wanatani ladang, dan atau hutan rakyat menjadi sawah di dorong oleh produktifitas hasil sawah yang lebih tinggi dan tingginya nilai sistem tenurial persawahan seperti teseng, sanra, dan paje. Sedangkan dinamika komoditas dari komoditas untuk subsistensi pangan pokok (padi ladang dan jagung) pada periode awal kemerdekaan sampai periode tahun 1970) menjadi komoditas komersil, seperti jahe dan kacang tanah pada periode tahun 1980 -sekarang, tidak menyebabkan perubahan tenurial pemilikan dan pengelolaan lahan (Tabel 3). Tenurial pemilikan lahan dan pengelolaan wanatani kemiri di Desa Limampoccoe tidak berkembang seperti pada Desa Timpuseng dan Desa Batupute, dikarenakan skala pengusahaan wanatani kemiri rata-rata hanya 0,5 ha pada beberapa kepala keluarga petani. Dinamika tenurial bersifat simetris terhadap dinamika wanatani yang bentuk akhirnya menjadi persawahan, sedang dinamika komoditas wanatani bersifat asimetris terhadap dinamika tenurial ladang dan hutan rakyat di desa Limampoccoe.
Tabel 3. Dinamika Sistem Tenure yang terjadi pada Wanatani di Desa Limampoccoe
Kelembagaan pengelolaan lahan
No
Nama Tenurial
Periode ter- lembaganya
Periode terpinggirkannya tenurial
faktor penyebab munculnya Tenurial
faktor penyebab terpinggirkannya tenurial
Lokasi Penerapan Kelembagaan
1.
Lakara
Belanda -Jepang
1990 - sekarang
-penanda kepemilikan
semua tanah negara bebas sudah menjadi lahan milik
ladang, sawah, hutan rakyat
2.
Ronda kelompok
pengendalian hama babi dan monyet
---------------
ladang, sawah
3.
Massaro
1990-sekarang
 kekurangan tenaga kerja pemanen padi
 Individu-komunal pada subsistensi pangan antar distrik/masyarakat
 penggunaan mesin perontok padi
 panen padi unggul dapat dipersingkat
 berkembangnya sistem individualisme
sawah
Kelembagan pemilikan lahan
1.
Lakara
Belanda -Jepang
1990 - sekarang
penanda kepemilikan
semua tanah negara bebas sudah menjadi lahan milik
ladang, sawah, hutan rakyat
2.
Sanra
1970- sekarang
---------
 Distribusi lahan
 Kebutuhan uang tunai pemilik lahan
---------------
 sawah
3.
Teseng
 Distribusi lahan
 Patron-klien
--------------------
 sawah
4.
Paje
2000- sekarang
 usaha komoditas komersial
 Ketimpangan penguasaan lahan bangsawan – petani gurem
 Sawah
 kebun
Sumber : Data Primer Setalah Diolah, 2007
158
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
Berdasarkan Tabel 3 di atas, periode Jepang sampai awal kemerdekaan pola tenurial yang berkembang bersifat komunal tradisional (world Bank, 1975). Pola ini berkembang, karena pengaruh sistem sosial, struktur ekonomi, situasi demografis, sistem pertanian dan kondisi basis sumberdaya lokal, serta belum adanya pengaruh sistem ekonomi dari wilayah yang lebih luas (regional, nasional dan global). Pada periode tahun 1980 – sekarang pola tenurial yang berkembang bersifat tipe pasar ekonomi, karena pengaruh (1) sistem politik dan situasi politik, (2) struktur ekonomi yang lebih luas (regional, nasional, dan global), (3) sistem hukum yang sentralisasi, (4) dan situasi demografis, dimana jumlah penduduk mengalami peningkatan. Desa Timpuseng
Periode penjajahan Belanda sampai tahun 1980, produktifitas lahan wanatani kemiri sebanding dengan produktifitas lahan persawahan, maka sistem tenurial pemilikan lahan dipersawahan sama seperti sistem tenurial pemilikan lahan pada wanatani kemiri, tetapi berbeda dalam sistem tenurial pengelolaan lahan, yaitu Sistem makkampiri, mallolo ampiri, makkalice tidak terdapat pada usahatani persawahan (Tabel 4). Menurunnya produktifitas lahan wana-tani kemiri dan meningkatnya produktifitas lahan persawahan pada periode tahun 1990 -sekarang menyebabkan hilangnya sistem sanra dan teseng pada wanatani kemiri, sedang pada sistem persawahan, tenurial teseng dan sanra tetap berlangsung. Dinamika teknologi usahatani dipersawahan bersifat simetris negatif terhadap dinamika tenurial wanatani kemiri di Desa Timpuseng. Sistem makkalice pada wanatani terpinggirkan pada periode 1990 – sekarang dikarenakan faktor pertambahan penduduk, dan terbatasnya luas lahan kemiri yang dimiliki per rumah tangga petani di Desa Timpuseng.
Inovasi teknologi (hard ware dan soft ware) pada cara produksi dipersawahan dan ladang bero tidak merubah sistem nilai (moral) yang terkandung pada tenurial yang berlangsung. Sistem tenurial terpinggirkan pada kemiri tidak disebabkan oleh teknologi, melainkan penurunan produktifitas lahan kemiri dan keterbatasan lahan kemiri per rumah tangga (KK) akibat pertambahan penduduk.
159
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
Tabel 4. Dinamika Sistem Tenure pada Wanatani di Desa Timpuseng
Tenurial pengelolaan lahan
No
Nama Tenurial
Periode ter- lembaganya
tenurial
Periode terpinggirkan tenurial
faktor penyebab munculnya Tenurial
faktor penyebab terpinggirkannya tenurial
1.
Lakara
Belanda

Jepang
1980 - sekarang
-penanda kepemilikan
semua tanah negara bebas sudah menjadi lahan milik
2.
Ma‟dumme (Ronda kelompok)
1990-sekarang
pengendalian hama babi dan monyet pada kelompok peladang/petani sawah
 Berladang berpindah sudah tkd dilakukan
 penggunaan pagar hidup
 usahatani sawah mendominasi
3.
Massaro
1990-sekarang
 kekurangan tenaga kerja pemanen padi
 Individu-komunal untuk subsistensi pangan antar distrik/masyarakat
 penggunaan mesin perontok padi
 panen padi unggul dapat dipersingkat
4
Makkampiri
-----
------
-------------------
5
Makkallice
2000-sekarang
 Lahan kemiri luas/ KK
 kepadatan penduduk rendah
 pencurian kemiri
 Lahan kemiri terbatas/ KK
 pertambahan penduduk
 pencurian kemiri
6
Ma‟deppa
7
Mallolo
1970-1980
2000-sekarang

 Lahan kemiri terbatas/ KK
 Konversi lahan kemiri menjadi sawah
Tenurial pemilikan lahan
1.
Lakara
Belanda -Jepang
1990 - sekarang
 penanda kepemilikan
 Pertambahan penduduk
 semua tanah negara bebas sudah menjadi lahan milik
 Pertambahan penduduk
 TGHK
2.
Sanra (sawah)
1970- sekarang
---------
 Distribusi lahan
 Kebutuhan uang tunai pemilik lahan
---------------
Sanra (kemiri)
1980 -sekarang
 Distribusi lahan
 Kebutuhan uang tunai pemilik lahan
 Produksi lahan kemiri menurun
 Peningkatan produktifitas pengusahaan sawah
3.
Teseng (sawah
-----------
 Distribusi lahan
 Patron-klien
---------------------
4.
Teseng
(kemiri)
1980 –
sekarang
 Distribusi lahan
 Patron-klien
 Produksi lahan kemiri menurun
 peningkatan Produktifitas pengusahaan sawah
4.
Paje
1990-sekarang
-----------
 usaha komoditas komersial
 Distribusi dan intensifikasi lahan subur antar petani
--------------------------
Berdasarkan Tabel 4 di atas, periode penjajahan belanda – awal kemerdekaan, dan periode tahun 1970-1980 dinamika tenurial yang berkembang bersifat tipe komunal tradisional. Sedang pada periode tahun 1985 sejak pemberlakuan revolusi hijau, dinamika tenurial yang
Sumber : Data Primer Setalah Diolah, 2007
160
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
berkembang bersifat tipe pasar ekonomi.
Tenurial dipersawahan menggambar-kan antitesis terhadap tesis dari marxisme, upah tenaga kerja pemanenan yang tidak eksploitatif terhadap buruh tani pada persiapan lahan, pemeliharaan tanaman padi dan kacang tanah, serta „massaro dipersawahan, tetapi justru memberatkan petani pemilik lahan, karena biaya tenaga kerja yang tinggi dengan upah sebesar Rp 15.000 per setengah hari. Sehingga budidaya di persawahan dengan adopsi input dari luar daerah berupa pupuk dan pestisida/herbisida menurunkan pendapatan bersih dan rente ekonomi petani pada lahan persawahan. Meminjam teori rasionalitas dari Weber dalam Shaleh(2006) dan (Skousen, 2001 alih bahasa Santoso, 2006)), rasionalitas tenurial petani pada seluruh lahan wanatani dan lahan persawahan adalah rasionalitas tradisional nilai yang tidak mengalami pergeseran sejak periode Belanda sampai sekarang. Rasionalitas tradisonal nilai tersebut juga mendukung tesis dari Scott (1981), bahwa tindakan petani dalam tenurial sanra, teseng, dan massaro yang diterapkan mempunyai moral untuk subsistensi pangan kollektifitas masyarakat kampung. Sedang pada tenurial paje Merupakan tenurial bersifat tindakan rasionalitas ekonomi untuk efisiensi faktor produksi dan maksimasisasi hasil untuk tujuan produksi komoditi komersial dan kapitalis. Desa Batupute
Sistem tenur yang berkembang pada wanatani sejak penjajahan Belanda sampai sekarang tidak terjadi peminggiran, meskipun dinamika wanatani mengalami perkembangan dari ladang berpindah, atau kemiri monokultur atau hutan jati monokultur dan menjadi wanatani ladang menetap, wanatani kebun campuran dominan coklat, dan atau wanatani pekarangan dominan coklat. Struktur sosial dan sistem sosial sangat berperan terhadap berkembangnya tipe tenurial pada wilayah tersebut yang kondisi kepadatan demografisnya rendah. demikian pula sistem tenurial (hubungan produksi) yang simetris (resiprositas) terhadap dinamika penggunaan lahan (cara produksi) berperan terhadap inovasi teknologi komoditas pada suatu wilayah. Gambaran dinamika tenurial di Desa batupute, diperlihatkan pada Tabel 5.
161
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
Tabel 5. Dinamika Sistem Tenure yang terdapat pada Wanatani di Desa Batupute
Tenurial pengelolaan lahan
No
Nama Tenurial
Periode ter- lembaganya
tenurial
Periode terpinggirkan tenurial
faktor penyebab munculnya Tenurial
1.
Ma‟dumme (Ronda kelompok)
1940 - 1970
pengendalian hama babi dan monyet pada kelompok peladang/kebun campuran
2
Makkampiri
------
3.
Ma‟bali
4
Makkallice
 Lahan kemiri luas/ KK
 kepadatan penduduk rendah
5
Ma‟deppa
6
Mallolo
1970-1980
--------------
 Peremajaan kemiri
 keberlangsungan hak kepemilikan
Tenurial pemilikan dan hak kelola lahan
1.
Lakara
Belanda- Jepang
-penanda kepemilikan
2
Sanra
1970- sekarang
---------
 Distribusi lahan
 Kebutuhan uang tunai pemilik lahan
3.
