Kamis, 12 November 2009

JURNAL
ISSN : 1907-5316
Vol. III, No. 2, Agustus 2008 Vol. III, No. 2, August 2008
Diterbitkan oleh : LABORATORIUM KEBIJAKAN DAN KEWIRAUSAHAAN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN The Laboratory of Forest Policy and Entrepreneurship, The Faculty of Agriculture and Forestry, The University of Hasanuddin Hutan & Masy. Vol. 1II No. 2 Hlm Makassar Agustus 2008 ISSN 1907-5316
ISSN : 1907-5316 Tahun Ketiga Terbit : 2008 Jurnal Hutan dan Masyarakat Vol. III, No.13, Mei 2008 Penanggung Jawab │Publisher Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Kepala Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Ketua Pengarah │Editor-in-Chief : Prof. Dr. Ir Yusran Jusuf, M.Si (Kebijakan Kehutanan) Wakil Ketua Pengarah│Vice of Editor-in-chief : Dr. Ir. Supratman, MP (Manajemen Hutan) Penyunting Pelaksana │ Editorial Staff : Risma Illa Maulany, S.Hut., M.Sc Ir. M.Asar Said Mahbub, MP Ir. Abd. Rasyid Kalu, MS Muhammad Alif KS, S.Hut, M.Si Tata Usaha dan Distribusi│Administration and Distribution Sultan, S.Hut Adriyanti Sabar, S.Hut Desain/Layout │Layouters : Sultan, S.Hut Alamat Redaksi │ Address :
Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Fak. Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. (0411) 589592 - (0411) 585917. Kampus Unhas Tamalanrea. www.fahutan-unhas.web.id
Email : bira_hut@yahoo.co.id Hutan dan Masyarakat diterbitkan tiga kali setahun oleh Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar. Jurnal ini merupakan sarana komunikasi dan peyebarluasan hasil penelitian mengenai kebijakan, kewirausahaan, sosial dan ekonomi kehutanan. Forest and Society is published three times in a year by the Laboratorium of Policy and Enterpreunership of Forestry, Hasanuddin University, Makassar, Indonesia. The Journal is intended to be a vehicle for communicating and promoting the dissemination of research results concerning forest and enterpreunership of forest, social and economic of foresty.
ISSN : 1907-5316 PEDOMAN PENULISAN JURNAL HUTAN DAN MASYARAKAT
1. Naskah yang dimuat adalah naskah asli berupa hasil penelitian, review, konsep pemikiran/gagasan ilmiah dibidang kebijakan, kewirausahaan dan ekonomi kehutanan dengan mencantumkan nama lengkap dan institusi dan alamat institusi penulis.
2. Naskah dapat ditulis dalam bahasa indonesia disertai dengan abstrak. Diketik satu setengah spasi, dan diserahkan kepada redaksi pelaksana yang disertai dengan CD yang dapat diedit dan melampirkan biodata singkat tentang penulis. Naskah dapat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Isi Naskah untuk yang berbasis pelatihan terdiri atas : ABSTRACT dengan Keywords, PENDAHULUAN, METODOLOGI PENELITIAN, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, dan DAFTAR PUSTAKA untuk naskah bahasa Indonesia. untuk naskah bahasa Inggris, terdiri atas ABSTRAK dengan Kata Kunci, INTRODUCTION, METHODOLOGY, RESULT AND DISCUSSION, CONCLUSSION dan REFERENCES. Isi Naskah untuk yang berbasis review dan konsep pemikiran dalam bahasa Indonesia, terdiri atas minimal : ABSTRACT dengan Keywords, PENDAHULUAN, setelah pendahuluan dapat disertakan bagian lain sesuai dengan onteks dan kategorisasi isi naskah) KESIMPULAN dan DAFTAR PUSTAKA. Begitupun dengan naskah bahasa Inggris terdiri atas minimal : atas ABSTRAK dengan Kata Kunci, INTRODUCTION, METHODOLOGY, RESULT AND DISCUSSION, CONCLUSSION dan REFERENCES.
3. Judul diibuat secara singkat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan huruf kapital dan jelas dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis (satu atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan huruf kecil. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis dan alamat lengkap instansi/institusi
4. ABSTRAK dibuat dalam bahasa Indonesia jika naskah berbahasa Inggris dan dalam bahasa Inggris jika naskah berbahasa Indonesia, isinya berupa intisari permasalahan, tujuan, rancangan penelitian dan kesimpulan yang dinyatakan secara kuantitafi atau kualitatif. Abstrak ditulis dengan hurufkecil miring dengan jarak 1 (satu) spasi. Keywords dan kata kunci masing-masing tidak lebih dari 9 kata.
5. PENDAHULUAN berisi : latar belakang, tujuan penelitian dan hipotesis (tidak harus ada)
6. METODOLOGI PENELITIAN berisi : waktu dan tempat, bahan dan alat, metode, rancangan penelitian (kalau ada), analisis data. Metode disajikan secara ringkas namun jelas
7. HASIL DAN PEMBAHASAN berisi : Hasil dan pembahasan, dibuat terpisah atau dijadikan satu
8. Tabel berjudul dalam bahasa Indonesia, judul tersebut harus singkat, jelas, dan terletak di atas Tabel yang bersangkutan, diikuti keterangan sumber data. Antar kolom/anak kolom terpisah cukup jelas
9. Gambar, Grafik dan Foto warna atau hitam/putih harus kontras, tajam, jelas,diberi keterangan, dengan ukuran paling kecil sebesar kartu pos.
10. KESIMPULAN disampaikan secara ringkas dan padat
11. Daftar Pustaka disusun alfabetis dengan mencantumkan : (a) untuk buku: Nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul lengkap buku, penyuntig (bila ada), nomor seri (bila ada), volume, edisi, penerbit, kota penerbit, (b) untuk terbitan berkala : nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul tulisan, nama beidak lebih dari 9 rkala, volume dan nomor,nama penerbit, kota penerbit
12. Redaksi menerima makalah melalui e_mail account: bira_hut@yahoo.co.id Setiap naskah yang diterima akan dinilai dan diedit oleh Dewan Redaksi.
ISSN : 1907-5316 DAFTAR ISI Vol.III, No. 2, Agustus 2008
STUDI MENGENAI PENGETAHUAN LOKAL NELAYAN PATTORANI
DI SULAWESI SELATAN (Kasus Nelayan Desa Pa’lalakang Kecamatan
Galesong Utara Kabupaten Takalar)
Andi Adri Arief……………………………………………………….……………...111-118
ANALISA PERAMBAHAN KAWASAN HUTAN TERHADAP KEBOCORAN
CARBON DAN PERUBAHAN IKLIM (Studi Kasus Desa Bantimurung
Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara)
Kaimuddin ......................................................................................................... 119-124
ANALISIS BIAYA PRODUKSI MOULDING di PT. RANTE MARIO
Abd. Rasyid Kalu............................................................................................... 125-134
PRANATA SOSIAL SISTEM PENGELOLAAN HUTAN MASYARAKAT
ADAT KAJANG
Muh. Dassir ....................................................................................................... 135-147
DINAMIKA KELOMPOK TANI PADA KEGIATAN REHABILITASI HUTAN
DAN LAHAN DI DAS BILA WALANAE DESA LASIWALA
KABUPATEN SIDRAP
Abd. Wahidn ..................................................................................................... 149-157 IDENTIFIKASI TANAMAN OBAT-OBATAN YANG DIMANFAATKAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TABO-TABO Hamzari ........................................................................................................... 159-167 PRESTASI PEKERJA DALAM KEGIATAN PEMBAGIAN BATANG PADA KEGIATAN PEMANENAN DI HUTAN JATI RAKYAT DESA LILI RIATTANG KABUPATEN BONE Iswara Gautama ................................................................................................ 169-178 APPLICATION OF MULTI CRITERIA DECITION MAKING (RANKING METHODE ) ANALYSIS FOR SUITABILITY AGROFORESTRY UP-LAND Budiaman ......................................................................................................... 179-187 PERENCANAAN HUTAN KOTA DENGAN SISTEM INFORMSI GEOGRAFIS DI KOTA WATAMPONE Syamsu Rijal ................................................................................................... 189 - 199 EVALUASI DISTRIBUSI HARA TANAH DANTEGAKAN MANGIUM, SENGON DAN LEDA PADA AKHIR DAUR UNTUK KELESTARIAN PRODUKSI HUTAN TANAMAN DI UMR GOWA PT INHUTANI I UNIT III MAKASSAR. Wahjuni Hartati ................................................................................................. 201-219 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN KEMIRI RAKYAT DI KABUPATEN MAROS SULAWESI SELATAN Muspida ............................................................................................................ 221-223
Naskah Masuk : 23 Mei 2008
Naskah Diterima : 20 Juni 2008
111
STUDI MENGENAI PENGETAHUAN LOKAL NELAYAN PATTORANI DI SULAWESI SELATAN (Kasus Nelayan Desa Pa’lalakang Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar) Andi Adri Arief Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, Makassar Contact Person : Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si. Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamalanrea, Makassar 90245. E-mail : adri_arief@yahoo.com ABSTRACT This research intends to study and to describe indigenous knowledge pattorani fisherman. The research used qualitative and descriptive methods by considering quatitative data. Data collection were obtained by through literature reviews, participation observation, and depth interview with informants. The data were analysed based on comprehension and opinion of the communities thorugh the qualitative and descriptive way, the used comparasion and classification purposes. Results of this research show that communities of pattorani fisherman still used indigenous knowledge including : 1) catching activity preparation ceremony related erudition; 2) technology and fishery production tools, 2) tool technology use catches; 3) erudition hits fish existence torani with fishing ground; 4) erudition in catching activity; 5) supernatural erudition in catching execution; 6) knowledge about sailing for fishing. Local knowledge fisherman pattorani baseds on from experience that demoted from generation to generation. Survive it local erudition system is caused by the strong belief for fisherman pattorani that look at balance value micro cosmos towards macro cosmos fundamental something that in human interaction and physical nature. Local knowledge fisherman pattorani consistently can subsidize preservation bioaquatic resources.