Teseng dan mallolo
-----
 Distribusi hak kelola lahan
 Patron-klien
2000-sekarang
------
 konversi kemiri monokultur menjadi kebun campuran coklat
 Distribusi (bagi lahan) pada tuan tanah dengan kaum ata (patron-klien)
Berdasarkan Tabel 5 di atas, periode tahun 1940 -1970 pola tenurial yang berkembang di Desa Batupute mempunyai kesamaan tipe feodal Amerika latin dibanding tipe feodal Asia (world Bank, 1975) dengan ciri yang dominan: a) Konsentrasi pemilikan yang tinggi, (b) ketidakmerataan sosial yang tinggi, (c) ketidakmerataan ekonomi yang tinggi, (d) produktifitas tanah yang rendah, (e) tingkat teknologi yang rendah, (g) tenaga kerja disediakan oleh penduduk yang migrasi, atau pemilik tanah-tanah berlahan tidak cukup untuk resistensi subsisten selama setahun, (h) dioperasikan oleh tenaga kerja perhambaan (serfs) berpola patron-klien . Pola ini berkembang, karena pengaruh sistem sosial, struktur ekonomi, situasi demografis, sistem pertanian dan kondisi basis sumberdaya lokal, serta belum adanya pengaruh sistem ekonomi dari wilayah yang lebih luas (regional, nasional dan global), sistem ekonomi skala lokal.
Pada periode 1970 -1980 pola tenurial yang berkembang tipenya
bipolar tipe feodal Amerika latin dan tipe komunal tradisional. Tipe feodal Amerika latin berkembang pada lapisan sosial bangsawan dengan golonga ata pada lahan ongko, sedangkan tipe komunal tradisional berkembang pada golongan masyarakat menengah pada lahan tanah negara bebas melalui tenurial lakara dan wanatani ladang berpindah sebagai proses awal pembentukan hutan kemiri monokultur dan hutan jati.
Periode tahun 1990 – sekarang, pola tenurial yang berkembang bersifat tipe pasar ekonomi, karena pengaruh (1) sistem politik dan situasi politik, (2) struktur ekonomi yang lebih luas (regional, nasional, dan global), (3) sistem hukum yang sentralisasi, (4) dan situasi demografis, dimana jumlah penduduk mengalami peningkatan.
Faktor dan variabel yang berpungsi terjadinya Dinamika Tenurial
Hasil analisis diskriminan menunjuk-kan faktor–faktor yang berperan terhadap terjadinya
Sumber : Data Primer Setalah Diolah, 2007
162
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-167
dinamika tenurial pada Sub DAS Minraleng Hulu, yaitu faktor demografi, teknologi, biofisik lahan, akses terhadap infrastruktur wilayah, dan faktor kelembagaan. Hasil Uji statistik Wilk‟s Lamda dan Univariated F ratio menggambarkan Konstribusi masing –masing faktor tersebut dan variabel penyusunnya dalam membedakan kelompok tenurial komunal, individu-komunal, dan individual ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Faktor Pembeda Kelompok Petani Subsisten, Komersil dan Kapitalis di Sub DAS Minraleng Hulu
No
faktor
Variabel
Notasi
Wilk‟s Lamda
Signifi-cance
1
Demografi
imigrasi keluar desa
X1
0.951
0.011
Jumlah Anggota keluarga membantu Wanatani
X2
0.963
0.034
Luas lahan wanatani
X5
0.912
0.000
total luas lahan milik dan sakap
X6
0.892
0.000
2
Teknologi
Jumlah komoditas tanaman yang diusahakan
X7
0.863
0.000
Jenis pupuk dan pestisida yang digunakan
X8
0.895
0.000
Jumlah pupuk yang di gunakan
X9
0.950
0.010
Jenis dan jumlah peralatan yang digunakan pada budidaya wanatani
X11
0.943
0.005
Jenis dan jumlah Mesin pengolah hasil pertanian yang dimiliki
X13
0.949
0.010
4
Biofisik
Iklim
X17
0.960
0.026
Topografi
X19
0.947
0.008
Jumlah bulan Ketersediaan air untuk lahan
X21
0.873
0.000
5
Infrastruktur
Jarak lahan dengan pasar
X26
0.894
0.000
Jumlah Jenis angkutan hasil wanatani
X27
0.946
0.007
Akses responden ke pedagang untuk pemasaran hasil
X28
0.939
0.004
Akses responden ke pedagang untuk penyediaan saprodi
X29
0.937
0.003
Peran masing-masing faktor beserta variabelnya pada Tabel 38 di atas terhadap dinamika katagori tenurial wanatani di Sub DAS Minraleng Hulu diuraikan berikut ini. Demografi Diferensiasi pemilikan lahan akibat pertambahan penduduk dan berkembangnya sistem teknologi pertanian persawahan bercorak komersil atau kapitalis di Desa Timpuseng , berimplikasi pada perubahan tenurial ke arah individual yang sebelumnya individu-komunal pada saat masih menggunakan tenaga ternak sapi kombinasi tenaga manusia. Berkembangnya tenurial individualis dipersawahan menyebabkan petani gurem yang luas lahan sawahnya <> 1 ha). Migrasi petani tersebut terjadi di desa Timpuseng Kecamatan camba
Petani gurem dan tidak punya lahan persawahan di Kampung baru tidak melakukan migrasi dikarenakan adanya wanatani gula aren sebagai matapencaharian untuk mempertahankan resistensi subsistensi pangan pokoknya dari menjual arennya pada pasar kecamatan setempat dua kali dalam seminggu, disamping dari sawah dan ladang sebagai tambahan
Sumber : Data Primer Setalah Diolah, 2007
163
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-165
jaminan subsistensi pada saat puncak paceklik menjelang musim panen padi dipersawahan. Sistem tenurial yang berkembang pada gula aren, yaitu sistem bagi hasil secara rata produksi gula aren (50%:50%) antara pemilik pohon aren sekaligus juga pemilik tungku pembuatan gula aren dengan buruh tani pembuat gula aren. Kelebihan potensi tenaga kerja dari lapisan petani tdk punya lahan sawah yang terdapat pada Kampung Baru Desa Limampoccoe, juga tertampung pada tenurial ladang berpindah secara kelompok dan tenurial usahatani persawahan tadah hujan menggunakan peralatan tenaga hewan kombinasi tenaga manusia.
Pada petani persawahan berwatak komersil- kapitalis terintegrasi dengan sistem wanatani ladang bero, dan hutan rakyat campuran juga berwatak komersil –kapitalis yang terdapat di desa Limampoccoe, sistem tenurial yang berkembang bersifat individu, seperti paje lahan, memarginalkan sistem teseng dan sanra yang dulunya berlaku saat belum digunakannya teknologi traktor tangan.
Petani wanatani di Desa Batupute yang tidak punya lahan persawahan melakukan ladang bero pada lahan miliknya atau meremajakan/mengkonversi lahan kemiri monokultur dan atau lahan jati monokultur menjadi kebun campuran dominan coklat dengan sistem tenurial bagi lahan secara rata (50% pemilik lahan dan 50 % pula petani pekebun) terhadap lahan yang diremajakan saat coklatnya telah berproduksi. Hasil tanaman semusim saat diladangi menjadi milik peladang bero untuk resistensi subsistensi pangannya dengan menjual hasil ladangnya (Cabe, tomat, kacang tanah, jahe, jagung, ) dan uang hasil penjualannya untuk membeli pangan pokok dan kebutuhan primer lainnya.
Sistem wanatani kebun campuran dan wanatani pekarang yang keduanya dominan coklat dengan watak komersil kapitalis, tenurial yang berkembang juga individu. Kedua Wanatani yang terdapat di Desa batupute ini juga menciptakan diferensiasi sosial, hanya saja distribusi lahan diantara penduduk belum terjadi ketimpangan (rata-rata luas lahan penduduk > 1ha/KK) dikarenakan ratio pertumbuhan penduduk terhadap luas desa masih rendah.
Teknologi
Komoditas yang diusahakan penduduk pada lahan persawahan, ladang bero, ladang berpindah, kebun campuran dan pekarangan dan untuk tujuan komersil sampai kapitalis, maka tenurial yang berkembang dominan berciri individualis. Sedang pada lahan yang diusahakan untuk tujuan pokok subsistensi pada lahan sawah dan ladang berpindah, maka tenurial yang berkembang adalah komunal - individu. Pengecualian pada hutan kemiri monokultur, maka meskipun rumah tangga petani mengusahakan kemiri untuk tujuan subsistensi, komersil ataupun kapitalis, sistem tenurialnya tetap bercirikan individu-komunal. Hanya saja prodsuktifitas hutan kemiri sangat menurun sehingga terjadi konversi lahan ke wanatani atau sistem pertanian lainnya.
Sarana produksi pupuk dan pestisida, serta peralatan mekanis traktor tangan, mesin pengolah hasil pertanian dan sarana transportasi, mengarahkan dinamika tenurial ke individualis pada tahapan pengelolaan lahan dan pemeliharaan lahan, tetapi pada saat panenan masih terdapat tenurial individu-komunal, yaitu tenunan ”massaro ase” dengan pembagian hasil dapat dilihat pada Tabel Ms . Hal ini terjadi pada lahan persawahan yang didukung kesuburan biofisik ( topografi yang datar dan ketersediaan air yang memadai ) di
164
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-165
desa Timpuseng dan sebagian besar dusun dan perkampungan di Desa Limampoccoe. Pada wanatani ladang (menetap/bero dan berpindah), hutan jati dan hutan kemiri monokultur yang masih menggunakan peralatan sederhana parang, cangkul dan kampak , serta persawahan tanpa peralatan mekanis (menggunakan tenaga kerja ternak sapi dan tenaga manusia), maka Tenurial yang berkembang berciri individidual - komunal atau komunal -individual. Pengecualian pada kebun campuran dominan coklat dan wanatani pekarangan dominan coklat dengan peralatan manual, tenurial yang berkembang berciri individualis pada seluruh tahapan pengelolaan wanatani.
Infrastruktur
Makin rendah akses jalan, perumahan dan pasar, maka sistem tenure makin ke arah individu, sedang makin tidak tersedia infrastruktur, seperti jalan, pasar dan dekat perumahan tersebut, tenurial yang berkembang ke arah komunal. Lahan persawahan dan wanatani yang tidak terdapat akses jalan, jauh dari permukiman dan pasar , tenurial yang berkembang adalah komunal-individu.
Fungsi Diskriminan Dinamika Tenurial
Berdasarkan struktur matriks dan summary of canonical discriminant fungtions (Lampiran 4) dari hasil analisis statistika diskrimanan, diperoleh suatu fungsi diskriminan yang dapat digunakan dalam mengklasifikasikan sistem tenurial yang dianut petani apakah komunal, individu-komunal, Individu-individu atau individu penyakapan. Persamaan Fungsi diskriminan dinamika tenurial sebagai berikut :
Z Score-1 = 0.477X4 -0.569X6 – 0.191X7 – 0.771X8 – 0.225X11 +
0.778X15 + 0.665X18 + 0.966X26 - 1.413X27 + 0.990X30 ........(3)
Z Score- 2 = 0.832X4 - 0.788X6 + 0.858X7 – 0.271X8 – 0.850X11
+ 0.17X15 - 0.419X18 + 0.128X26 + 1.340X27 - 0.670X30...........(4)
Fungsi persamaan (3) di atas dapat mengklasifikasikan sistem tenurial wanatani komunal sampai individu-komunal, sedang fungsi persamaan (4) dapat mengklasifikasi-kan sistem tenurial wanatani individu-komunal sampai tenurial individu -penyakapan.
KESIMPULAN
1. Faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya dinamika tenurial, yaitu demografi, teknologi, biofisik lahan, akses terhadap infrstruktur dan kelembagaan. Variabel imigrasi penduduk, luas lahan penduduk, luas lahan sawah, dan luas lahan sakap dan milik variabel yang melingkupi faktor demografi ; Variabel jumlah komoditas tanaman yang diusahakan, jenis dan jumlah vestisida yang digunakan, Jenis dan jumlah peralatan budidaya, jenis dan variabel jenis dan jumlah peralatan pengolah hasil pertanian yang melingkupi faktor teknologi ; dan jumlah sistem penguasaan lahan yang dilakukan yang melingkupi faktor kelembagaan.