Key words : Pattorani Fisherman Community, Local Knowledge
PENDAHULUAN
Orang Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis, Makassar dan Mandar, sejak dahulu kala dikenal sebagai pelaut dengan etos bahari yang tinggi. Adanya kebudayaan maritim di daerah ini tidak hanya dikenal dengan adanya folklore atau kisah tentang pelayaran di kalangan
suku Bugis dan Makassar, atau adanya kepandaian orang-orang Makassar membuat perahu layar sejak dahulu kala, tetapi juga oleh adanya lontarak-lontarak tentang pelayaran dan terutama dengan adanya Undang-undang Hukum Pelayaran dan Perdagangan yang dibuat oleh salah seorang pujangga Bugis, Amanna Gappa pada abad ke XVII atau sekitar tahun 1667 (Mattulada, 1997). Dengan catatan sejarah tersebut, terungkap jelas bahwa masyarakat nelayan suku Bugis-Makassar telah
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
112
mengembangkan kemampuannya menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem sosial kemasyarakatan dengan orientasi kebudayaan kepada laut sebagai sarana dalam rangka aktivitas kehidupan mereka maupun dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan laut yang tergambar dalam kehidupan masyarakatnya yang mampu mengembangkan kemampuan dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha perdagangan dan aturan-aturan hukum dibidang perdagangan. Dalam perkembangannya, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) modern dibidang perikanan telah memberi kesempatan yang luas pada masyarakat pesisir dalam mengeksploitasi sumberdaya hayati laut semaksimal mungkin. Namun manfaat teknologi yang terperagakan tersebut mulai pula dipertanyakan akibat merosotnya kualitas dan kuantitas sumberdaya hayati perairan serta kualitas lingkungan (keraf, 2002). Oleh karena itu, dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) maka pendekatan secara non-struktural, melalui peranan pengetahuan lokal penduduk asli dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hayati perairan yang sarat dengan nilai konservasi memiliki peranan penting dan strategis. Sementara pendekatan secara struktural, pemerintah harus mengenal dan mendorong sepenuhnya identitas, budaya dan keinginan masyarakat dalam melestarikan aktifitas-aktifitas secara tradisional yang tetap dipertahankan yang mendukung pemanfaatan sumberdaya hayati perairan secara berkelanjutan.
Nelayan pattorani merupakan salah satu komunitas nelayan di Sulawesi Selatan yang kondisi realitasnya sampai saat ini mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya melalui pegunaan teknologi cara (soft ware technology) maupun teknologi alat (hard ware technology) yang bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientif yang melembaga serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (social control) oleh setiap warganya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem pengetahuan lokal komunitas nelayan pattorani dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut yang masih tetap dipertahankan dalam konteks kekinian. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2006, di Desa Pa’lalakang Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian kualitatif dengan penekanan pada makna-makna (verstehen) yang terdapat di balik tindakan perseorangan (aktivitas) maupun kelompok yang terwujudnya gejala sosial tersebut (Miles, 1992). Teknik pengumpulan data adalah investigasi, wawancara dan studi literatur. Analisis data yang digunakan adalah analisis holistik (a holistic perspective) melalui observasi objek informan nelayan secara menyeluruh (the entire individual) dengan mengekstraksi “teks-teks” hasil wawancara dalam bentuk narasi dan logika klasifikasi melalui abstraksi deskriptik terhadap realitas sosial (sociological representativeness) yang diteliti (Salam, 2005). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Ikan Terbang (Torani)
Secara umum ikan terbang ikan torani (Hirundicticthys oxycephalus) bentuk badannya bulat memanjang seperti cerutu. Sirip dada sangat panjang, biasanya mencapai belakang sirip punggung sedikit lebih panjang dari sirip
Studi Mengenai Pengetahuan Lokal Nelayan Pattorani
Di Sulawesi Selatan
Andi Adri Arief
113
dubur, berwarna gelap atau suram, dan terdapat bintik hitam pada bagian posterior. Sirip ekor bercabang bagaian atas. Sirip panjang, mencapai pertengahan sirip dubur, bahkan kadang-kadang sampai jauh kebelakang. Pangkal sirip perut lebih dekat kepangkal sirip ekor daripada keujung posterior. Pada garis sisi terdapat 32 – 35 sisik. Pada bagian punggung berwarna kebiruan, sedangkan pada bagian perut berwarna keperakan (Ali, 1994). Sementara telur ikan terbang berbentuk lonjong atau bulat dan tidak memiliki gelembung minyak (Parin, 1960). Hal ini berbeda dengan telur-telur ikan pelagic lainnya yang memiliki gelembung minyak (Balon, 1975). Pada bagian membran telur terdapat benang-benang panjang yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Benang-benang ini berfungsi untuk melilitkan telur pada benda-benda terapung dipermukaan laut (Lagler et al. 1962, Balon, 1975 dalam Baso, 2004). (lihat gambar 1 dan 2 ).
Pengetahuan Terkait Upacara Persiapan Aktivitas Penangkapan Persiapan sebelum kegiatan penangkapan dilakukan adalah upacara selamatan. Acara ini dilaksanakan dua tahap. Tahap pertama dilaksanakan pada perahu yang akan dipakai untuk menangkap ikan dan atau pengumpul telur ikan terbang, dan tahap kedua acara dilakukan di tepi pantai (lihat tabel 1).
Secara umum ada dua jenis teknologi menurut sumbernya yang telah dikembangkan oleh masyarakat nelayan Sulawesi Selatan sampai dewasa ini. Pertama adalah yang dilahirkan oleh pengetahuan asli (local knowledge) dengan penggunaan keterangan yang bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientatif yang seringkali berkaitan erat dengan kepercayaan lama yang bersifat imanensi dan bersumber dari dalam. Kedua, yang dilahirkan oleh ilmu pengetahuan atau dengan penggunaan keterangan-keterangan ilmiah yang kebanyakan bersumber dari luar, masuk kedalam masyarakat melalui kontak dengan dunia luar. Alat penangkapan terbuat dari anyaman bambu berbentuk silinder dengan panjang 100 cm – 125 cm dengan diameter berkisar 50 cm – 60 cm, nelayan yang mengoperasikan penangkapan bubu/pakkaja disebut nelayan pattorani (nelayan penangkapan telur ikan terbang).
Gambar 1. Ikan Terbang (Torani)
Gambar 2. Telur Ikan Terbang
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
114
Tabel 1. Prosesi Upacara Selamatan Nelayan Pattorani
Upacara Selamatan Nelayan Pattorani
Tujuan
Tahap Pertama
Tahap Kedua
Upacara tahap pertama, diawali dengan pembacaan Barazanji dan diakhiri dengan permohonan doa. Peserta upacara seluruhnya adalah pria, dan diutamakan bagi mereka yang dituakan. Dengan duduk bersila mengelilingi makanan berupa “kaddominya”, bersama dengan nasi ketan (songkolo), pisang dan tidak ketinggalan pula pendupaan. “Guru baca” melakukan ritualnya yang merupakan bagian proses upacara tersebut. Setelah upacara pokok selesai, barulah peserta upacara disuguhi minuman dan kue. Kue yang disuguhkan harus ada unsur gula merah dan kelapa, biasanya baje si’ru atau bubur ketan campur kacang ijo. Pada waktu rangkaian acara telah selesai semua hadirin dibagikan kaddominya dan pisang untuk dibawa pulang
Upacara tahap kedua, dilakukan dipinggir pantai atau dikenal dengan istilah “attoana turungan” (keturunan yang dihormati), hanya di lakukan oleh “guru baca” dan di ikuti oleh beberapa orang, dengan prosesi upacara menancapkan anyaman bambu di tepi pantai, yang berisi makanan songkolo dan ayam. Setelah itu, dilakukan pelepasan rakit-rakit di laut yang terbuat dari batang pisang dan berisi berbagai macam jenis makanan seperti songkolo, telur, ayam dan lain-lain sebagainya
Tujuan dari upacara ini, dimaksudkan agar semua penumpang dari perahu selamat dalam perjalanan serta memperoleh rezeki (hasil tangkapan) yang banyak, dan sampai kembali ke daerah asal.
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006.
Penggunaan Teknologi Alat Tangkap
Secara umum ada dua jenis teknologi menurut sumbernya yang telah dikembangkan oleh masyarakat nelayan Sulawesi Selatan sampai dewasa ini. Pertama adalah yang dilahirkan oleh pengetahuan asli (local knowledge) dengan penggunaan keterangan yang bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientatif yang seringkali berkaitan erat dengan kepercayaan lama yang bersifat imanensi dan bersumber dari dalam. Kedua, yang dilahirkan oleh ilmu pengetahuan atau dengan penggunaan keterangan-keterangan ilmiah yang kebanyakan bersumber dari luar, masuk kedalam masyarakat melalui kontak dengan dunia luar. Alat penangkapan terbuat dari anyaman bambu berbentuk silinder dengan panjang 100 cm – 125 cm dengan diameter berkisar 50 cm – 60 cm, nelayan yang mengoperasikan penangkapan bubu/pakkaja disebut nelayan pattorani (nelayan penangkapan telur ikan terbang).
Gambaran umum unit penangkapan bubu/pakkaja secara umum menggunakan perahu yang berukuran 6 – 11 GT, luas layar 35 – 70 m, dua buah mesin dengan kekuatan 31
Studi Mengenai Pengetahuan Lokal Nelayan Pattorani
Di Sulawesi Selatan
Andi Adri Arief
115
– 60 PK, alat penangkapan bubu/pakkaja sebanyak 30 – 54 buah, tali nilon 20 – 45 kg, bambu yang berfungsi sebagai pelampung dan temapat mengikat alat penangkap/daun kelapa sebanyak 10 – 22 batang, daun kelapa 200 – 470 pelepah sedangkan tenaga kerja yang digunakan 4 – 6 orang. Alat ini dipasang dengan cara meletakkan di permukaan laut dan dibiarkan terapung-apung (ammanyu-manyu). Jumlah pakkaja yang dipergunakan oleh kelompok pattorani sekitar 10-20 buah. Dan setiap pakkaja diletakkan sepotong bambu yang panjangnya kurang lebih 50 cm yang diikat bersama ”gosse” (sejenis rumput laut yang baunya disenangi ikan terbang). Pada bagian dalam pakkaja diikatkan sebuah balla-balla, yaitu tempat bertelurnya ikan terbang, dengan ukuran 2 x 1 meter, selanjutnya, pada bagian luar pakkaja dikaitkan daun kelapa bersama tandanya (lihat gambar
3)
Gambar 3. Alat Tangkap Pakkaja yang Dilengkapi dengan Balla-Balla.
Pengetahuan Mengenai Keberadaan Ikan Torani
Berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki, maka nelayan-nelayan pattorani di desa ini dapat mengetahui keberadaan ikan-ikan torani berdasarkan simbol-simbol alam berupa; (1) adanya cahaya ikan seperti memutih yang kelihatan dari kejauhan, (2) melalui alat penciumannya yang mengenali bau yang khas dari ikan terbang, (3) melalui penyelupan tangan sampai pada siku. Bilamana air laut “terasa hangat” maka diyakini terdapat gerombolan ikan terbang disekitar mereka, (4) adanya segerombolan burung yang berbentuk paruh bebek yang berwarnah merah maupun hitam, (5) melalui tingkah laku ikan terbang. Semakin tinggi terbangnya, makin diyakini ikan tersebut tidak ada terlurnya dan tidak akan mungkin masuk kedalam pakkaja dan didaun kelapa untuk bertelur. Pengetahuan dalam Aktivitas Penangkapan
Setelah semua pakkaja yang dipasang telah hanyut terbawa arus ke arah barat, maka ponggawa dan para sawi bersama-sama mengawasi posisi perahu sambil menyanyikan lagu-lagu bersifat “porno”. Diyakini bahwa dengan
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
116
mendendangkan lagu-lagu porno akan mengundang ikan terbang berdatangan ke alat pakkaja yang dipasang. Disaat ikan terbang mulai terlihat mendekati alat tangkap pakkaja, maka semua awak perahu harus diam sejanak dan ponggawa mengungkapkan “baca” yang diawali dengan tafakkur. Dalam pengoperasiannya, bubu/pakkaja diikatkan pada bambu yang juga berfungsi sebagai pelampung. Bambu yang dibentangkan secara melintang lurus atau berbentuk huruf U, bambu tersebut diikatkan pada perahu. Bubu/pakkaja yang terikat pada bambu tenggelam seluruhnya kedalam air dengan tertutupi beberapa pelepah daun kelapa. Cara pengoperaisan unit penangkapan bubu/pakkaja adalah perahu dihanyutkan dengan tidak menggunakan mesin. Pengontrolan dilakukan 2 -3 kali selama 24 jam dengan cara menarik tali secara bersamaan, bambu terangkat naik dan terlihat alat penangkapan bubu/pakkaja. Jika didalam perangkap terlihat adanya telur ikan terbang/iakn terbang, maka tali yang lainnya ditarik terus sampai alat perangkap dapat naik ke perahu. Pengetahuan Batin (Baca) dalam pelaksanaan Penangkapan Membacakan bait-bait menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh nelayan pattorani untuk mengundang kehadiran ikan-ikan terbang untuk bertelur di dalamnya. Bait-bait itu antara lain :
“Pole torani……, Pole torani……, Pole torani……, Riallakna bombang, ritekona arusu, ribelebenna taka. Battuasengmako mae, mannuntung itimboro-irawa, irawa-rate, ripasekre-sekreanna, ripakkare-karenanna, ribennenu. I pantarammintu tulolonna satangnga lompowa pungkukna”.
Setelah ikan-ikan terbang mendekati pakkaja, maka selanjutnya dibacakan bait berikut ini : “Ia riolo, iangngallei bungasakna. Ia riboko, iangngallei pallatea”. Khusus pada bait –bait diatas, adalah kategori baca “erang pakboyang-boyang”. Ungkapan pada bait ini, merupakan suatu pernyataan yang memanggil ikan-ikan untuk berdatangan ketempat yang telah disediakan, yaitu alat tangkap berupa pakkaja yang dilengkapi dengan balla-balla. Ungkapan itu kurang lebih berarti; “datanglah, datanglah wahai ikan terbang, disela-sela ombak, dari gerakan-gerakan arus, dan gunung-gunung karang. Datanglah semua kemari, baik yang berada di utara, di selatan, maupun yang berada dibagian bawah dan bagian atas (permukaan air), datanglah kemari ke tempat berkumpul dan tempat bermainnya istri-istrimu.”(Data Primer Setelah Diolah, 2006). Pengetahuan tentang Pelayaran Nelayan Pattorani Sistem pengetahuan tentang pelayaran nelayan pattorani meliputi unsur-unsur pengetahuan seperti :
a) Pengetahuan tentang berlayar : adanya kepercayaan terhadap roh-roh yang mendiami satu tempat atau lokasi penagkapan. Untuk menghindari murkanya maka kesemuanya harus diselamati melalui upacara selamatan membuang daun sirih dan tembakau
b) Pengetahuan tentang musim dan hari pemberangkatan : pa’torani berangkat pada bulan Maret atau bulan April (Musim Timur). Mereka percaya, bahwa kesalahan dalam penentuan waktu pemberangkatan dapat
Studi Mengenai Pengetahuan Lokal Nelayan Pattorani
Di Sulawesi Selatan
Andi Adri Arief
117
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bahkan dapat menimbulkan hal yang fatal. Oleh karena itu pencatatan waktu pemberangkatan harus diperhitungkan secara cermat dan teliti mungkin. Penentuan hari baik dan hari jelek berdasarkan pada tradisi dan kebiasaan yang sudah lama dipertahankan atau berdasarkan pengalaman yang sudah berlangsung kali teruji kebenarannya, seperti hari pemberangkatan sedapat mungkin hari selasa, rabu, sabtu dan minggu. Selain hari itu merupakan pantangan untuk dijadikan sebagai hari pemberangkatan.
c) Pengetahuan tentang awan : kondisi awan juga menjadi pedoman bagi nelayan torani dalam melakukan aktifitasnya, seperti; bila awan tidak bergerak tetap pada posisinya berarti teduh dan angin tidak bertiup kencang, bila awan bergerak selalu berubah-ubah bentuk berarti akan ada angin kencang atau badai, bila arah awan gelapnya dari barat akan menuju timur berarti akan datang hujan atau badai.
d) Pengetahuan tentang bintang (mamau) dan Bulan : tanda lain yang sering juga diperhatikan adalah dengan melihat bintang, seperti; bintang porong-porong akan terjadi musim barat, bintang tanra tellu akan terjadi hujan lebat, bintang wettuing menjadi pedoman berlayar, bintang mano dan sebagainya.
e) Pengetahuan tentang petir dan kilat : petir dan kilat dimaknai suatu kekuatan bertujuan untuk mengusir/mengejar setan dilaut yang mengganggu nelayan beraktivitas. Oleh karena itu, setiap ada petir maupun kilat nelayan-nelayan pattorani menghetikan aktivitas sejenak lalu membaca matera doa keselamatan.
f) Pengetahuan tentang gugusan karang (sapa) : pengetahuan mengenai keberadaan gugusan karang (sapa) melalui tanda-tanda seperti; adanya pantulan sinar matahari yang nampak kelihatan bercahaya, keadaan ombak disekitar karang tenang dan tidak
berarus, adanya gerombolan burung yang terbang rendah dengan menukik dan berkicau.
g) Pantangan (pamali) yang berkaitan dalam aktivitas pelayaran : hal-hal yang harus dihindari selama aktivitas pelayaran menurut kepercayaan nelayan adalah; tidak boleh bersiul-siul karena akan mengundang datangnya angin, dilarang mencelupkan alat-alat dapur dilaut karena dapat mendatangkan badai, Dilarang menghalangi atau menegur jalan seorang nelayan apabila hendak menuju ke perahu, dialarang memanggil orang yang berada didaratan apabila sedang berada diatas perahu, dilaran takabbur atau bicara hal-hal yang tidak sopan karena mengundang datangnya ikan hiu, dilarang tidur tengkurap atau tiarap selama berlayar.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Sistem pengetahuan lokal nelayan pattorani sarat dengan pola-pola yang mempraktekkan sistem pengetahuan tradisional yang bersumber dari pengalaman yang diturunkan dari generasi ke generasi.
2. Bertahannya sistem pengetahuan lokal disebabkan oleh kuatnya kepercayaan bagi nelayan pattorani yang memandang nilai keseimbangan mikro kosmos terhadap makro kosmos sesuatu yang fundamental dalam interaksi manusia dan alam fisik.
3. Pengetahuan lokal nelayan pattorani secara konsisten dapat menunjang kelestarian sumberdaya hayati perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
118
Ali S, A. 1994. Pengaruh Suhu dan Cahaya Terhadap Perkembangan Larva Ikan Terbang (Cypsilurus oxycephalus). Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Baso, A. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Ikan Terbang ( Cypsilurus spp) Berkelanjutan Di Perairan Selat Makassar Dan Laut Flores (Suatu Kajian Bio-Teknis Sosial Ekonomi). Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar. Dahuri, Rohmin. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. . Keraf, A.Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta. Mattulada. 1997. Sketsa Pemikiran Tentang Kebudayaan, Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup. Hasanuddin University Press. Ujung Pandang. Miles, B. Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Salam, 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif : Menggugat Doktrin Kuantitatif. Yin, Rober K. 1996. Studi Kasus : Desain dan Metode. Rajawali Pers. Jakarta.
Naskah Masuk : 27 April 2008
Naskah Diterima : 20 Juli 2008
119
ANALISA PERAMBAHAN KAWASAN HUTAN TERHADAP KEBOCORAN CARBON DAN PERUBAHAN IKLIM (Studi Kasus Desa Bantimurung Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara) Kaimuddin Laboratorium klimatologi, Fakultas Pertanian, UNHAS E-mail: kaimuddin@yahoo.com ABSTRACT Watchfulness aim identify and analyze: (1) factors to cause the happening of forest occupation, (2) impact that evoked from occupation at forest area again carbon leakage and climate changes and, (3) tackling efforts and prevention the happening of occupation at forest area. Impact that evoked from occupation at forest area: (a) environment impact biofisik enough significant the impact: (1) critical tune enhanced, (2) lost it spring source, (3) river water rate of flow fluctuation (the rains and dry season), (4) flood, erosion, and sedimentation, and (5) soil fertility level. (b) social impact enough significant the impact: (1) citizen beside total and in forest area, and (2) conflict with government (vertical). (c) economy impact highest lost it environment service for recreation is caused by lost it spring. Key Words : Damage Impact, Occupation
PENDAHULUAN Perambahan kawasan hutan saat ini menjadi hal biasa kita temui pada wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat lahan untuk budidaya pertanian dan perkebunan semakin sempit, sehingga tidak ada jalan lain, maka tekanan terhadap kawasan hutan semakin tinggi. Seiring dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, sedangkan lahan budidaya pertanian dan perkebunan tidak mengalami penambahan.