2. Tahap awal (penjajahan Belanda – 1970) tenurial bersifat komunal tradisional dipengaruhi oleh sistem ekonomi skala lokal, sistem pertanian tradisional berbasis sumberdaya lokal dan demografi penduduk yang rendah
165
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 151-165
dengan ketersediaan lahan pertanian yang luas. Tahap pertengahan sampai sekarang (1980 – sekarang), tenurial yang berkembang bertipe pasar ekonomi, pengaruh sistem politik otoritarian, struktur ekonomi mengglobal, sistem hukum sentralisasi dan demografi penduduk tinggi dengan ketersediaan lahan pertanian terbatas. DAFTAR PUSTAKA Amaluddin .1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Studi Kasus di Desa Bulugede, Kendal, Jawa Tengah. Penerbit UI Press. Jakarta. Cohran. G.W. 1977. Sampling Techniques. Penerbit John Wiley and Sons. New York. Fausi. N. 1999. Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Hayami, Y dan Kikuchi, M. 1987. Dilema Ekonomi Desa, Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Terjemahan oleh Sahara, D. Noer. Penerbit yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sumaryanto, Siregar, M. dan Wahida. 2002. Penguasaan tanah, Sistem Usahatani dan Pendapatan Rumahtangga Petani di Daerah Beririgasi DAS Brantas. Laporan Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian IPB Bogor bekerjasama dengan IFPRI . Bogor. Skousen, D. 2001. Sang Maestro “ Teori-Teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi. Terjemahan oleh Santoso, B.W.T. 2006. Prenada media Group. jakarta Scott. J. C. 1976. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Penerbit LP3ES. Jakarta. Wiradi, G. 1999. Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir. Penerbit Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.
.
Diterima 22 Mei 2007
Muh. Dassir
Laboratorium Pemanenan Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia.Alamat Rumah : Kompleks Perumhan Antang, Makassar HP :08524992337
166
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173
KOMPOSISI LIMBAH PENEBANGAN
DI AREL HPH PT. TELUK BINTUNI MINA AGRO KARYA
The Composition of Cutting Waste
at PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya Concession
A. Mujetahid, M.
Abstract
The study aims to investigate the composition of cutting waste and the percentage value of the logging waste against the realization of log production, and the prospective utilization of the existing cutting waste. The result of the study is expected to become a reference for the forestry department to conduct supervision on the validity of the annual work plan proposed by the investor of the cutting waste utilization.The study is conducted in two groups of wood, Meranti wood and Mixed species. A grouping is also made based on the tree diameter, with range of diameter between 50-79 and 80 cm up. A three time replication is conducted to each tree group, which make 24 tree samples. Data processing in analysis to determine composition and percentage value of waste woods on realization of log production was conducted by tabulation method.The study reveals that the cutting waste, which can be utilized, is located at clear bole stem, above clear bole stem and stumps with average percentage of 14.565% for single tree. Reference value to estimate the potential of cutting waste which are based on the realization of the log production, is 14.520% for Meranti and 14.610% for Mixed species.
Keyword : composition, waste, cutting.
PENDAHULUAN
Pemanfaatan limbah kayu telah berkembang pesat dengan semakin terbatasnya sumber daya hutan kayu yang ada. Beberapa industri kayu lapis bahkan telah dilengkapi dengan unit pengelolaan limbah seperti briket arang, papan blok (blok board), papan partikel (partikel board) serta finir (veneer) untuk bagian tengah (coor) kayu lapis (plywood). Produk seperti ini tidak memerlukan ukuran bahan baku kayu yang besar, sehingga cukup dengan limbah pemanenan atau sisa pengelolaan kayu di industri kayu gergajian atau kayu lapis Produk yang dihasilkan tersebut memiliki pangsa pasar,
bahkan produk yang bersifat ekspor. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan (1990), menyatakan bahwa limbah pemanenan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku finir (veneer), kayu gergajian (sawn timber), papan blok (blok board), papan paartikel (partikel board), dan peti pengemas.
Pemanfaatan limbah kayu sampai saat ini masih terbatas pada sisa kayu bulat hasil pengolahaan kayu di industri yang jumlahnya masih terbatas. Terbatasnya limbah industri ini disebabkan kayu bulat yang telah berada di industri pengolahan, hampir seluruhnya
167
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173
dipergunakan untuk memproduksi sortimen utama. Dengan kata lain, pemanfaatan kayu di industri pengolahan kayu telah diupayakan semaksimal mungkin karena kayu bulat yang telah berada di industri tersebut telah dicatat untuk pembayaran provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi sehingga harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Lempang dkk, (1995) melaporkan hasil penelitian faktor eksploitasi pada pemungutan kayu dengan sistim mekanik di Sulawesi Selatan, yang intinya menyatakan bahwa faktor eksploitasi rata-rata di daerah tersebut adalah 0,83. Selanjutnya, dilaporkan pula bahwa rata-rata limbah per pohon yang terjadi akibat pemanenan di daerah tersebut adalah 1,09 meter kubik. Pusat Informasi Kehutanan, (2004) dalam siaran pers nomor S.664/II/PIK-1/2004 tanggal 10 Nopember 2004 menyatakan bahwa saat ini terdapat limbah kayu yang ditinggalkan di hutan alam sebanyak 40-70% dari produksi kayu bulat. Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa limbah kayu yang sangat besar tersebut dapat dimanfaatkan secara ekonomis dalam bentuk chips. Pemanfaatan limbah tersebut dapat menggunakan mesin yang mudah dipindah (portable) dengan memanfaatkan kelompok masyarakat.
Sanusi, (1991) menyatakan bahwa limbah pemanenan, berupa tunggak kayu atau cabang besar biasanya memiliki serat yang arahnya berpuntir atau arah serat tidak teratur. Dinyatakan pula bahwa kondisi limbah demikian justru dapat bernilai tinggi bila dimanfaatkan untuk pembuatan finir (veneer) karena akan menghasilkan pola gambar yang indah.
Kayu limbah bukan saja terjadi di lokasi industri pengolahan, tetapi juga pada proses pemanenan. Kayu limbah yang terjadi pada proses pemanenan terutama pada tahapan kegiatan penebangan dengan jumlahnya yang sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui secara pasti besarnya limbah yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi kayu limbah penebangan di areal HPH PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya dan nilai persentase yang harus digunakan sebagai pedoman dalam taksasi potensi kayu limbah. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah daerah terutama instansi yang menangani kehutanan dalam rangka pembinaan dan pengawasan pengusahaan hutan khususnya pemanfaatan kayu limbah dan bermanfaat bagi para investor yang akan memanfaatkan kayu limbah penebangan.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Areal HPH PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya. Secara administrasi pemerintahan, terletak pada Distrik Babo Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Irian Jaya Barat. Penelitian dilaksanakan pada Bulan April - Juni 2006
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah semua pohon siap tebang (berdiameter ≥ 50 cm. Populasi dikelompokan dalam dua kelas diameter, yaitu diameter 50-79 cm dan ≥ 80 cm. Pemilihan sample dilakukan secara purposive yang terdiri dari dua kelompok yaitu meranti dan rimba campuran. Masing-masing jenis kayu yang mewakili dua kelas diameter dengan ulangan sebanyak tiga kali. Dengan demikian, pohon sample yang dibutuhkan adalah sebanyak dua
168
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173
puluh empat pohon atau setiap jenis terdiri dari enam pohon.
1. Kelompok kayu meranti:
a. Merbau (instia bijuga OK), enam pohon
b. Kenari (Canarium inicum L.), enam pohon
2. Kelompok kayu rimba
a. Kedondong (Koordersiodenron pinnatum Merr) enam pohon
b. Jabon (Anthocephallus cadamba Miq) enam pohon
Peralatan yang digunakan untuk menebang dan mengukur volume kayu sebagai berikut :
1. Gergaji rantai (chain saw)
2. Pita ukur merk “ESLON” yang panjangnya 20 m.
3. Tongkat ukur (scale stik) yang panjangnya 1,20 m.
Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur keliling dan panjang setiap potongan batang kayu limbah, baik pada bagian batang bebas cabang, di atas batang bebas cabang, dan tunggak. Kemudian dikelompokan berdasarkan diameter dan jenis kayu. Diameter kayu limbah dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu 10-19 cm, 20-29 cm, dan 30 ke atas.
Pengukuran diameter adalah sebagai berikut :
D = 2DuDp = 2)43(2/1)21(2/1dddd
Dimana :
D = diameter kayu bulat rimba
Dp= diameter rata-rata bontos pangkal dalam kelipatan satu cm penuh, yang diperoleh dari diameter terpendek (d1) dan diameter terpanjang (d2) melalui pusat bontos juga.
Du= diameter rata-rata bontos ujung dalam kelipatan satu cm penuh, yang diperoleh dari diameter terpendek (d3) dan terpanjang (d4) melalui pusat bontos juga.
Perhitungan volume limbah:
Perhitungan volume limbah menggunakan rumus Brereton metric, sesuai petunjuk cara pengukuran dan penetapan isi kayu bulat Indonesia ( Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, 2004) berikut ini:
Rumus : I = 0,7854 x D2 x L
Dimana : I = Volume atau isi kayu bulat rimba (m3)
D= Diameter kayu bulat (m3)
L= Panjang kayu bulat (m3)
0,7854 merupakan angka dari ¼  = ¼ x 3.1416
Perhitungan prosentase kayu limbah:
PL = 100VpTLVLk%
Dimana :
PL = Prosentase kayu limbah dalam satuan persen (%)
VLk = Volume kayu limbah (m3)
TL = Volume total kayu limbah per pohon (m3)
Vp = Volume produksi kayu bulat yang sampai di TPK (m3)
169
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173
P = Panjang (m) Komposisi limbah pemanenan dianalisis dengan menggunakan tabulasi sederhana.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Komposisi limbah pemanenan berdasarkan sumber limbah, baik dari kelompok kayu meranti maupun rimba campuran pada berbagai kelas diameter di areal PH PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi dan Rata-rata Volume Limbah Penebangan Kelompok Kayu Meranti dan Rimba Campuran
No.
Jenis Kayu
Volume Log (m 3)
Volume Limbah (m3)
Volume Total
(m3)
Persentase Limbah
(%)
Di atas Bebas Cabang (cm)
Bebas Cabang
Tunggak
Total Limbah
Ф10-19
Ф 20-29
Ф ≥30
Jumlah
A. Kelompok Meranti
1.
Merbau
8,670
0,090
0,160
0,450
0,700
0,310
0,610
1,620
10,29
15,740
2.
Kenari
11,400
0,070
0.180
0,570
0,820
0,450
0,520
1,790
13,19
13,570
Rata-rata-A
10,035
0.080
0.170
0,510
0,760
0,380
0,565
1,705
11,74
14,520
B. Kelompok Rimba Campuran
1.
Kedondong
5,730
0,060
0,120
0,250
0,430
0,180
0,420
1,030
6,760
15,240
2.
Jabon
6,300
0,060
0,160
0,230
0,450
0,230
0,350
1,030
7,330
14,050
Rata-rata-B
6,020
0,060
0,140
0,240
0,440
0,205
0,385
1,030
7,050
14,610
Rata-rata Total
8,028
0,007
0,155
0,375
0,600
0,293
0,475
1,368
9,395
14,565
Kelompok Kayu Meranti
Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata volume log per pohon yang dapat dimanfaatkan adalah sebesar 11,740 m3. Jumlah volume kayu tersebut terdiri dari 10,035 m3 atau 85,48% yang dapat dimanfaatkan dan 1,705 m3 atau 14,52 % yang dapat dimanfaatkan tetapi tidak dimanfaatkan (limbah). Sumber limbah tersebut terdiri dari limbah yang berasal dari tunggak, batang utama (bebas cabang) dan di atas bebas cabang.
Limbah terbesar berasal dari bagian kayu di atas bebas cabang pertama yaitu sebesar 0,760 m3 (6,47%) dari total kayu yang dapat dimanfaatkan pada setiap pohonnya. Limbah tersebut berasal dari batang yang berdiameter 30 cm ke atas sebesar 0,510 m3 (67,11%), 20 – 29 cm sebesar 0,17 m3 (22,37%) dan diameter 10-19 cm sebesar 0,08 m3 (10,52%). Besarnya persentase limbah tersebut karena kayu yang terletak di atas bebas cabang pertama tidak dimanfaatkan lagi walaupun jumlah potongan dan diameter berkisar antara 10-30 cm masih memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan volumenya yang besar. Perusahaan kayu berupa HPH yang belum mampu mengolah kayu ukuran kecil, akan ditinggalkan di petak tebangan berupa limbah karena hanya memanfaatkan kayu dengan ukuran diameter tertentu.
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007
170
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173
Persentase kayu limbah terbesar kedua bersumber dari bagian tunggak dengan persentase limbah rata-rata sebesar 4,81% dari total kayu yang dapat dimanfaatkan atau 0,565 m3 per pohon. Tinggi tunggak yang masih dapat dimanfaatkan berkisar antara 80-90 cm dengan diameter antara 72 – 130 cm untuk jenis Merbau (Instia bijuga OK) dan jenis Kenari (Canarium inicum L.,) tinggi tunggak berkisar antara 50-70 cm dengan diameter 78-140 cm. Hal ini terjadi karena operator penebang melakukan penebangan tanpa mempertimbangkan besar kecilnya limbah, namun berdasarkan posisi tebang yang memudahkan kegiatan penebangan, waktu tebang yang lebih cepat karena upah tebang berdasarkan besarnya volume kayu yang ditebang. Apabila menerapkan penebangan serendah mungkin, maka waktu yang digunakan lebih lama, sehingga upah yang diperoleh lebih rendah.
Sumber limbah yang ketiga adalah kayu limbah yang bersumber dari batang bebas cabang dengan persentase rata-rata sebesar 3,24% dari total kayu yang dapat dimanfaatkan atau 0,380 m3 per pohon. Persentase tersebut lebih kecil dibandingkan dengan sumber lainnya. Limbah ini dapat terjadi akibat besarnya mulut takik rebah, sehingga pada saat pemotongan pangkal batang dalam rangka perataan ujung dan pangkal log, maka terjadilah limbah, batang pecah akibat terbentur pada batu, atau tidak terputusnya serat kayu antara takik rebah dengan takik balas. Panjangnya batang berkisar antara 50-70 cm dan diameter berkisar antara 72-134 cm.
Kelompok Rimba Campuran
Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata volume log per pohon yang dapat dimanfaatkan adalah sebesar 7,05 m3. Jumlah volume kayu tersebut terdiri dari 6,02 m3 atau 85,39% yang dapat dimanfaatkan dan 1,03 m3 atau 14,610% yang dapat dimanfaatkan tetapi tidak dimanfaatkan (limbah). Sumber limbah tersebut sama dengan kelompok rimba campuran yaitu terdiri dari limbah yang berasal dari tunggak, batang utama (bebas cabang) dan di atas bebas cabang. Volume kayu tersebut lebih kecil dari kelompok meranti, jenis ini terutama Jabon (Anthocephallus cadamba Miq) merupakan tanaman pioneer yang tumbuh setelah areal tersebut terbuka.
Persentase limbah terbesar berasal dari bagian kayu di atas batang bebas cabang pertama yaitu sebesar 0,44 m3 (6,241%) dari total kayu yang dapat dimanfaatkan pada setiap pohonnya. %). Limbah tersebut berasal dari batang yang berdiameter 30 cm ke atas sebesar 0,24 m3 (54,545%), 20 – 29 cm sebesar 0,14 m3 (31,819%) dan diameter 10-19 cm sebesar 0,06 m3 (13,636%). Besarnya persentase limbah tersebut pada dasarnya sama dengan kelompok meranti karena kayu yang terletak di atas bebas cabang pertama tidak dimanfaatkan lagi walaupun panjangnya antara 0,5 -1,2 m dan diameter berkisar antara 10-30 cm masih memiliki potensi volume yang besar. Perusahaan kayu berupa HPH yang belum mampu mengolah kayu ukuran kecil, akan ditinggalkan di petak tebangan karena hanya memanfaatkan kayu dengan ukuran diameter tertentu.
Persentase kayu limbah terbesar kedua bersumber dari bagian tunggak dengan persentase limbah rata-rata sebesar 5,461%
171
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173
dari total kayu yang dapat dimanfaatkan atau 0,385 m3 per pohon. Tinggi tunggak yang masih dapat dimanfaatkan berkisar antara 70-80 cm dengan diameter antara 58-101 cm untuk jenis Kedondong (Koordersiodenron pinnatum Merr) dan jenis Jabon (Anthocephallus cadamba Miq) tinggi tunggak berkisar antara 60-80 cm dengan diameter 60-101 cm. Hal ini terjadi karena operator penebang melakukan penebangan tanpa mempertimbangkan besar kecilnya limbah, namun berdasarkan posisi tebang yang memudahkan kegiatan penebangan, waktu tebang yang lebih cepat karena upah tebang berdasarkan besarnya volume kayu yang ditebang. Apabila menerapkan penebangan serendah mungkin, maka waktu yang digunakan lebih lama, sehingga upah yang diperoleh lebih rendah.
Sumber limbah yang ketiga adalah kayu limbah yang bersumber dari batang bebas cabang dengan persentase rata-rata sebesar 2,907% dari total kayu yang dapat dimanfaatkan atau 0,205 m3 per pohon. Persentase tersebut lebih kecil dibandingkan dengan sumber lainnya. Limbah ini dapat terjadi akibat besarnya mulut takik rebah terlalu lebar, sehingga pada saat pemotongan pangkal batang dalam rangka perataan terjadilah limbah disamping karena batang pecah akibat terbentur pada batu, atau tidak terputusnya serat kayu antara takik rebah dengan takik balas. Panjangnya batang berkisar antara 50-60 cm dan diameter berkisar antara 46-86 cm. Disamping itu disebabkan oleh kegiatan topping, penebangan cenderung melakukan pemotongan ujung kayu pada batas dimana ukuran diameternya relative masih mendekati diameter pangkal sehingga mendekati bentuk silindris. Akibatnya terdapat sisa kayu bulat antara batas topping dengan cabang pertama berupa kayu limbah yang akan ditinggalkan di hutan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Volume limbah berdasarkan sumber limbah setiap jenis kayu
00.10.20.30.40.50.60.70.80.9MerbauKenariKedondongJabonVolume Limbah (
m3)> bebas cabangbebas cabangtunggak
172
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173
Total Volume Limbah Besarnya volume limbah terbesar berdasarkan kelompok jenis diperoleh bahwa kelompok jenis kayu meranti limbahnya lebih besar dibandingkan dengan kelompok rimba campuran yaitu masing-masing 1,705 m3 dan 1,030 m3 per pohon, sehingga terdapat perbedaan sebesar 0,675 m3 per pohon. Namun demikian apabila besarnya limbah dihitung secara proporsional dengan membandingan antara besarnya volume dengan besarnya limbah per pohon, maka kelompok jenis rimba campuran (14,610%) limbahnya lebih besar dibandingkan dengan kelompok jenis meranti (14,520%), namun perbedaan tersebut sangat kecil yaitu 0,09%.
Besarnya volume limbah berdasarkan jenis kayu secara berturut-turut dari yang terbesar sampai terkecil adalah jenis Kenari (Canarium inicum L.,) yaitu sebesar 1,790 m3, Merbau (Instia bijuga OK) sebesar 1,620 m3, Kedondong (Koordersiodenron pinnatum Merr) dan Jabon (Anthocephallus cadamba Miq) masing-masing 1.030 m3. Sedangkan besarnya persentase limbah yang diperoleh berdasarkan perbandingan antara volume limbah dengan volume total secara berturut-turut dari yang terbesar sampai terkecil adalah jenis Merbau (Instia bijuga OK) sebesar 15,74%, Kedondong (Koordersiodenron pinnatum Merr) sebesar 15,240%, Jabon (Anthocephallus cadamba Miq) sebesar 14,050% dan Kenari (Canarium inicum L.,) sebesar 13,507%.
Volume kayu rata-rata per pohon sebanyak 9,395 m3 dengan limbah rata-rata adalah sebesar 1,368 m3 atau sebesar 14,565% per pohon. Besarnya volume limbah total berdasarkan jenis kayu disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Total volume limbah berdasarkan jenis kayu
00.20.40.60.811.21.41.61.82MerbauKenariKedondongJabonVolume Limbah (
m3)
173
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 166-173
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa komposisi kayu limbah penebangan di areal HPH PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya tersebar pada bagian atas batang bebas cabang, batas bebas cabang, dan tunggak dengan persentase sebesar 14,565% dari volume kayu yang dapat dimanfaatkan per pohon. Nilai pedoman untuk menduga potensi limbah berdasarkan pendekatan realisasi produksi adalah 14,520% untuk kelompok kayu meranti dan 14,610 % untuk kelompok kayu rimba campuran atau rata-rata 14,565% dari realisasi kayu produksi. Dalam pemberian ijin pemanfaatan limbah, sebaiknya Dinas Kehutanan Kabupaten Bintuni menggunakan nilai prosentase limbah berdasarkan hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan, 2002. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6886/Kpts-II/2002 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Ijin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) pada Hutan Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1990. Pedoman Teknis Penekanan dan Pemanfaatan Kayu Limbah Pembalakan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Pusat Informasi Kehutanan, 2004. Siaran Pers No. S.664/II/PIK-1/2004 tentang Revitalisasi Industri Kehutanan Dayagunakan Hasil Hutan Non Kayu dan Hutan Tanaman (http://www.dephut.go.id/INFORMASI/HUMAS/2004/664-04.htm, diakses 18 April 2005. Pusat Bahasa Departemen. Pendidikan Nasional, 2003. Kampus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Balai Pustaka Jakarta. Sanusi, D., 1991. Opimasi pemanfaatan Jenis-Jenis Kayu Tropis Melalui pengolahan Kayu Terpadu. GFG-report No.18 Jan, 1991. Halaman 160. Suwasa S., 1991. Suatu Pemikiran Tentang Pemanfaatan Jenis-Jenis Kayu Hutan Tropis Secara Maksimal dalam Kaitannya dengan kelestarian Sumber. GFG-report No.18 Jan, 1991. Halaman 79.
Diterima : 23 April 2007
A. Mujetahid
Laboratorium Pemanenan Hasil Hutan,
Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Jl Perumdos Unhas, Blok B HP
174
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DEBIT SUNGAI MAMASA
Analysis of Factors Influencing the River Discharge of Mamasa
Asikin Muchtar dan Nurdin Abdullah
Abstract
The research was conducted in the watershed area of Mamasa. Data was taken for 11 months starting from December 2006 to October 2007.The research aimed to identify the influencing factors of the river discharge which were decreasing from time to time. Data was collected through the application of direct field observation and literature study. Data on precipitation were gained from 4 stations. The stations were located in Sumarorong, Mamasa, Minake, and Pana. Data regarding the river discharge were taken from the office of The Water Source Management in south Sulawesi Province. Meanwhile, data of land cover were gained from GIS mapping taken in 1999 and 2003 as well as from Spot 4 in 2007.
Data were analyzed by regression linear model to identify the effect of independent variable to dependent variable.The results of the research show that the changes in river discharge fluctuation were influenced by precipitation and land cover factor. The dominant factor that influenced river discharge fluctuation were conifers and wide leaf type of vegetations.
Key words: watershed, influencing, fluctuation
PENDAHULUAN
Daerah aliran sungai merupakan daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi yang merupakan daerah tangkapan air (catchment area) memiliki fungsi menerima, menampung dan mengalirkan air ke laut melalui sungai utama. Daerah aliran sungai mempunyai manfaat sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, tumbuhan dan hewan di sekitarnya.