Seperti halnya yang terjadi di Desa Bantimurung Kecamatan Bone-Bone perambahan hutan juga menjadi fakta yang dapat disaksikan dengan pengamatan langsung. Perambahan ini telah berlangsung lama, dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhentinya kegiatan tersebut. Perambahan inipun telah ditindaklanjuti melalui prosedur hukum pada tahun 2004, tetapi sampai saat ini masih juga terjadi perambahan. Potensi perambahan ini masih terbuka lebar, mengingat penegakan hukum dalam kasus perambahan ini belum berjalan maksimal. Sehingga perambahan tetap saja terjadi, malah semakin meluas ke dalam kawasan hutan. Kegiatan ini sangat meresahkan dan merugikan masyarakat, karena mengurangi debit air yang akan digunakan sebagai pengairan lahan pertanian. Tujuan Penelitian ini adalah
1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya perambahan kawasan hutan.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
120
2. Mengidentifikasi dan menganalisis dampak yang ditimbulkan dari perambahan di kawasan hutan.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya perambahan di kawasan hutan.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bantimurung, Kecamatan Bone-Bone, Kabupaten Luwu Utara yang dilaksanakan dari Bulan Desember 2006 sampai Mei 2007. Jenis data yang diperlukan untuk melakukan Analisa Perambahan Kawasan Hutan terdiri dari data primer dan data sekunder, baik bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data Primer Jenis data primer yang akan dikumpul meliputi beberapa parameter yaitu : Faktor-faktor yang melatarbe-lakangi terjadinya perambahan kawasan hutan adalah (1) Masyarakat tidak mengetahui keberadaan kawasan hutan. (2) Masyarakat tidak mengetahui adanya aturan-aturan yang berlaku dalam kawasan hutan. (3). Masyarakat mengetahui keberadaan dan aturan-aturan yang berlaku dalam kawasan hutan, tetapi terdesak oleh kebutuhan ekonomi.(4)Penjualan kawasan hutan oleh oknum pemerintah dan masyarakat pribumi.
Untuk menganalisa dampak diamati parameter yaitu (1) Aspek Lingkungan Biofisik, peningkatan lahan kritis, hilangnya Biodiversity (Keanekaragaman hayati), hilangnya sumber mata air, perubahan iklim, fluktuasi debit air sungai (musim hujan dan kemarau), banjir, erosi, dan sedimentasi, tingkat kesuburan tanah. Aspek Sosial, jumlah penduduk disekeliling dan dalam kawasan hutan, tekanan penduduk terhadap hutan, konflik (Vertikal dan horizontal), hilangnya kearifan lokal. (2) Aspek Ekonomi : pendapatan perkapita, jumlah mata pencaharian, sumber bahan baku usaha, kecenderungan terhadap usaha produktif non hutan, daya beli, jasa lingkungan.(3) Upaya penanggulangan dan pencegahan perambahan dilakukan melalui parameter : penegakan hukum yang konsekwen, kerjasama yang sinergis dan simultan antara pihak terkait, dan partisipasi masyarakat. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan untuk memperkuat data primer, dapat bersumber dari laporan-laporan hasil penelitian, studi literature, data statistik, dan peta. Data sekunder pada umumnya adalah data kuantitatif yang terdiri dari kondisi biofisik (sarana prasarana, keadaan topografi, iklim, dan lain-lain). Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung terhadap sample yang terpilih dengan menggunakan metode “Simple Random Sampling”. Pengambilan sample (responden) dilakukan secara rambang (acak) dengan sampel berdasarkan metode Krejcie dan Morgan (Lampiran 1). Jumlah sample yang diambil adalah sebanyak 36 responden karena jumlah populasi diperkirakan 40 dari 374 KK penduduk Desa Bantimurung dengan jumlah perambah sekitar 30KK atau dari 8 opsi responden dengan 5 tingkat keberagaman jawaban. Adapun responden terdiri dari masyarakat pelaku perambah hutan, masyarakat pribumi, aparat desa, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Bidang Kehutanan, Bidang Perizinan dan Pengawasan), Kepolisian, dan Kejaksaan. Penentuan jumlah sample yang mengacu pada “Tabel Krejcie” dengan tingkat kesalahan 5%, berarti data dari sample memiliki kepercayaan 95% (Sugiyono, 2003).
Analisa Perambahan Kawasan Hutan Terhadap Kebocoran Carbon
Dan Perubahan Iklim
Kaimuddin
121
Analisis Data Data yang telah terkumpul dari hasil wawancara adalah merupakan data kualitatif, sehingga sebelum di analisis terlebih dahulu diubah menjadi data kuantitatif dengan menggunakan dua kategori jawaban yaitu ya dan tidak untuk factor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perambahan kawasan hutan dan upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya perambahan di kawasan hutan. Pengambilan kesimpulan akhir mengenai derajat (tinggi atau rendahnya) didasarkan pada hasil akhir dari tabulasi data. Hasil tabulasi data di atas 50% dikategorikan tinggi dan di bawah atau sama dengan 50% dikategorikan rendah. Sedangkan untuk dampak yang ditimbulkan dari perambahan di kawasan hutan dianalisis menjadi data kuantitatif dengan menggunakan metode “Rating Scale” (Sugiyono, 1993). Skala pengukuran tersebut menggunakan alternative jawaban dari “Sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah”, dan masing-masing di beri skor “4, 3, 2, 1”. Kategori disusun berdasarkan skor, jumlah instrument, dan responden, serta dilakukan analisis deskriptif. HASIL PENELITIAN Faktor-Faktor Yang Melatarbela-kangi Terjadinya Perambahan Kawasan Hutan Pada prinsipnya masyarakat perambah ini sebahagian besar mengetahui bahwa lahan yang dikelola adalah merupakan kawasan hutan. Tetapi karena masyarakat pendatang (perambah) ini mendapat peluang untuk mengolah lahan dengan cara membeli dari oknum pemerintah dan masyarakat pribumi, maka mereka tetap mengolah lahan tersebut. Walaupun mereka juga sangat mengetahui bahwa merambah hutan adalah perbuatan yang dilarang.
Sekaitan dengan hal tersebut masyarakat perambah itu juga sebahagian besar menyatakan mengetahui adanya aturan-aturan yang berlaku dalam kawasan hutan. Sehingga sebahagian besar juga setuju, bahwa jikalau akan dilakukan pemanfaatan hutan, seharusnya diselenggarakan melalui pemberian izin. Walaupun pada prinsipnya sebahagian besar juga mereka menyatakan bahwa mereka mengetahui keberadaan dan aturan-aturan yang berlaku dalam kawasan hutan, tetapi terdesak oleh kebutuhan ekonomi (kepemilikan lahan), mengingat masyarakat perambah ini adalah merupakan suku pendatang (Bugis) yang diketahui telah krisis lahan perkebunan dengan iklim yang optimal di daerah asalnya. Hal ini kemudian diperparah bahwa kepemilikan lahan masyarakat perambah ini, terkesan legal, karena melalui proses jual-beli dengan oknum pemerintah dan masyarakat pribumi. Hal ini pulalah yang membuat masyarakat perambah ini semakin merajalela, karena mendapat dukungan sepenuhnya dari oknum pemerintah dan masyarakat pribumi. Dampak Perambahan Hutan Lingkungan Biofisik Dalam Desa Bantimurung sebenarnya masih sangat luas lahan yang tidak dapat dikelolah setiap tahunnya. Sehingga masih dijumpai lahan desa yang tidur, belum dimanfaatkan secara optimal.