Bertambahnya jumlah penduduk mempengaruhi kondisi sumberdaya hutan, tanah, dan air di daerah aliran sungai (DAS). Kondisi ini menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun disebabkan
terjadinya perusakan hutan oleh adanya aktivitas perladangan berpindah, perambahan hutan, konversi lahan menjadi lahan pertanian, permukiman, dan perusakan-perusakan hutan lainnya.
Akibat adanya degradasi hutan dan lahan ini, maka luas vegetasi hutan efektif menjadi semakin kecil, sehingga tidak dapat lagi berfungsi sebagai sub sistem perlindungan dalam sistem DAS secara keseluruhan. Terjadinya perubahan luas vegetasi hutan sebagai akibat aktivitas tersebut di atas membuat tanah hutan terbuka yang diperparah dengan penggembalaan liar sehingga tanah memadat oleh adanya sedimen menutupi pori-pori tanah akan memperbesar limpasan permukaan, memperkecil infiltrasi sehingga banjir terjadi pada hampir setiap musim hujan dan kekeringan terjadi pada setiap musim kemarau. Limpasan permukaan yang besar menghanyutkan butir-butiran tanah dan pencucian hara tanah lapisan permukaan atas akibatnya tanah menjadi kritis baik kimia maupun fisik sehingga daya dukung lahan terhadap pertumbuhan di atasnya menurun. Proses penghanyutan
175
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187
butiran tanah oleh limpasan permukaan menyebabkan pendangkalan pada alur sungai, bendung, bendungan, waduk, dan saluran-saluran irigasi lainnya serta muara-muara sungai bagian hilir.
Hilangnya luas vegetasi hutan yang efektif dapat menurunkan evapotranspirasi, kelembaban tanah, infiltrasi, dan memperbesar limpasan permukaan. Akibat hal itu mempengaruhi kondisi hidrologi di suatu DAS sehingga menimbulkan pengaruh kepada karakteristik fluktuasi debit aliran sungai yang besar.
Akibat menurunnya kondisi penutupan lahan vegetasi hutan pada bagian hulu DAS Mamasa yang saat ini perambahan hutan masih berlangsung hingga penelitian dilaksanakan telah menyebabkan perubahan iklim terutama curah hujan yang selama beberapa tahun terakhir nampak cenderung berfluktuasi. Disamping itu, perubahan temperatur pada DAS Mamasa cukup signifikan, menyebabkan kondisi iklim mulai terganggu.
Beberapa tahun terakhir ini fungsi hidrologis DAS Mamasa bagian hulu cenderung menurun. Pertambahan luas keberhasilan upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan tidak dapat mengimbangi pertambahan luas kerusakan lahan yang menjadi lahan kritis. Tingginya laju erosi dan sedimentasi dari daerah bagian hulu telah menyebabkan berkurangnya umur pakai berbagai bangunan pengendali sedimen karena telah penuh dengan sedimen.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan : Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi debit sungai Mamasa yang cenderung menurun dari tahun ke tahun ?
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di DAS Mamasa Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat. Pengambilan data berlangsung selama 11 bulan yaitu mulai bulan Desember 2006 sampai dengan Oktober 2007.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Kertas/tally sheet untuk tempat mencatat data primer dan data sekunder
2. Ring sampel untuk mengambil sampel tanah
3. Pulpen dan pencil untuk alat tulis menulis
4. Dan lain-lain
Sedangkan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Komputer + Soft Ware Sig (Arc Info, Arcview) 1 unit
1. Peta Digital Citra Landsat Path Row 114-61 dan 114-62 tahun 1999, 2000, 2003, dan Peta Digital Spot 4 tahun 2007
2. Peta Digital RBI (Rupa Bumi Indonesia) Lembar 2012-22 Mamasa, 2012-54 Sumarorong, 2012-52 Polewali, 2012-61 Karawa Dan 2012-33 Kassa/Lampa
3. Peta Kelas Lereng Propinsi Sulawesi Selatan
4. Peta Paduserasi TGHK dengan RTRWP
6. Peta Jenis Tanah, Lembaga Penelitian Bogor
7. Current meter untuk mengukur debit aliran sungai
8. Laboratorium tanah Fakultas Pertanian dan Kehutanan Unhas
9. Camera digital untuk dokumentasi.
10.GPS untuk mengukur posisi koordinat di lapangan
176
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187
Metode Pengambilan Data
Curah Hujan
Data curah hujan diperoleh dari 4 stasiun pengukur curah hujan tersebar pada Stasiun penakar curah hujan Sumarorong, Stasiun Mamasa, Stasiun Minake dan Stasiun Pana.
Data curah hujan yang telah diukur oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kabupaten Maros (2007). Stasiun pengukur curah hujan ditempatkan dengan metode Polygon Tiessen yaitu masing-masing stasiun ditarik garis lurus menghubungkan antara stasiun terdekat satu terhadap yang lain. Setelah menarik garis lurus kemudian membagi dua garis lurus tersebut menjadi dua yang sama jaraknya, dan demikian pula pada stasiun yang lainnya. Sehingga stasiun Sumarorong mewakili mewakili Sungai Sumarorong, stasiun Mamasa mewakili Sungai Bue dan Sungai Tetean, stasiun Minake mewakili Sungai Miwah.
Penutupan Lahan
Penafsiran Peta Citra Landsat
Pengumpulan data luas penutupan lahan diperoleh dari hasil penafsiran peta citra landsat 1999 dan 2002 sebagai dasar kemudian diinterpolasi ke tahun 1993 dan 2005. Mekanisme interpolasi peta adalah penafsiran peta citra landsat 1999 dan 2002 sebagai dasar kemudian dioverlay dengan peta land use DAS Mamasa, peta rupa bumi, peta topografi, peta tanah, dan peta curah hujan. Teknik interpolasi adalah mendeliniasi batas kawasan hutan dengan bantuan komputer program arcview.
Observasi Lapangan
1Pengamatan Penutupan Lahan
Observasi lapangan dilakukan di Kecamatan Mamasa, Kecamatan Sumarorong, Kecamatan Messawa, dan PLTA Bakaru. Kegiatan pada observasi lapangan ini adalah mengamati keadaan penutupan lahan, topografi (panjang dan kelerengan), kondisi fisik tanah, pengambilan sampel tanah, pengukuran debit aliran sungai dan pengambilan posisi koordinat pada beberapa bagian vegetasi hutan bagian hulu DAS Mamasa. Kemudian menghitung indeks penutupan lahan dengan membandingkan luas lahan bervegetasi permanen dengan luas DAS Mamasa.
Analisis Data
Curah Hujan
Jumlah Curah Hujan
Data jumlah curah hujan yang diperoleh dari stasiun penakar curah hujan Sumarorong, stasiun Mamasa, stasiun Minake, dan Pana, kemudian dianalisis pengaruhnya terhadap fluktuasi debit sungai dengan menggunakan regresi linier sederhana yaitu :
Y=a+bX+ e
Penutupan Lahan
Faktor penutupan lahan yang dipertimbangkan adalah perubahan luas penutupan lahan akibat alih guna lahan dari lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan lahan lainnya yang terjadi selama 10 tahun. Data perubahan luas tutupan lahan diperoleh dari data empiris selama 10 tahun yaitu dari tahun 1996-2005.
Data luas vegetasi hutan yang diperoleh dari penafsiran peta Citra Landsat 1999 dan 2002 yang telah diinterpolasi selama 10 tahun kemudian dianalisis pengaruhnya terhadap fluktuasi debit sungai dengan menggunakan regeresi linier sederhana yaitu :
Y=a+bX+ e
177
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187
HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah (Direktorat Kehutanan dan Sumberdaya Air, 2006).
Karakteristik DAS dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu 1) faktor lahan (ground factor), yang meliputi topografi, tanah, geologi, geomorfologi, 2) vegetasi dan penggunaan lahan (Haeruman, 1994).
Topografi permukaan atau bentuk lahan mempengaruhi aliran permukaan (run off) dan aliran air bumi. Aliran permukaan (surface runoff) meningkat dengan meningkatnya lereng. Tanah, geologi, geomorfologi dari suatu DAS, berfungsi sebagai kontrol terhadap besar kecilnya infiltrasi dan kapasitas menahan air permukaan (Haeruman, 1994).
Menurut Seyhan (1997), sistem DAS (watershed system) dapat diamati melalui tiga tahap utama yaitu : 1) input (curah hujan), 2) sistem struktur kerja dalam DAS, 3) output (limpasan/runoff). Dalam hubungannya dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik spesifik yang berhubungan dengan keadaan faktor-faktor fisik biologisnya seperti curah hujan, evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, limpasan permukaan, kandungan air tanah, dan aliran sungai.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik melakukan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi debit aliran sungai Mamasa yang cenderung berfluktuasi menuun dari tahun ke tahun.
Curah Hujan
Berdasarkan hasil pengamatan curah hujan dan debit sungai di lapangan serta hasil pengukuran curah hujan serta debit sungai tahunan oleh Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Propinsi Sulawesi
178
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187
Selatan, curah hujan dan debit sungai diperoleh sebagai data empiris (time series) selama 32 tahun pada stasiun penakar curah hujan Sumarorong disajikan pada Tabel 1. Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi berupa punggung bukit yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet”
Definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.
Data debit sungai yang diperoleh selain dari hasil pengukuran oleh Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Propinsi Sulawesi Selatan yang diukur pada stasiun AWLR Sikuku Kecamatan Sumarorong, dilakukan pula pengukuran debit secara langsung di lapangan terutama pada setiap anak sungai yang mengalir ke sungai utama Mamasa sebagai perbandingan. Data curah hujan dan debit tahunan dipasangkan untuk dianalisis hubungan curah hujan tersebut dengan fluktuasi debit sungai selama masa periode 32 tahun mulai tahun 1975 sampai dengan tahun 2006 sebagaimana disajikan pada Tabel 1.
179
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187
Tabel 1. Data curah hujan dan debit sungai Mamasa
Tahun
C.Hujan Rata-rata (mm/Thn)
Debit Rata-rata/Thn (m3/dtk)
1975
168,8
45,20
1976
68,8
23,34
1977
247,89
60,12
1978
168,64
44,08
1979
92,82
26,23
1980
98,27
27,60
1981
81,80
25,40
1982
140,75
39,23
1983
80,20
23,10
1984
159,20
40,12
1985
61,00
17,50
1986
56,83
10,20
1987
145,83
54,00
1988
55,00
24,30
1989
218,83
98,00
1990
258,75
73,12
1991
380,82
112,00
1992
60,50
21,20
1993
291,42
24,30
1994
299,50
56,70
1995
312,83
39,80
1996
301,45
45,50
1997
178,50
23,00
1998
351,25
56,00
1999
302,42
49,69
2000
264,08
24,30
2001
257,58
44,94
2002
223,45
41,96
2003
96,17
27,21
2004
282,00
52,41
2005
179,88
22,47
2006
119,00
35,41
Sumber : Dinas PSDA Sul-Sel, 2007
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa curah hujan terendah pada periode tahun 1975 - 1988, dan periode waktu curah hujan tertinggi pada 1991-2004. Dan curah hujan menurun pada periode tahun 2004-2006. Debit sungai cenderung mengikuti dinamika curah hujan. Debit sungai tertinggi pada tahun 1991 dan terendah tahun 1986. Untuk lebih jelas, hubungan curah hujan dan debit sungai dapat dilihat Anova pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Sidik Ragam Curah Hujan dan Debit Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 6548,831 1 6548,831 21,963 ,000(a) Residual 8945,134 30 298,171 Total 15493,965 31
Sumber : Pengolahan data primer, 2007.
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa F hitung 21,963 lebih besar dari F tabel 4,17 pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini berarti
bahwa curah hujan mempunyai hubungan yang signifikan berpengaruh terhadap perubahan fluktuasi debit sungai Mamasa.