Secara kasat mata dan analisa peta bahwa dengan adanya aktivitas perambahan ini, maka terjadi peningkatan luas lahan kritis. Karena tentunya perambahan kawasan hutan ditujukan untuk lahan budidaya pertanian dan perkebunan dengan tidak memperhatikan lagi kebutuhan vegetasi (reforestasi). Begitu juga dengan kehilangan Biodiversity
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
122
(Keanekaragaman hayati), tentu semakin hari akan semakin berkurang. Hilangnya sumber mata air, sumur atau sungai yang dulu banyak airnya, tetapi sekarang sudah kering, adalah merupakan dampak lanjutan dari akumulasi aktivitas perambahan selama bertahun-tahun. Kurangnya vegetasi yang akan menampung air menyebabkan hal ini terjadi. Perubahan iklimpun tidak dapat dihindari. Ini ditandai dengan besarnya perubahan bulan-bulan musim hujan atau musim kemarau pada tahun-tahun sebelumnya dengan sekarang. Begitu juga dengan peningkatan suhu dinyatakan tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Iklimpun menjadi tidak menentu, menyebabkan masyarakat susah untuk memprediksi musim tanam. Dampak lain yang dirasakan adalah tingginya perbedaan volume air di sungai (fluktuasi debit air sungai) pada saat musim hujan dengan musim kemarau. Sehingga sering mengakibatkan terjadinya banjir, jikalau volume hujan cukup besar. Begitu juga dengan dampak longsor sering terjadi, jikalau volume hujan cukup besar. Walaupun kurang meninggalkan endapan (sedimentasi), karena hanyut ketika banjir. Dan mengenai informasi yang menyatakan bahwa ada tanaman yang dulunya bisa ditanam, tetapi sekarang sudah tidak bisa tumbuh dengan baik adalah merupakan gambaran bahwa tingkat kesuburan tanah sudah mulai berkurang. Dampak Sosial
Dampak sosial yang paling nyata dari adanya aktivitas perambahan kawasan hutan ini adalah terjadinya peningkatan jumlah penduduk di sekitar hutan yang sangat signifikan. Walaupun ternyata kemampuan untuk mengolah lahan tidak terlalu besar. Jadi pada prinsipnya perambahan kawasan hutan ini, dimungkinkan hanya menjadi salah satu model investasi untuk mengantisipasi kekurangan lahan dimasa yang akan datang untuk generasi penerus. Tentu hal ini akan memberi tekanan terhadap hutan, karena kecenderungan perambahan kawasan hutan itu semakin hari semakin melebar (meluas). Kecenderungan terjadinya masalah (konflik) antar sesama pengelola lahan (horizontal) potensinya agak kurang, karena keseluruhan masyarakat perambah ini adalah suku pendatang (suku bugis), sehingga hubungan emosional masih sangat kental yang dilandasi ikatan kekeluargaan. Sedangkan kecenderungan masalah (konflik) dengan pihak pemerintah (vertikal) sering terjadi, mengingat areal perambahan ini adalah kawasan hutan yang nota bene adalah tanah Negara. Sehingga secara otomatis pada lahan perambahan tersebut melekat hak Negara yang semestinya harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dan tentunya dengan adanya aktivitas perambahan ini menyebabkan hilangnya kebiasaan leluhur yang dulu ada (kearifan local) seperti adat istiadat dalam bercocok tanam. Dampak Ekonomi Masyarakat
Dampak peningkatan pendapa-tan setelah memanfaatkan hasil hutan pada dasarnya tidak terlalu besar. Mengingat kawasan hutan yang dirambah tersebut kondisi tofografinya cukup terjal untuk tujuan budidaya pertanian maupun perkebunan. Sehingga untuk mendapatkan pendapatan yang cukup besar mungkin agak sulit. Walaupun ternyata masyarakat perambah tersebut menyatakan ada banyak jenis mata pencaharian yang dapat mereka lakukan. Seperti bertani, berkebun, berdagang, tukang kayu, dan lain-lain. memanfaatkan potensi non kayu dari hutan (rotan, aren, madu, dan lain-lain). Begitu juga dengan hasil dari hutan yang dapat dijadikan sumber bahan baku untuk usaha atau kehidupan sehari-hari dinyatakan sangat banyak yang dapat dimanfaatkan seperti
Analisa Perambahan Kawasan Hutan Terhadap Kebocoran Carbon
Dan Perubahan Iklim
Kaimuddin
123
potensi non kayu (rotan, aren, madu, dan lain-lain). Potensi hutan inilah yang mungkin menyebabkan sedikit masyarakat perambah yang berminat untuk mengelola usaha selain memanfaatkan hutan. Walaupun kelihatan bahwa kemampuan untuk membeli sesuatu barang yang diminati adalah pada kondisi yang memprihatinkan. Dan mengenai keberadaan jasa dari lingkungan yang dimanfaatkan dan menghasilkan uang (misalnya untuk rekreasi), tetapi sekarang sudah tidak ada lagi dijumpai pada lokasi ini. Upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya peram-bahan di kawasan hutan Upaya penegakan hukum yang konsekwen direspon setengah hati oleh masyarakat untuk menanggulangi ataupun mencegah terjadinya perambahan di kawasan hutan. Mengingat untuk Desa Bantimurung ini, aktor penjualan lahan telah menjalani proses hukum. Tetapi jelas terlihat bahwa aspek penegakannya masih sangat lemah. Sehingga sebahagian besar masyarakat pesimis terhadap penegakan hukum yang ada. Perangkat hukum yang ada kini belum mampu mengerem aktivitas perambahan hutan dan pelakunya. Sebab, tidak ada pemegang otoritas (eksekutor) tunggal, terlalu banyak instansi terlibat dan kewenangannya sepotong-potong. Belum lagi, masing-masing memiliki pemahaman dan kepentingan berbeda. Jikalau Departemen Kehutanan, Kejaksaan, Kepolisian, dan Instansi Lain, selama ini berjalan sendiri-sendiri dan secara kolektif terbukti mandul. Mungkin hal ini dikarenakan para pelaku perambahan hutan ini dibekingi oknum pemerintah dan masyarakat pribumi serta cenderung dapat diatur dengan penegak hukum.
Satu-satunya jalan, perpu atau UU yang baru ini harus menetapkan presiden sebagai pemegang kendali otoritas. Presiden harus memimpin langsung upaya penyelamatan hutan. Presiden tentu bisa membentuk tim yang beranggotakan para menteri atau pejabat setingkat dan kinerja tim itu diawasi langsung presiden (Manalu, 2007). Masyarakat justru lebih tertarik terhadap kerjasama yang sinergis dan simultan antara pihak terkait. Hal ini dinilai dapat menjadi upaya preventif untuk kegiatan perambahan. Diupayakan tim terpadu bergerak pada pemahaman dan kepentingan yang sama. Dan partisipasi masyarakat juga direspon setengah hati, karena terbukti yang melakukan penjualan lahan juga termasuk masyarakat pribumi yang merasa memiliki kekuatan dan dekat dengan kekuasaan. KESIMPULAN Kesimpulan penelitian adalah :
a. Faktor tertinggi yang melatarbelakangi terjadinya perambahan hutan adalah Penjualan kawasan hutan oleh oknum pemerintah dan masyarakat pribumi.
b. Dampak yang ditimbulkan dari perambahan di kawasan hutan adalah :
 Dampak Lingkungan Biofisik yang cukup signifikan dampaknya adalah peningkatan lahan kritis, hilangnya sumber mata air, fluktuasi debit air sungai (musim hujan dan kemarau), banjir, erosi, dan sedimentasi, tingkat kesuburan tanah.
 Dampak Sosial yang cukup signifikan dampaknya adalah, jumlah penduduk disekeliling dan dalam kawasan hutan, konflik dengan pemerintah (Vertikal )
 Dampak Ekonomi yang paling tinggi adalah hilangnya jasa lingkungan
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
124
untuk rekreasi disebabkan oleh hilangnya mata air.
c. Upaya penanggulangan dan pencegahan perambahan kawasan hutan yang paling direspon adalah terjalinnya kerjasama yang sinergis dan simultan antara pihak terkait.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2001. 10 Ribu Ha Hutan Lindung Dirambah Mafia Kayu di Tanah Karo. Tanah Karo Simalem Home Page. Medan. ----------, 2002. Illegal Logging dan Upaya Hukum Masyarakat Terhadap Kondisi Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Langkat. Forum LSM. Program Pengembangan Leuser. Medan. ---------, 2003. “Catatan tentang Dongi-dongi”. The Nature Conservancy-Palu Field Office, Palu. ---------, 2003a. Banjir Bandang Ancam Lima Provinsi. Sinar Harapan. Jakarta. ----------, 2005. Luwu Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Luwu Utara. Masamba. ----------, 2008. 11,4 Juta Ha Hutan Lindung Akan Beralih Fungsi. Suara Pembaharuan. Jakarta. -----------, 2008a. Rekapitulasi Laporan Data Penduduk. Desa Bantimurung. Kecamatan Bone-Bone. Haba, J., 1996. Memahami Perambah Hutan dan Dilemanya. Suara Pembaharuan. PMB-LIPI, Jakarta. Sulistyowati, B., 2004. Perambahan Kawasan Hutan Lindung Studi Kasus : di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo. Tesis S2. Universitas Indonesia. Jakarta. Manalu, D., 2007. Kebijakan Darurat Kehutanan. Kliping. Uni Sosial Demokrat. Jakarta.
Naskah Masuk : 17 Mei 2008
Naskah Diterima : 2 Agutus 2008
125
ANALISA BIAYA PRODUKSI MOULDING di PT. RANTE MARIO Abd. Rasyid Kalu Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan, Fakultas Kehutanan UNHAS ABSTRACT This watchfulness aim detects and analyze every production cost, production volume, and sales revenue moulding in effort determines production. data collecting especially done in factory by using two methods that is field observation, that is direct observation towards production process activity moulding with interview to leadership companies and managers companies to get primary data. Data analysis that used in this watchfulness cost classification based on cost character that is use in company at the expense of permanent and variable cost. Watchfulness result concludes total cost magnitude that taked by industrial account in run the production effort during one year (2006) sebesarrp. 3.676.888.627, -, where does permanent cost rp. 865.255.427, - variable rp. 2.811.633.200, -. break even point as much as 324,72 m3 with sale value rp. 1.210.147.450, -. and during year 2006 produce moulding as much as 2651 m3 with sales revenue as big as 2115 m3 with sale value rp. 7.878.798.000, -
Key words : Moulding, Break even point
PENDAHULUAN
Banyak permasalahan yang seringkali menghambat kelangsungan hidup industri perkayuan, yaitu menyangkut rendahnya tingkat efisiensi dan produktifitas sehingga menyebabkan biaya produksi cukup tinggi. Aspek yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan peningkatan efisiensi dan produktifitas industri perkayuan adalah bahan baku, sarana produksi, tenaga kerja dan permodalan.
Untuk mengendalikan hal tersebut di atas, maka manajemen perusahaan tentunya tidak dapat melepaskan diri dari keputusan tentang jumlah volume produksi yang akan direalisasikan oleh perusahaan. Penentuan volume produksi dalam pelaksanaan operasi perusahaansangat perlu, oleh karena hal ini mempunyai hubungan langsung
dengan efisiensi biaya produksi serta tingkat keuntungan yang dicapai oleh perusahaan.
Untuk menentukan volume produksi yang tepat bagi suatu perusahaan diperlukan berbagai macam alat analisis. Salah satu diantaranya adalah analisis pulang pokok atau analisis break even point (Ahyari, 1987).
PT. Rante Mario sebagai salah satu industri pengolahan kayu (industri moulding) yang ada di Sulawesi Selatan menjadi obyek penelitian kami. Dimana kami akan mencoba mengklasifikasikan biaya yang bergerak dalam perusahaan tersebut dengan menggunakan analisis break even point. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis setiap biaya produksi, volume produksi, dan hasil penjualan moulding dalam usaha menentukan produksi pada tingkat break even point.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
126
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari sampai Maret 2006, di industri PT. Rante Mario.
Pengumpulan data terutama dilakukan di dalam pabrik dengan menggunakan dua metode yaitu :
1. Observasi lapangan, yaitu pengamatan langsung terhadap kegiatan proses produksi moulding serta wawancara kepada pimpinan perusahaan dan para pengelola perusahaan untuk memperoleh data primer. 2. Pengumpulan data dari dokumen-dokumen perusahaan maupun sumber lain yang ada hubungannya dengan penelitian ini (data sekunder). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Pengklasifikasian biaya berdasarkan sifat biaya yang digunakan dalam perusahaan atas biaya tetap dan biaya variabel. a. Biaya Tetap
1. Biaya gaji direksi, tenaga administrasi dan umum, tenaga bagian produksi /teknisi /gudang dan pemasaran.
Biaya transportasi karyawan Biaya perjalanan dinas.
2. Biaya penyusutan
Usry (1992) menyatakan bahwa, penyusutan atau depresiasi merupakan penelitian galokasian biaya investasi setiap tahun sepanjang umur ekonomis untuk menjamin agar biaya modal itu diperhitungkan dalam neraca laba rugi tahunan (profit and loss statement). Jadi penyusutan bukan merupakan pengeluaran biaya riil, karena sesungguhnya yang merupakan pengeluaran biaya riil adalah investasi awal.
Metode yang digunakan untuk menghitung biaya penyusutan untuk sarana dan prasarana, yaitu metode penyusutan per tahun dengan menggunakan metode penyusutan garis lurus dengan perhitungan nilai sisa, melalui persamaan Depresiasi Tahunan = NR-M Dimana : M=Modal Awal R=Nilai Rongsokan N=Umur Pakai
3. Biaya administrasi dan umum
Biaya administrasi adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menunjang segala aktivitasnya, yang antara lain terdiri dari biaya listrik kantor, telepon, cetakan/foto copy, pajak, biaya pengurusan surat-surat dan biaya asuransi.
4. Biaya pemeliharaan/perbaikan
Dikeluarkan untuk perbaikan dan pemeliharaan aktiva-aktiva perusahaan berupa perbaikan gedung, kendaraan, mesin-mesin, peralatan di kantor dan juga biaya suku cadang.
a. Biaya Variabel
Jenis biaya ini antara lain meliputi :
1. Biaya bahan baku
Biaya ini dikeluarkan oleh perusahaan untuk membeli bahan baku berupa kayu olahan (gergajian) yang akan digunakan dalam membuat produk moulding
2. Biaya bahan pembantu
Biaya ini dikeluarkan untuk membeli bahan pembantu berupa lem dan hardener yang akan digunakan sebagai pelengkap untuk menghasilkan produk.
3. Upah tenaga kerja produksi
Analisa Biaya Produksi Moulding Di PT. Rante Mario
Abd. Rasyid Kalu
127
Biaya ini dikeluarkan untuk tenaga kerja yang langsung diturunkan dalam proses produksi. Biaya tersebut antara lain upah pengawas, operator, helper dan karyawan lepas (harian).
4. Biaya listrik
Biaya ini dikeluarkan untuk membayar tenaga listrik yang digunakan dalam proses operasi alat/mesin produksi dalam pabrik.
5. Biaya bahan bakar/pelumas
Biaya ini dikeluarkan untuk membeli bahan bakar yang digunakan dalam menunjang proses produksi. Bahan bakar/pelumas yang digunakan adalah solar, oli, gemuk.
6. Biaya penjualan
Biaya ini dikeluarkan dalam penjualan produk termasuk di dalamnya biaya pengurusan surat-surat dan dokumen ekspor.
7. Biaya-biaya lain
Jenis biaya yang termasuk dalam kelompok ini antara lain biaya untuk membeli bahan pelengkap produksi seperti plastik untuk membungkus produk, isolasi dan kertas gosok.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Unsur-unsur Pembiayaan Perusahaan
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah meliputi jenis biaya tetap, biaya variabel, biaya total, volume produksi dan penjualan dari industri moulding PT. Rante Mario Makassar selama tahun 2006.
Biaya Tetap (Fixed Cost) Biaya Gaji Karyawan Biaya ini terdiri dari gaji direksi, staf administrasi dan umum. Dalam kategori biaya tetap ini juga termasuk biaya perjalanan dinas. Data mengenai biaya gaji karyawan selama tahun 2006 disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1.Rincian Biaya Gaji Karyawan pada Industri Moulding PT. Rante Mario 2006
No
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)/tahun
Persentase (%)
1
Gaji Karyawan
152.200.000
85,89
2
Biaya Perjalanan Dinas
25.000.000
14,11
Jumlah
177.200.000
100
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006
Yang dimaksud dengan gaji karyawan pada tabel tersebut adalah gaji karyawan yang tetap selama tahun 2006, sedang biaya perjalanan dinas adalah biaya-biaya yang digunakan dalam urusan dinas ke daerah lain. Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa biaya gaji karyawan yang dikeluarkan perusahaan selama tahun 2006 sebesar Rp. 177.200.000,- Biaya Administrasi dan Umum Biaya administrasi dan umum meliputi biaya listrik dan telepon, biaya perlengkapan kantor dan foto copy, biaya pengurusan izin kendaraan, astek karyawan, pajak. Rincian biaya-biaya administrasi dan umum dapat dilihat pada tabel 2 di bawah .
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
128
Pada Tabel 2 di atas terlihat bahwa besarnya keseluruhan biaya administrasi dan umum yang dikeluarkan oleh industri PT. Rante Mario Makassar selama tahun 2006 adalah sebesar Rp. 647.221.881.
Biaya Pemeliharaan/Perbaikan
Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk melakukan pemeliharaan dan perbaikan aktiva tetap selama tahun 2006 disajikan pada tabel 3 dibawah ini Tabel 2. Rincian Biaya Administrasi dan Umum pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006.
No
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)/tahun
Persentase (%)
1
Telepon
60.000.000
9,27
2
Perlengkapan Kantor dan foto Copy
78.000.000
12,07
3
Listrik Kantor
420.000.000
64,89
4
Astek Karyawan
30.000.000
4,63
5
Pajak
14.221.881
2,19
6
Pengurusan izin kendaraan
45.000.000
6,95
Jumlah
647.221.881
100
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006 Tabel 3. Rincian Biaya Pemeliharaan/Perbaikan pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006
No
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)/tahun
Persentase (%)
1
Pemeliharaan dan Perbaikan Kendaraan
24.884.100
17,38
2
Pemeliharaan dan Perbaikan Aktiva Kantor
18.000.000
12,57
3
Pemeliharaan dan perbaikan mesin produksi
100.223.500
70,05
Jumlah
143.107.600
100
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006
Pada tabel 3 di atas terlihat bahwa besarnya keseluruhan biaya pemeliharaan/perbaikan yang dikeluarkan oleh perusahaan adalah sebesar Rp. 143.107.600,- Biaya Penyusutan
Biaya penyusutan atau depresiasi aktiva tetap adalah merupakan salah satu unsur biaya tetap (fixed cost). Adapun rincian biaya penyusutan pada PT. Rante Mario Makassar tahun 2006 diperlihatkan pada tabel 4. Perhitungan biaya penyusutan ini, dimaksudkan sebagai dasar dalam upaya menyisahkan sejumlah dana selama aktiva tetap masih dapat digunakan dengan baik yaitu selama umur ekonomisnya. Dengan demikian apabila umur ekonomisnya telah berakhir maka dapat segera diganti dengan yang lain, yang bernilai sama dengan jumlah biaya penyusutan sepanjang umur ekonomis. Apabila harga pengganti lebih tinggi diperlukan biayatambahan atas jumlah uang penyusutan selama umur ekonomis tadi, dimana tambahannya ini termasuk biaya investasi baru.
Analisa Biaya Produksi Moulding Di PT. Rante Mario
Abd. Rasyid Kalu
129
Berdasarkan uraian jenis biaya tetap di atas maka dibuat rekapitulasi unsur biaya tetap perusahaan sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.
Berdasarkan rekapitulasi jenis dan jumlah biaya tetap pada tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa total biaya tetap yang dikeluarkan oleh perusahaan selama tahun 2006 sebesar Rp. 865.255.427,-. Tabel 4. Rincian Biaya Penyusutan Aktiva Tetap pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006.
No
Jenis Biaya
Umur Pakai (Th)
Nilai Perolehan
Jumlah (Rp)/tahun
Persentase (%)
1
Bangunan Pabrik
24
330.200.000
12.382.500
16,52
2
Bangunan Kantor
5
218.400.000
39.312.000
52,46
3
Mesin dan Suku Cadang
20
354.240.000
15.940.800
21,27
4
Kendaraan
19
55.288.000
2.618.905
3,49
5
Inventaris Kantor
17
88.244.000
4.671.741
6,23
Jumlah
1.046.372.000
74.925.946
100
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006 Tabel 5. Rekapitulasi Biaya Tetap Total pada Industri Moulding PT. Rante Mario Makassar Tahun 2006
No
Jenis Biaya
Jumlah (Rp)/tahun
Persentase (%)
1
Biaya Gaji Karyawan
152.200.000
17,59
2
Biaya Administrasi dan Umum
647.221.881
74,80
3
Biaya Pemeliharaan/Perbaikan
143.107.600
16,54
4
Biaya Penyusutan Aktiva Tetap
74.925.946
8,66
Jumlah
865.255.427
100
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006
1. Biaya Variabel (Variable Cost)
Jenis biaya yang termasuk dalam unsur biaya variabel perusahaan antara lain, yaitu :
a. Biaya Bahan Baku
Besarnya biaya pembelian bahan baku yang dikeluarkan oleh industri PT. Rante Mario Makassar selama tahun 2006 untuk melakukan kegiatan usaha produksi moulding dapat dilihat dalam tabe 6l
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
130
Tabel 6. Rincian Biaya Bahan Baku Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006
No
Jenis Bahan Baku
Jumlah (m3)
Biaya Pembelian (Rp/Th)
1
Meranti
925,2
922.515.200
2
Nyatoh
398,5
400.422.400
3
Palapi
650,1
658.661.000
Jumlah
1.974
1.981.598.600
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006
Pada tabel 6 diketahui bahwa besarnya keseluruhan biaya pembelian bahan baku yang dikeluarkan oleh industri PT. Rante Mario Makassar adalah sebesar Rp. 1. 981.598.600,- dengan jumlah pemakaian bahan baku sebanyak 1.974 m3. Biaya pembelian bahan baku ini merupakan biaya pembelian kayu olahan dalam bentuk sawn timber, yang didatangkan antara lain dari daerah Mamuju, Kalimantan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
b. Biaya Bahan Penolong
Biaya pembelian bahan penolong yang dikeluarkan oleh industri PT. Rante Mario meliputi biaya pembelian lem dan hardener. Besarnya biaya pembelian bahan penolong selama tahun 2006 dapat dilihat dalam Tabel 7 Tabel 7. Rincian Biaya Pembelian Bahan Penolong pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006.