180
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187
Gambar 1. Hubungan Curah Hujan dengan Debit
Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa curah hujan berfluktuasi mulai tahun 1975 kemudian menurun tahun 1976 selanjutnya naik lagi tahun 1977 dan 1978, kemudian turun lagi hingga tahun 1980 dan 1981. Tahun 1991 curah hujan meningkat drastis hingga tahun 1998. Grafik bagian atas menunjukkan curah hujan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, demikian pula grafik bagian bawah menunjukkan debit yang cenderung mengikuti grafik hidrograf curah hujan. Untuk lebih jelas, penyebaran curah hujan dan debit sungai disajikan pada Gambar 2 di bawah ini.
Curah Hujan dan Debit Tahunan0,00050,000100,000150,000200,000250,000300,000350,000400,000757677787980818283848586878889909192939495969798990001020304506TahunC.Hjn/Debit
181
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187
Gambar 2. Hubungan curah hujan dengan debit sungai
Penutupan Lahan
Berdasarkan hasil analisis peta Citra Landsat, Spot 4, dan debit sungai di lapangan serta studi literatur, luas penutupan lahan dan debit sungai diperoleh sebagai data empiris selama 10 tahun disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Data luas penutupan lahan dan debit sungai di DAS Mamasa
Tahun
Vegetasi Hutan (Ha)
Debit Rata2 (m3/dtk)
1996
50.191,20
63,33
1997
54.154,85
41,78
1998
55.917,37
44,62
1999
57.959,66
49,67
2000
58.070,16
33,67
2001
56.070,16
44,97
2002
54.983,72
41,94
2003
59.805,33
27,21
2004
49.941,94
52,39
2005
59.986,10
22,57
2006
49.153,11
35,41
Rt-rt
55.113,62
42,21
Sumber : Analisis Peta Citra Landsat dan Spot 4, 2007
Tabel 3 di atas menunjukkan adanya fluktuasi debit sungai mengikuti perubahan luas penutupan lahan. Debit sungai tertinggi 63,33 m3/detik pada tahun 1996 dengan
penutupan lahan vegetasi hutan seluas 50.191,20 ha. Dan debit sungai terendah 22,57 m3/detik pada luas penutupan lahan vegetasi hutan 59.986,10 ha tahun 2005.
Sebaran Curah Hujan dan Debit Tahunany = 13,55409+0,147951XR2 = 0,6501390501001502002503003504004500,00020,00040,00060,00080,000100,000120,000Debit SungaiCurah Hujan
182
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187
Secara umum debit sungai terlihat berfluktuasi menurun selama 10 tahun dari tahun 1996 hingga 2006. Dan rata-rata debit sungai nampak menurun ketika luas penutupan lahan meningkat, dan sebaliknya debit sungai meningkat ketika luas penutupan lahan menurun. Menurut Soebarkah (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya debit sungai adalah:
a. Hujan, Intensitas hujan dan lamanya hujan sangat mempengaruhi besarnya infiltrasi, aliran air tanah dan aliran permukaan tanah. Lama waktu hujan sangat penting dalam hubungannya dengan lama waktu pengaliran air hujan menuju ke sungai.
b. Topografi, terutama bentuk dan kemiringan lereng mempengaruhi lama waktu mengalirnya air hujan melalui permukaan tanah ke sungai dan intensitas banjirnya. Daerah permukaan yang miring akan menyebabkan aliran permukaan yang deras dan besar bila dibandingkan dengan daerah yang agak datar.
c. Geologi, karakteristik geologi terutama jenis dan struktur tanah sangat mempengaruhi bentuk dan kepadatan drainase, sedangkan karakteristik tanah mempengaruhi kapasitas infiltrasi dan perkolasi. Kepadatan drainase yang rendah menunjukkan secara relatif pengaliran melalui permukaan tanah yang panjang menuju sungai, kehilangan air yang besar sehingga meningkat air sungai menjadi lambat.
d. Keadaan Tumbuh-Tumbuhan, akan mempengaruhi besarnya intersepsi, transpirasi, infiltrasi, dan perkolasi. Makin banyak pohon akan menyebabkan makin banyaknya air yang lenyap, baik melalui evapotranspirasi maupun melalui infiltrasi sehingga akan mengurangi run off yang dapat mempengaruhi debit sungai.
e. Manusia, dengan pembuatan bangunan-bangunan pembukaan tanah pertanian, urbanisasi dapat merubah keadaan sifat Daerah Aliran Sungai.
Menurut Kittredge dalam Manan (1978), pengelolaan Daerah Aliran Sungai adalah pengelolaan sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable), seperti air, tanah dan vegetasi dalam sebuah Daerah Aliran Sungai, agar dapat mengalirkan air (water yield) untuk kepentingan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan masyarakat yaitu air minum, industri, irigasi dan tenaga listrik.
Menurut Manan dalam Paembonan (1980), pengelolaan Daerah Aliran Sungai adalah merupakan bagian dari manajemen sumberdaya alam yang meliputi pengurusan dan pengembangan dari semua sumberdaya alam dari suatu daerah aliran yang ditujukan kepada produksi dan perlindungan sumberdaya air termasuk pengendalian erosi dan banjir serta pemeliharaan nilai-nilai perairan.
Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Anonim, 2002).
Tujuan utama dari pengelolaan daerah aliran sungai adalah untuk mencapai suatu keadaan daerah aliran sungai yang menciptakan fungsi hutan sebagai sistem perlindungan yang memungkinkan terlaksananya tata air yang baik, dalam hal ini hasil air yang optimum dipandang dari segi kuantitas dan kualitas (Manan dalam Paembonan (1980).
Agar tujuan dari pengelolaan daerah aliran sungai dapat tercapai, maka perlu diperhatikan komponen-
183
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187
komponen yang mendukung daerah aliran sungai terutama komponen fisiknya (Manan dalam Paembonan (1980).
Curah Hujan
Jumlah curah hujan yang terdapat pada DAS Mamasa berdasarkan stasiun penakar curah hujan wilayah yang terdiri dari 4 stasiun penakar curah hujan. Curah hujan wilayah pada stasiun Mamasa selama 10 tahun sebesar 1.790,47 mm/tahun dan stasiun penakar Sumarorong selama 32 tahun sebesar 2.962,37 mm/tahun dengan
rata-rata debit sungai 42,26 m3/dtk. Berdasarkan jumlah curah hujan wilayah tersebut dapat dikatakan bahwa hampir setiap tahun curah hujan di DAS Mamasa mengalami fluktuasi dimana curah hujan tertinggi pada periode tahun 1991-998, curah hujan terendah pada periode tahun 1999-2005.
Debit sungai Mamasa terlihat mengalami fluktuasi yang seiring dan sejalan dengan curah hujan. Debit tertinggi pada periode tahun 1991-1999, dan debit terendah pada periode tahun 2000-2005. Berdasarkan periode tahun tersebut terlihat bahwa debit sungai berfluktuasi berdasarkan fluktuasi besarnya curah hujan. Semakin tinggi curah hujan, maka debit sungai semakin tinggi pula yang cenderung mengikuti dinamika curah hujan, dan semakin rendah curah hujan, debit sungai juga mengalami penurunan.
Hubungan curah hujan dengan debit sungai berdasarkan analisis regresi linear ditunjukkan oleh analisis sidik ragam (Tabel 1) dengan nilai F hitung 21,63 lebih besar daripada F tabel 4,17 pada taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan nilai F hitung tersebut menunjukkan bahwa respon debit sungai terhadap curah hujan sangat peka. Dari hasil analisis grafik diperoleh kisaran fluktuasi curah hujan identik fluktuasi debit sungai. Dimana debit sungai cenderung seiring dengan kurva curah hujan.
Curah hujan wilayah yang terdapat pada stasiun penakar Sumarorong berdasarkan polygon Thiessen mewakili daerah Sumarorong dan sekitarnya. Debit sungai tahunan diperoleh dari hasil pengukuran oleh Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air (PSDA) Propinsi Sulawesi Selatan pada daerah Sikuku dimana terdapat Automatic Water Level Record (AWLR) yang mencatat tinggi muka air secara automatis.
Curah hujan rata-rata bulanan dan debit sungai rata-rata bulanan periode tahun 1975-2006 sebagaimana ditunjukkan Gambar 2, memperlihatkan bahwa curah hujan tinggi pada bulan Nopember, Desember, Januari, Februari, Maret, April, Mei, dan Juni dengan curah hujan tertinggi pada bulan April. Sedangkan curah hujan rendah pada bulan Agustus dan September, dan curah hujan terendah pada bulan Agustus. Debit sungai tampak mengiringi fluktuasi curah hujan yang seiring dengan kurva hidrograf curah hujan. Curah hujan tinggi diikuti dengan debit sungai yang tinggi, dan curah hujan rendah diikuti dengan debit yang rendah.
Curah hujan berhubungan dengan karakteristik daerah aliran sungai. Lama waktu hujan, intensitas, dan penyebaran hujan mempengaruhi laju dan volume debit sungai. Debit sungai total untuk suatu hujan secara langsung berhubungan dengan lama waktu hujan untuk intensitas hujan tertentu. Infiltrasi akan berkurang pada tingkat awal suatu kejadian hujan. Karena itu hujan dengan waktu yang singkat tidak banyak menghasilkan debit. Pada hujan dengan intensitas yang sama dan dengan waktu yang lebih lama, akan menghasikan debit yang lebih besar.
Intensitas hujan akan mempengaruhi laju dan volume
184
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187
debit. Pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan beda yang cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Total debit akan lebih besar pada hujan intensif meskipun curah hujan total untuk kedua hujan tersebut sama besarnya. Namun demikian hujan dengan intensitas tinggi dapat menurunkan infiltrasi akibat kerusakan struktur permukaan tanah yang ditimbulkan oleh tenaga kinetis hujan dan debit yang dihasilkan.
Laju dan volume debit sungai dipengaruhi oleh penyebaran dan intensitas curah hujan di DAS Mamasa. Umumnya laju volume terbesar debit terjadi ketika seluruh DAS Mamasa turut berperan. Hujan turun merata di seluruh wilayah DAS Mamasa.
Debit sungai dapat berubah-ubah tergantung pada dua keadaan, yaitu pertama adanya curah hujan, dan kedua adanya evapotranspirasi. Debit dapat berubah jika adanya presipitasi (curah hujan) dan terjadinya evapotranspirasi dari badan air, tanah, dan tanaman. Debit sungai tidak pernah konstan namun selalu berubah menurut iklim dan keadaan biofisik DAS. Termasuk sistem penggunaan lahan bagian hulu dan jenis penutupan lahan lainnya.
Penutupan Lahan
Berdasarkan hasil penelitian melalui analisis peta citra landsat tahun 1996, 1997, 1998, 1999, 2000, 2001, 2002, 2003, 2004, 2005 dan spot 4 tahun 2006 menunjukkan terjadinya perubahan penutupan lahan di DAS Mamasa.. Dan Tabel 3 menunjukkan adanya debit sungai berfluktuasi menurut perbedaan luas penutupan lahan vegetasi hutan. Debit sungai tinggi pada periode tahun 1996-2000 dan debit sungai menurun pada periode tahun 2001-2006.
Perubahan luas penutupan lahan selama 10 tahun di DAS Mamasa, yaitu sejak tahun 1996 berdasarkan analisis peta Citra Landsat 1999 dan peta Spot 4 2006 setelah diinterpolasi, luas hutan diketahui 50.191,20 ha yang terdiri dari areal penggunaan lain 8.096 ha, hutan lindung 26.661 ha dan hutan produksi terbatas 8.897 ha, kebun 6,536 ha, Dan pada tahun 2006, luas hutan 49.153 ha, telah terjadi perubahan luas hutan dari 50.191 ha menjadi 49.153 ha atau telah terjadi penurunan luas sekitar 1.038 ha.