No
Jenis Bahan Penolong
Jumlah Bahan Penolong (Rp)/Kg
Biaya Pembelian (Rp/Th)
1
Lem
2.811
40.230.000
2
Hardener
80
3.240.000
Jumlah
2.891
43.470.000
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006
Pada tabel 7 tampak bahwa besarnya biaya pembelian bahan penolong yang dikeluarkan oleh perusahaan pada tahun 2006 adalah Rp. 43.470.000,-
c. Biaya Upah Tenaga Kerja Produksi
Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membayar upah bagi tenaga kerja produksi langsung di pabrik dapat dilihat pada Tabel 8.Tabel 8. Rincian Biaya Upah Tenaga Kerja Produksi Langsung pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 6
No
Jenis Pekerjaan
Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
Jumlah Upah (Rp/Th)
1
Operator
240
81.700.000
2
Pembantu Operator
750
230.800.000
Jumlah
990
312.500.000
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006
Analisa Biaya Produksi Moulding Di PT. Rante Mario
Abd. Rasyid Kalu
131
d. Biaya Listrik
Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membayar tenaga listrik yang digunakan dalam proses operasi alat/mesin produksi pabrik pada tahun 2006 adalah sebesar Rp. 150.330.600,-
e. Biaya Bahan Bakar/Pelumas
Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membeli bahan bakar dan pelumas mencakup biaya pembelian bahan bakar solar dan oli bagi pengoperasian mesin dan peralatan di pabrik. Besarnya jenis biaya ini disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 .Rincian Biaya Pembelian Bahan Bakar dan Pelumas pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006.
No
Jenis Bahan Bakar dan Pelumas
Jumlah Bahan Bakar dan Pelumas (L/Th)
Biaya Pembelian (Rp/Th)
1
Solar
14.800
8.900.000
2
Oli
880
4.200.000
Jumlah
15.680
13.100.000
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006
f. Biaya Penjualan
Biaya penjualan produk yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pemasaran produk, terdiri atas ekspedisi/freigh barang (biaya pengiriman produk ekspor mulai dari pabrik sampai di tempat tujuan ditanggung perusahaan pengirim), dan biaya transaksi/pengiriman dokumen. Rincian biaya penjualan PT. Rante Mario pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10. Rincian Biaya Penjualan Produk pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006.
No
Jenis Biaya
Jumlah Biaya (Rp/Th)
Prosentase (%)
1
Biaya Ekspedisi/freigh barang
145.600.000
63,18
2
Biaya transaksi/pengiriman dokumen
84.824.000
36,81
Jumlah
230.424.000
100
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006
Total biaya penjualan yang dikeluarkan oleh PT. Rante Mario pada tahun 2006 sebesar Rp. 230.424.000,-
g. Biaya lain-lain
Biaya ini meliputi biaya untuk membeli perlengkapan finishing seperti plasitk, kertas gosok, isolasi, paku dan biaya lain pada industri moulding PT. Rante Mario Makassar pada tahun 2006 mengeluarkan biaya lain-lain sebesar Rp. 80.210.000,-
Berdasarkan uraian jenis biaya variabel yang telah dikemukakan diatas maka disusun rekapitulasi biaya variabel sebag
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
132
Dari tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa selama tahun 2006 biaya variabel total yang dikeluarkan oleh perusahaan sebesar Rp. 2.811.633.200,- dengan pengeluaran terbesar pada biaya bahan baku senilai 68,30% dari total biaya variabel diamana tersebut dalam Tabel 11.
3. Biaya Total (Total Cost)
Biaya total yang dikeluarkan oleh PT. Rante Mario selama tahun 2006 merupakan akumulasi dari biaya tetap dan biaya variabel. Rekapitulasi kedua biaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 11. Rekapitulasi Biaya Variabel pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006
No
Jenis Biaya Variabel
Jumlah Biaya (Rp/Th)
Prosentase (%)
1
Biaya Bahan Baku
1.981.598.600
68,30
2
Biaya Bahan Penolong
43.470.000
1,26
3
Biaya Tenaga Kerja Langsung
312.500.000
10,93
4
Biaya Bahan Bakar/Pelumas
13.100.000
0,52
5
Biaya Listrik Pabrik
150.330.600
4,60
6
Biaya Penjualan
230.424.000
9,34
7
Biaya Lain-lain
80.210.000
5,05
Total
2.811.633.200
100
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006 Tabel 12. Rekapitulasi Biaya Total Yang Dikeluarkan pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006
No
Jenis Biaya
Jumlah Biaya (Rp/Tahun)
Prosentase (%)
1
Biaya Tetap Total
865.255.427
23
2
Biaya Variabel Total
2.811.633.200
76
Total
3.676.888.627
100
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006
Pada tabel 12 terlihat bahwa keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh PT. Rante Mario dalam melakukan seluruh kegiatan usaha produksi Moulding selama tahun 2006 adalah sebesar Rp. 3.676.888.627,- dengan persentase biaya tetap sebesar 23% dan biaya variabel sebesar 76 % dari total biaya, dengan volume produksi sebesar 2651 m3 maka dapat diketahui bahwa biaya produksi per m3 dari seluruh kegiatan produksi Moulding sebesar Rp. 1.386.981,7,-, dimana kapasitas terpasang kegiatan produksi adalah sebesar 3350 m3. Penjualan Produk PT. Rante Mario Makassar dan Keuntungan Usaha
Produk yang dihasilkan oleh industri PT. Rante Mario terdiri dari 2 jenis produk moulding flooring yaitu flooring finger joint dan flooring laminating semua produk tersebut diekspor ke negara Taiwan, hasil penjualan yang diperoleh selama tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 13.
Analisa Biaya Produksi Moulding Di PT. Rante Mario
Abd. Rasyid Kalu
133
Tabel 13. Rincian Hasil Penjualan Produk Moulding PT. Rante Mario pada Tahun 2006.
No
Jenis Produk
Jumlah (m3)/Thn
Nilai Penjualan (Rp)/Thn
1
Flooring Finger joint
1660
6.183.832.000
2
Flooring laminating
455
1.694.966.000
Jumlah
2115
7.878.798.000
Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006
Pada Tabel 13 terlihat bahwa industri PT. Rante Mario pada tahun 2006 dapat menjual produknya sebanyak 2115 m3 dengan nilai penjualan sebesar Rp. 7.878.798.000,- Keuntungan industri PT. Rante Mario pada tahun 2006 adalah sebesar Rp. 4.201.909.373,- (dapat dilihat pada Lampiran 3). Hasil ini diperoleh dari selisih antara penjualan yang dicapai dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan KESIMPULAN Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis yang telah dilakukan pada uraian terdahulu, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Perusahaan mencapai Break Even Point sebanyak 324,72 m3 dengan nilai penjualan adalah sebesar Rp. 1.210.147.450,- agar tidak mengalami kerugian dan belum memperoleh keuntungan .
2. Industri PT. Rante Mario Makassar selama tahun 2006 telah memproduksi moulding sebanyak 2651 m3 dengan hasil penjualan sebesar 2115 m3 dengan nilai penjualan Rp. 7.878.798.000,-
DAFTAR PUSTAKA
Ahyari, 1987. Pengedalian Produksi. Edisi Keempat. Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Alwi, Syarifuddin, 1983. Alat-alat Analisis Dalam Pembelanjaan. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. Amran, Bustam, 1983. Ekonomi Perusahaan Masalah Biaya. Pradnya Paramitha. Jakarta. Badruddin A, 1975. Analisis Produksi Suatu Industri Kehutanan No. Iv. Lembaga Penerbitan Hasil Hutan Bogor. Bambang dan Kartasapoetra G, 1988. Kalkulasi dan Pengendalian Biaya Produksi, PT. Bina Aksara, Jakarta. Junus, M. A.R. Wasakara, J.J. Frans, M. Rusmaedy, S. Soedirman, S. Digut, M. Sila, 1985. Dasar Umum Ilmu Kehutanan II. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur. Ujung Pandang. Kadri W., R. Soeriono, D. U. Perbatasari., 1992 Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan. Endjang, Muchtar, 1990. Pengenalan Sortimen Moulding. Panitia Penyelenggara Latihan Penguji Hasil Hutan. Mulyadi, 1981. Akuntansi Biaya, Penentuan Harga Pokok dan Pengendalian Biaya, Edisi Ketiga. Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah mada, Yogyakarta. Soehardi, Sigit. 1992. Analisis Break Even. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
134
Sukirni, S. 1985. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Yogyakarta. Supriyono, R. 1983. Akuntansi Biaya. Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
, 1987. Akuntansi Manajemen I. Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Swastha, Basu, 1986. Manajemen Pemasaran Modern, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Usry, Matz, Widodo Sirait, 1992. Akuntansi Biaya, Perencanaan dan Pengendalian. Penerbit Erlangga.
Naskah Masuk : 5 Juni 2008
Naskah Diterima : 28 Juli 2008
135
PRANATA SOSIAL SISTEM PENGELOLAAN HUTAN MASYARAKAT ADAT KAJANG Muh Dassir Laboratorium Hasil Hutan Fakultas Kehutanan UNHAS ABSTRACT Forest management practices based on “ Pasang “ at Kajang are phenomenon that interesting, because concepts that professed by Kajang society actually apply forest management practice everlastingly. In conection with the mentioned, author interested to canvass how far existence "pasang ri Kajang" as a pranata management sumberdaya especially forest and communities ammatoa as forest area user. Pasang-pasang that forest preservation in awning custom society. Key Words : Pasang, custom forest
PENDAHULUAN Komunitas Ammatoa di Kajang merupakan salah satu komunitas adat di Indonesia yang hutannya masih terlindungi. Komunitas Ammatoa memiliki sistem sosial yang unik, yaitu merupakan kelompok komunitas sosial yang tetap berpegang teguh pada "Pasang ri Kajang" (sistem nilai budaya komunitas Ammatoa) yang merupakan ajaran tradisional dari leluhur yang berasal dari Tu Rie' A'ra'na (Tuhan) melalui Ammatoa sebagai pimpinan komunitas tertinggi. Pasang adalah kumpulan pesan-pesan, petuah-petuah, petunjuk-petunjuk dan aturan-aturan bagaimana seseorang menempatkan diri terhadap makro dan mikro kosmos serta tata cara menjalin harmonisasi alam-manusia-Tuhan. Pasang menjadi ukuran apakah sesuatu itu "baik" atau "buruk" atau apakah sesuatu itu "boleh" atau "tidak".