Luas areal semak belukar pada tahun 1996 sekitar 258,83 ha dan luas areal semak belukar pada tahun 2006 seluas 4.706,64 ha, telah terjadi penambahan luas sekitar 4.447,81 ha. Areal kebun tahun 1996 seluas 6.536,22 ha menjadi 5.032,42 ha, terjadi pengurangan luas areal kebun seluas 1.503,80 ha. Sebaliknya terjadi perubahan luas areal sawah tahun 1996 seluas 5.050,39 ha menjadi 5.338,97 ha atau terjadi penambahan luas areal sawah 288,58 ha.
Areal pertanian lahan kering mengalami perubahan luas yaitu tahun 1996 seluas 29.048,77 menjadi 31.619,94 ha pada tahun 2006 atau telah terjadi penambahan areal seluas 4.517,34 ha.
Adanya perubahan luas penutupan lahan pada masing-masing type penutup lahan di atas mempengaruhi fluktuasi debit sungai DAS Mamasa. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga periode waktu fluktuasi debit sungai yaitu tahun 1975 -1991, periode 1991-1999, dan 1999 – 2006. Pada tahun 1975 hingga 1990 debit sungai masih normal yaitu rata-rata 48,63 m3/detik, namun tahun 1991 debit sungai meningkat 115,23 m3/detik hingga tahun 1999 debit sebesar 102,78 m3/detik. Kemudian debit sungai menurun 35 m3/detik pada tahun 2006.
Penurunan luas kawasan hutan terjadi sebagai akibat adanya
185
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187
perambahan hutan dan perladangan berpindah untuk dijadikan lahan perkebunan kopi dan coklat, sawah, pemukiman, serta lahan untuk pembangunan daerah Kabupaten Mamasa sebagai daerah kabupaten yang baru lahir dan sedang membangun daerahnya. Disamping pembangunan daerah kabupaten yang umumnya pengembangan daerah terkonsentrasi pada sepanjang daerah aliran Sungai Mamasa karena daerah ibukota Mamasa terletak pada bagian tengah DAS Mamasa dan pengembangan daerah serta pelebaran jalan kabupaten umumnya menggusur bukit di sepanjang aliran sungai. Sehingga sangat rawan terhadap terjadinya erosi yang mengalir ke badan sungai. Adanya sistem pengolahan lahan pada daerah hulu DAS yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seperti pada daerah hulu sebagian petani mengolah tanah tidak disertai dengan tindakan konservasi lahan menyebabkan terjadinya erosi dan mengalir ke Sungai Mamasa.
KESIMPULAN
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi debit sungai Mamasa adalah faktor curah hujan dan penutupan lahan.
2. Perubahan luas vegetasi hutan mempengaruhi debit sungai, semakin luas vegetasi hutan, debit sungai berkurang, dan semakin sempit luas vegetasi hutan, debit sungai meningkat.
3. Dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Mamasa agar debit sungai tidak banyak mengalami penurunan sebaiknya perlu pengaturan penutupan lahan yang ada sekarang dengan jalan mengurangi dan menambah luas vegetasi hutan terutama memilih jenis vegetasi daun lebar seperti Cempaka, Tumaku, dan Liasa.
4. Perlu penelitian lanjutan tentang kajian faktor lain yang mempengaruhi debit sungai Mamasa seperti kebijakan dalam rehabilitasi hutan dan lahan agar disesuaikan dengan kondisi iklim dan tempat tumbuh setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S., 1979. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.
Asdak, C., 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Bermanakusumah, R., 1978. Erosi, Penyebab dan Pengendaliannya. Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran, Bandung.
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, 2005. Kondisi Eksisting DAM Bakaru Terhadap Ketersediaan Energi Listrik di Sulawesi Selatan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Departemen Kehutanan. 2006. Glossary Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Timur
Haeruman, H. 1994. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu, Cisarua. Bogor.
Hairiah, K, ;Suprayogo, D, ;Widianto ; Berlian ; Suhara,
186
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1):174-187
E.;Mardiastuning, A.;Widodo, H.R,;Prayogo, C. dan S.Rahayu. 2004. Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Agroforestry Berbasis Kopi.
Lee, R., 1980. Forest Hidrology. Columbia University Press, New York/ Guildford, Survey.
Linsley, Ray K.et.all. 1980. Applied Hydrology. New Delhi: Tata McGraw Hill Publication. Co.
Manan, 1977. Pengaruh Hutan dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Paembonan, 1978. Kaidah dan Pengertian Dasar Manajemen Daerah Aliran Sungai. Proceeding Pertemuan Diskusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Jakarta.
_______, 1980. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . Sekolah Pasca Sarjana, Insitut Pertanian Bogor.
_______, 1983. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Pengaruh Hutan. Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
Prasetyo, L.B. 1999. Modul Praktikum Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soeranggadjiwa, M.H., M.R. Achlil, A. Mangundikoro, dan Djumrah, 1978. Aspek Institusi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Proceeding Pertemuan Diskusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Jakarta.
Soerjono, 1978. Modus Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Lembaga Penelitian Hutan Bogor, Bogot
Soerianegara, I. Dan A. Indrawan. 1978. Pengelolaan Sumberdaya Alam Bagian II. FPS-IPB. Bogor.
Sosrodarsono, S., dan Takeda, 1978. Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Subarkah, I. 1978. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. Penerbit Idea Dharma, Bandung.
Soedarma, 1986. Elements of Watershed Management, Direktorat Penggunaan Tanah. Jakarta.
Stalling, J.H. 1957. Soil and Improvetment. Practice Hall Inc. Englawood Cliff. New York.
Soenarmo, H. 1994. Penginderaan Jarak Jauh untuk Metodologi Oceanografi-Geofisika. Diktat Kuliah Jurusan Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Seyhan, 1997. Dasar-Dasar Hidrologi. Translation Copyright 1990 by Gadjah Mada University Press P.O. Box 14, Bulaksumur, Yogyakarta.
187
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 174-187
Diterima 23 Mei 2007
Asikin Muctar
Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan
Universitas Satria Makassar
Makassar/Indonesia. Alamat Rumah :
Nurdin Abdullah
Laboratorium Konservasi Tanah dan Air,
Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
Telp./Fax. 0411-585917 Indonesia. Alamat Rumah : Kompleks Perumahan Dosen Unhas, Blok HP : 0411-512255
188
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-198
ANALISIS PEMBERDAYAAN RESORT CINTA RAJA
SEKSI KONSERVASI WILAYAH IV BESITANG
TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER
The analysis of empowering the Cinta Raja Resort of Conservation Section IV, Besitang, Leuser Mountain National Park
Sukardi
Abstract
Mount Leuser National Park (TN G. LEUSER-TNGL) is the oldest and the widest national park in Indonesia. Nowadays, many problems such as illegal logging, land enrichment by Aceh’s conflict refugees, have deteriorated most conservation areas significantly. Social problems were identified as the impacts that need to be specifically handled. Therefore, it is a need for TNGL office as the manager of the site to re- plans its previous policies and programs which have been inapplicable for present condition. One of the programs planned by TNGL was to establish a mechanism where the resorts become a basis for future development of TNGL. This was because the resorts had an important in communicating problems occurred in the field due to its closeness to the area of problems. Cinta Raja Resort is one of the resorts found in TNGL that needs to be reviewed related with its problem complexities that could represent the situation of TNGL
Key words : Resort, Cinta Raja, TNGL, Empowerment, Supporting Capacity
PENDAHULUAN
Taman Nasional Gunung Leuser adalah salah satu taman nasional terluas di Indonesia sehingga tidak mungkin Balai Taman Nasional Gunung Leuser sebagai pengelola melaksanakan pemantauan secara menyeluruh terhadap wilayah kerjanya. Oleh karena itu di bentuk beberapa Seksi Konservasi Wilayah yang menjadi perpanjangan tangan Balai Taman Nasional Gunung Leuser dikeseluruhan wilayahnya. Agar jangkauan Balai Taman Nasional Gunung Leuser lebih nayata di lapangan, maka dibentuk Resort yang bertanggung jawab kepada Seksi Konservasi Wilayah masing-masing. Keberadaan Resort juga sebagai wakil Balai Taman Nasional Gunung Leuser di lapangan
diharapkan mampu mengatasi kesenjangan dan menjadi jembatan Balai dalam menyikapi persoalan-persoalan di lapangan. Diharapakan keberadaan Resort akan membuat kinerja Balai Taman Nasional Gunung Leuser lebih efektif dan efisien
Kinerja Resort yang baik akan ditentukan oleh sejauh mana resort itu sendiri mengejawantahkan tugas dan fungsi pokok Balai Taman Nasional Gunung Leuser. Jadi, keberhasilan balai Taman Nasional Gunung Leuser akan tercermin dari keberhasilan resort-resortnya. Namun, resort-resort di Taman Nasional Gunung Leuser belum semuanya berfungsi sebagaimana mestinya. Kalaupun ada hanya beberapa saja dan itupun hanya spesifik pada pengelolaan wisatanya.
Agar pemberdayaan resort bisa berjalan sebagaimana mestinya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
189
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193
sebagai daya dukung keberadaan suatu resort. Daya dukung ini saling bersinergi dimana satu dengan lainnya saling terkait dan merupakan suatu kesatuan. Adapun daya dukung tersebut adalah lahan dan hutan, masyarakat, sumber daya manusia dan fasilitas di resort, pranata sosial, kelembagaan serta kebijakan yang ada. Keenam daya dukung ini secara garis besar terbagi atas tiga komponen utama yaitu sumber daya alam, manusia dan peraturan.
Berdasarkan hal tersebut, keberadaan resort di Balai Taman Nasional Gunung Leuser perlu dikaji kembali guna membuat arah kerja yang lebih baik melalui suatu analisas pemberdayaan resort. Agar kegiatan ini lebih efektif, resort yang dikaji dibatasi pada satu resort saja dan rencananya akan dilakukan di Resort Cinta Raja Seksi Konservasi Wilayah IV Besitang Taman Nasional Gunung Leuser. Analisis ini akan didasarkan pada enam daya dukung yang telah disebutkan sebelumnya. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui berbagai kendala dalam daya dukung Pemberdayaan Resort Cinta Raja sebagai salah satu resort di Seksi Konservasi Wilayah IV Besitang Taman Nasional Gunung Leuser. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui berbagai daya dukung bagi pemeberdayaan Resort Cinta Raja di Seksi Konservasi Wilayah IV Besitang Taman Nasional Gunung Leuser. Hasil analisis ini diharapkan menjadi bahan acuan analisis dan informasi untuk pengembangan resort-resort lain di wilayah Taman Nasional Gunung Leuser.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Kegiatan ini dilaksanakan mulai tanggal 24 Nopember 2005 sampai 18 Februari 2006 di Taman Nasional Gunung Lauser.
Alat dan Bahan
Adapun alat yang akan digunakan dalam kegiatan ini adalah alat tulis menulis, tape recorder, komputer dan kamera. Sedangkan bahan-bahan berupa buku, kertas, jurna, makalah dan data-data sekunder lainnya yang berhubungan dengan kegiatan yang akan dilakukan
Analisis Hasil
Pengamatan dilakukan terhadap berbagai aktifitas dan keadaan di lokasi penelitian baik lingkungan perkampungan dan penduduk di sekitar kawasan TNGL. Pengamatan dilakukan dengan mengidentifikasi potensi, daya dukung dan kegiatan Resort Cinta Raja. Setelah itu dilakukan wawancara secara semi terstruktur terhadap beberapa informan kunci serta beberapa masyarakat setempat.
Hasil observasi dan wawancara merupakan data primer yang selanjutnya diolah dan dianalisis untuk melihat seberapa besar daya dukung yang ada bagi pengembangan Resort Cinta Raja.. Hasil ini kemudian akan dibuat dalam bentuk rancangan pemberdayaan resort.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Resort Cinta Raja dan Wilayah Kerja
Keberadaan wilayah kerja yang jelas bagi suatu lembaga seperti resort tentunya sangat penting agar tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas di lapangan bisa dihindari. Selain itu itu bisa menghindarkan konflik intern maupun ekstern. Namun, berdasarkan hasil yang ditemukan di lapangan keberadaan resort Tangkahan sebagai pemekaran wilayah resort Cinta Raja bisa menjadi masalah apabila pihak
190
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193
TNGL tidak segera menetapkan wilayah kerja di kedua resort tersebut. Hal ini disebabkan batas wilayah kerja keduanya belum jelas.
Resort Cinta Raja SKW IV Besitang TNGL di tetapkan oleh Kepala Balai TNGL dengan batas wilayah kerja didasarkan pada batas alam yaitu sungai serdang di bagian utara dan sungai musam di bagian selatan atau Patok TN 500 sampai TN 1000 setelah di perbaharui. Secara batas administrasi terdapat tiga desa yang masuk wilayah kerja resort yaitu Desa Sei Serdang, Desa Namo Sialang dan Desa Sei Musam. Ketiga desa tersebut berbatasan secara langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser tanpa adanya kawasan penyangga yang memadai sehingga dapat menjadi ancaman serius di masa sekarang maupun masa datang apabila tidak dikelola secara baik.
Beberapa Daya Dukung Pemberdayaan Resort
Suatu lembaga atau organisasi yang baik tentunya memerlukan daya dukung dari berbagai aspek agar kinerja bisa lebih efektif dan efisien. Begitupula dengan keberadaan resort Cinta Raja sebagai salah satu resort di TNGL yang akan menjadi salah satu resort base dengan arahan pengembangan keparawisataan bersama resort Tangkahan dan Bukit Lawang. Agar Keberadaan resort bisa berfungsi sebagamana mestinya, maka beberapa daya dukung berikut ini perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemberdayaan resort Cinta Raja di masa datang.
Daya Dukung Lahan dan Hutan
Perkebunan kelapa sawit yang telah berkembang sejak tahun 70-an juga berpengaruh besar terhadap laju kerusakan hutan di TNGL karena banyak masyarakat pada saat itu yang menjual tanahnya ke pengusaha sehingga lahan mereka semakin sempit. Kondisi ini diperparah oleh tidak berhasilnya pengusaha-pengusaha tersebut mengangkat perekonomian masyarakat setempat. Otomatis masyarakat sekitar resort Cinta Raja memanfaatkan lahan-lahan yang tersisa.
Keberadaan PTPN II sebagai BUMN yang memiliki sebagian besar lahan perkebunan di sekitar TNGL termasuk di resort cinta raja tidak banyak memberi kontribusi kepada masyarakat. Asumsi awal sebelum masuk ke resort Cinta Raja masyarakat di sana dilibatkan dalam pengelolaan perkebunan terutama dalam pemanenan hasil perkebunan, ternyata asumsi ini terbantahkan oleh hasil wawancara dengan masyarakat. Pihak PTPN memiliki karyawan sendiri yang didatangkan dari luar pada saat pemanenan, bukan masyarakat yang bermukim disekitar perkebunan tersebut.
Sebenarnya lahan perkebunan PTPN II bisa dijadikan daya dukung dalam mensejahterakan masyarakat di wilayah resort Cinta Raja sehingga mereka tidak berpikiran untuk membuka lahan di hutan di mana TNGL satu-satunya harapan mereka. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan perkebunan seperti pemeliharaan dan pemanenan hasil bisa dijadikan solusi dalam mengatasi sempitnya lahan masyarakat yang terjepit oleh PTPN II dan TNGL
Daya Dukung Masyarakat
Masyarakat di wilayah resort Cinta Raja pada prinsipnya dari dulu mengetahui keberadaan TNGL. Kesadaran ini muncul seiring antusiasme para pengunjung akan keaslian alam di sekitar mereka. Selain itu, bencana yang melanda berbagai daerah akibat kerusakan hutannya hampir setiap saat mereka saksikan dimedia televisi dan tentunya mereka tidak ingin mengalami hal yang sama.
191
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193
Kesadaran mereka untuk menjaga keberadaan hutan disekitarnya merupakan sinyal positif yang harus disambut baik oleh pihak resort. Hal ini menjadi daya dukung bagi pemberdayaan resort Cinta Raja ke depan. Resort harus memiliki program-program yang sifatnya lebih partisipatif terutama dalam membina masyarakat agar tetap mempertahankan kebiasaan mereka menjaga hutan.
Daya Dukung Pranata Sosial
Mengenai aturan pengelolaan hutan secara tradisional tidak ditemukan diwilayah resort Cinta Raja, namun pengetahuan masyarakat terhadap manfaat hutan secara fisik seperti hutan sebagai tempat mengambil kayu, sumber bahan makanan terutama buah, obat-obatan dan lainnya sudah ada sejak dulu. Bahkan ada sebagian masyarakat yang punya budaya “koleksi lahan” untuk kepentingan warisan bagi anak cucunya. Hal ini tentunya bisa menjadi ancaman tersendiri bagi pihak resort di masa datang.
Daya Dukung Sumber Daya Manusia dan Fasilitas di Resort
SDM di resort Cinta Raja masih tergolong minim baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Berdasarkan SK Kepala Balai No PT 840 M/IV-T.1/Peg/2005 saat ini hanya terdapat empat orang yang ditempatkan di resort Cinta Raja dengan spesifikasi masing-masing. Jumlah ini tentunya belum cukup bila dibandingkan dengan luasan wilayah kerja, sementara mobilitas mereka sangat diperlukan dalam memantau keadaan kawasan hutan di wilayah kerjanya yang setiap saat bisa berubah Namun, sampai laporan ini di buat penulis belum pernah bertemu langsung dengan para pegawai resort yang tercantum dalam SK tersebut.
Kondisi seperti itu merupakan gambaran umum kinerja di resort Cinta Raja. Keberadaan pegawai yang tidak jelas membuat jalannya roda organisasi di resort tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin mengharapkan resort bisa menjadi base bagi TNGL bila orang-orang di resort sendiri tidak mendukung secara aktif. Hal ini bisa menjadi citra buruk bagi masyarakat sekitar TNGL akan kinerja TNGL secara keseluruhan.
Daya Dukung Kelembagaan lain
Sebagai bagian dari TNGL, resort Cinta Raja seharusnya memiliki lembaga mitra baik dari dalam wilayah kerja maupun dari luar. Mitra tersebut dapat diajak bekerjasama dalam memajukan dan memberdayakan resort yang akan diarahkan menjadi kawasan ekowisata. Lembaga-lembaga kepariwisataan baik di pemerintahan daerah, pusat maupun LSM-LSM bisa memberi dukungan dalam mengembangkan potensi-potensi di wilayah kerjanya. Lembaga-lembaga ini sangat penting baik sebagai alat promosi maupun dalam melakukan pendampingan pengelolaan suatu kawasan wisata dengan konsep pemberdayaan masyarakat sekitarnya.
Sementara itu keterlibatan lembaga-lembaga lain secara ekstern belum banyak di resort Cinta Raja, padahal dulunya kawasan ekowisata tangkahan sebagai bagian resort Cinta Raja saat ini banyak mendapat perhatian dari berbagai lembaga lokal, nasional maupun internasional baik pada tingkat pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Tentunya ini menjadi sebuah tantangan bagi resort Cinta Raja di masa datang dalam mewujudkan suatu kawasan wisata yang bisa diperhitungkan
192
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193
Daya Dukung Kebijakan
Kebijakan TNGL untuk menjadikan resortnya sebagai basis di lapangan dalam menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya merupakan salah satu kebijakan khusus. Kebijakan ini dibuat sebagai upaya menguatkan kembali eksistensi resort sebagai unit terkecil di TNGL. Sebagaimana diketahui keberadaan resort di berbagai wilayah di TNGL belum semuanya berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga dianggap perlu membuat kebijakan dengan penekanan penguatan dan pemberdayaan resort
Kebijakan tersebut harus disusun secara aspiratif dan partisipatif agar bisa dijalankan dengan baik di tingkat resort sebagai pelaksana. Proses pembuatannya tentunya melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan terutama masyarakat sekitar sebagai penerima dampak langsung suatu kebijakan. Kebijkan juga nantinya disesuaikan dengan kondisi terkini resort di mana kebijakan tersebut akan dilaksanakan.
Meskipun demikian, isu atas rencana resort based telah menjadi wacana di TNGL, namun di tingkat resort sendiri belum tersosialisasi dengan baik. Hal ini diketahui berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara beberapa informan kunci di resort Cinta Raja merasa belum mengetahui sehingga kesiapan untuk menyongsongnya belum ada sama sekali.
KESIMPULAN
1. Belum ada penetapan batas wilayah kerja resort Cinta Raja secara resmi. Hal ini sangat penting setelah adanya penetapan resort Tangkahan di mana resort tersebut sebelumnya merupakan wilayah kerja resort Cinta Raja, apalagi selama ini wilayah kerja di resort hanya
didasarkan pada pal batas tertentu di lapangan dan diketahui secara tersirat saja.
2. Beberapa daya dukung yang diharapkan menjadi pilar pemberdayaan resort belum semua berjalan sebagaimana mestinya. Adapun daya dukung tersebut adalah:
a. Lahan kurang mendukung karena berada diantara PTPN II dan kawasan TNGL sehingga tidak ada jalan bagi masyarakat untuk menambah lahannya. Sementara itu hutan yang berada di kawasan TNGL sebagian sudah rusak dan sebagian lain masih baik dimana kondisi alamnya dapat dimanfaatkan menjadi Kawasan Ekowisata
b. Kesadaran masyarakat akan pentingnya arti hutan telah ada, namun mereka bisa menjadi ancaman apabila kondisi kesejahteraannya minim.
c. Tidak ada pranata sosial secara spesifik dalam pengelolaan hutan di wilayah resort Cinta Raja, namun pranata sosial tentang tata pergaulan akan sangat bermanfaat apabila resort ini dijadikan Kawasan Ekowisata.
d. Sumber Daya Manusia masih kurang baik secara kualitas dan kuantitas dengan luasan wilayah kerja resort. Fasilitas di resort Cinta Raja juga masih kurang memadai, sehingga perlu perhatian serius.
e. lembaga lain belum banyak berperan di resort Cinta Raja.
f. Rencana Balai TNGL untuk menjadikan resort sebagai basis TNGL di lapangan menjadi salah
193
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193
satu kebijakan yang sangat mendukung untuk penguatan dan pemberdayaan resort Cinta Raja di masa datang
3. Pihak TNGL agar segera menetapkan batas wilayah resort Cinta Raja secara resmi
4. Perlu adanya upaya nyata dari berbagai pihak terutama pihak pengambil kebijakan di TNGL agar daya dukung di atas bisa disempurnakan dan dimanfaatkan secara masksimal sebagai bagian yang tidak terpisah satu dengan lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad., Sayed Muhadar., 1999. Berjuang Mempertahankan Hutan : Kearifan Tradisional Masyarakat Aceh Melestarikan Ekosistem Leuser. Madani Press, Jakarta.
PPL, 2001. Sekilas Tentang Kawasan Ekosistem Leuser. Unit Manajemen Leuser, Medan
Susmianto., A. ,2000. Sistem Perlindungan Kawasan Konservasi Contoh Masalah Taman Nasional Gunung Leuser) Prosiding Seminar : Peranan Kehutanan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Sumatera Utara. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pematang Siantar, Siantar.
Wiratno, dkk. 2001. Berkaca di Cermin Retak. Forest Press, The Gibbon Foundation Indonesia, Departemen Kehutanan, PILI-NGO Movement. Jakarta.
Diterima 10 April 2007
Sukardi
BP DAS Wampu Seipular Sumatera Utara
Alamat Rumah : Jl. Sisisngamaharaja Km 5.5
N0 14 Marindal/Indonesia. HP : 08192704035
146
Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1): 188-193

Tidak ada komentar:

Posting Komentar