Pasang menganjurkan agar tidak merusak hutan karena komunitas Ammatoa memandang hutan sebagai sumber kehidupan dan penyangga keseimbangan lingkungan. Bagi komunitas Ammatoa jika hutan rusak, maka rusak pula kehidupan mereka. Oleh sebab itu, komunitas adat Ammatoa sangat berpantang untuk mengganggu hutan dan mengambil kayunya. Dalam upaya menjaga kelestarian hutannya, komunitas dibagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah ilalang embayya (kawasan lindung yang tidak boleh diganggu) dan wilayah pantarang embayya yang dapat dimanfaatkan oleh komunitas. Dengan adanya batas wilayah yang boleh dimanfaatkan dan yang tidak bolehimanfaatkan, komunitas Ammatoa dapat menjaga kelestarian hutannya sampai sekarang. Praktek-praktek pengelolaan hutan berbasis pasang di Kajang merupakan fenomena yang menarik, karena konsep-konsep yang dianut oleh masyarakat Kajang sesungguhnya menerapkan praktek pengelolaan hutan secara lestari. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana keberadaan "pasang ri Kajang" sebagai suatu pranata pengelolaan sumberdaya khususnya hutan dan komunitas Ammatoa sebagai pengguna kawasan hutan.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
136
Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui sistem pranata sosial pengelolaan hutan pada Masyarakat .adat Kajang. 2. Mengetahui struktur kelembagaan adat Ammatoa yang menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan. METODE PENELITIAN Penelitian ini telah dilaksanakan selama  dua bulan yaitu mulai bulan Juli sampai bulan Agustus 2007, bertempat di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui : Wawancara dengan para informan kunci untuk memperoleh data dan informasi lisan mengenai pranata sosial pengelolaan hutan dan struktur kelembagaan masyarakat adat kajang yang terkait dengan pengelolaan hutan. Para informan kunci yang dimaksud adalah : a. Ammatoa (pimpinan tertinggi komunitas adat); b. Galla 5 (pembantu Ammatoa yang khusus bertugas mangurusi masalah adat) yaitu Galla Pantama, Galla Lombo, Galla Puto, Galla Kajang dan Galla Anjuru; c. Karaeng Tallua (pembantu Ammatoa dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan yang dikenal "tri tunggal dalam pemerintahan") yaitu Sullehatang, Karaeng Kajang (Labbiriyah) dan Moncong Buloa (Anak Karaeng Tambangan); d. Tokoh masyarakat/agama, dan masyarakat sebagai pengelola dan pemanfaat hutan, baik di dalam kawasan hutan adat maupun di luar kawasan hutan adat.
Observasi atau peninjauan langsung ke lapangan untuk melihat kondisi hutan dengan pola pengelolaan hutan yang dilakukan oleh komunitas adat Ammatoa. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan masyarakat adat yang diteliti dianalisis secara deskriptif HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Komunitas Adat Ammatoa Masyarakat Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba adalah merupakan salah satu kelompok masyarakat adat yang sehari-harinya menggunakan bahasa Konjo dan kokoh memegang tradisinya. Komunitas Ammatoa terbagi dua yaitu komunitas Ammatoa di Tana Kamase-masea dan komunitas Ammatoa di Tana Kuasayya. Komunitas Ammatoa yang bermukim di Tana Kamase-masea tetap mempertahankan sistem nilai budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya dan cenderung lamban atau kurang menerima hal-hal yang baru bahkan sebagian ditolak sama sekali. Sikap dan perilaku kehidupan masyarakat adat Ammatoa yang bermukim di Tana Kamase-masea berpedoman pada ajaran Pasang ri Kajang, yakni seluruh aktifitas kehidupan mereka dipusatkan pada kehidupan akhirat. Hal ini tercermin dari suasana kehidupan yang ditampilkannya sehari-hari. Rumah sederhana berbentuk panggung, tanpa perabot, tanpa perhiasan. Bentuk rumah sama, sehinga sulit membedakan antara rumah ketua adat Ammatoa dengan anggota masyarakat lainnya.
Berbeda dengan komunitas adat Ammatoa yang bermukim di Tana Kuasayya, mereka sudah mulai membuka diri terhadap piranti-piranti teknologi dan menggunakannya seperti listrik, televisi, kendaraan bermotor, mobil sebagai upaya dari pemerintah untuk mengangkat kehidupan mereka. Komunitas di Tana Kuasayya, secara
Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan
Masyarakat Adat Kajang
Muh Dassir
137
perlahan pola pikirnya mengalami perkembangan. Hal ini nampak dengan adanya keinginan dari mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka berharap, kehidupan anak-anak mereka pada masa yang akan datang akan lebih baik dari kehidupan yang dijalaninya sekarang. Selain itu, perubahan yang terjadi pada komunitas Ammatoa di Tana Kuasayya yaitu pakaian yang dikenakan, sebagian besar sudah memakai pakaian seperti yang dipakai orang-orang di luar wilayah adat, hanya orang-orang tua saja yang masih memakai pakaian serba hitam. Kawasan Hutan Adat Tana Toa Hutan adat ke-Ammatoa-an (Boronna I Bohe) dibagi ke dalam tiga zona, yaitu : 1. Hutan Keramat (Borong Karama'), merupakan zona pertama dari hutan adat yang menurut pasang terlarang (kasipalli) untuk dimasuki, ataupun mengganggu flora dan fauna yang ada di dalamnya. Borong Karama' hanya boleh dimasuki oleh Ammatoa dan anggota adat apabila ada upacara adat (upacara pelantikan Ammatoa, Pa'nganroang). Borong Karama' dibagi menjadi delapan yaitu : Borong Pa'rasangeng Iraja, Borong Pa,rasangeng Ilau' Borong Tappalang, Borong Tombolo, Borong Karanjang, Borong Tunikeke, Tuju Erasaya dan Borong Pandingiang. Konon kabarnya, apabila ada orang dari luar yang masuk di zona ini, orang tersebut tidak bisa keluar. Kalaupun bisa keluar, orang tersebut akan meninggal. Begitu juga dengan anjing, kalau berhasil keluar anjing tersebut tidak bisa menggonggong lagi.
2. Hutan Perbatasan (Borong Battasayya), hutan ini merupakan zona kedua dari Borong Karama'. Antara Borong Karama' dan Borong Battasayya dibatasi oleh jalan setapak yang digunakan oleh Ammatoa dan anggota adat sebagai jalan untuk masuk di Borong Karama' untuk upacara ritual komunitas. Borong Battasayya terdapat di Hutan Pa'rasangeng Iraja. Di Borong Battasayya, komunitas Ammatoa di Tana Kamase-masea maupun di Tana Kuasayya diperbolehkan mengambil kayu dengan syarat-syarat tertentu. 3. Borong Luarayya merupakan hutan rakyat yang belum dibebani hak milik. Menurut Muh. Sain (anak dari Amma Galla), hutan ini terletak di sekitar kebun masyarakat ke-Ammatoa-an dengan luas ± 100 Ha. Dari hutan inilah masyarakat bisa memenuhi kebutuhan mereka terhadap kayu dengan persyaratan yang sama pada pengambilan kayu di Borong Battasayya. Luas kawasan hutan Tana Toa yang meliputi Hutan Keramat (Borong Karama') dan Hutan Perbatasan (Borong Battasayya) menurut hasil tata batas yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba yaitu 331,17 ha, yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT). Struktur Kelembagaan Masyarakat Adat Ammatoa
Struktur lembaga adat Ammatoa dikenal sebagai appa' pa'gentunna tanaya na pa'tungkulu'na langi' (empat penggantung bumi dan penopang langit) yaitu : (1) Ada' yang harus tegas (gattang); (2) Karaeng yang harus menegakkan kejujuran (lambusu); (3) Sanro (dukun) yang harus pasrah (apisona); dan (4) Guru yang harus sabar (sa'bara). Adapun struktur kelembagaan adat Ammatoa menurut Ibrahim, T (2001) dapat dilihat pada Gambar 2.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
138
Gambar 2. Struktur Lembaga Adat Ammatoa
Tugas dan Fungsi dari Struktur Kelembagaan Adat Ammatoa terdiri atas : 1. Ammatoa mempunyai fungsi dan peran menurut Pasang ri Kajang sebagai berikut : a. Sebagai orang yang dituakan, artinya bahwa Ammatoa adalah pelindung, pengayom dan suri teladan bagi semua warga komunitas.
b. Sebagai penghubung manusia - Tu Rie' A'ra'na dan Tu Rie' A'ra'na - Manusia. Menghubungkan harapan-harapan komunitas dan gagasan keilahian (upaya penyelarasannya melalui pa'nganroang). c. Ammatoa menjadi katup pengaman ketegangan-ketegangan sosial antar komunitas. d. Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kelestarian Pasang ri Kajang.
Ada' Limayya
Karaeng Tallua
Sulletang
Ada' patambai cidong panroakki bicara pallabbui rurung (pelengkap) 8 orang
Lompo Ada' (Ada' Buttaya)
Adat Pelaksana Pemerintahan
Ada' ri Tana Lohea
5 orang
Ada' Akkeke Butta
5 orang
Anak Karaeng Tambangan (Moncong Buloa)
Galla Pantama
Karaeng Kajang
Ammato
Anrongta
Galla Lombo
Galla Puto
Galla Kajang
Galla Anjuru
Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan
Masyarakat Adat Kajang
Muh Dassir
139
2. Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongkina bertugas mengurus perlengkapan-perlengkapan pada upacara adat. 3. Ada' Limayya, merupakan salah satu perangkat adat yang statusnya setingkat dengan Karaeng Tallua. Anggotanya sebanyak lima orang dengan tugas-tugas tersendiri. Kelima orang tersebut masing-masing : a. Galla Pantama bertempat di Bonto Pao memiliki tugas pa'lamung-lamungang, yaitu menentukan waktu mulai menanam dengan melihat tanda-tanda (tanra). Seperti mulai berbunganya pohon Dande (Hopea dolosa) menandakan mulai diadakannya abborong (musyawarah) yang dipimpin oleh Galla Pantama untuk menentukan waktu menanam padi. Sekarang dijabat oleh Puto Tangngai. b. Galla Lombo bertugas mengurus masalah pemerintahan pada daerah-daerah takluk Ammatoa dan urusan keluar masuk kawasan adat. Sekarang dijabat oleh Kepala Desa Tana Toa. c. Galla Anjuru bertugas dalam bidang pekerjaan yang berhubungan dengan nelayan (perikanan), menentukan waktu yang baik unrtuk turun ke laut dan menangkap ikan. d. Galla Kajang bertempat di Pangi, bertugas mengurusi pesta-pesta adat dan yang berhubungan dengan Pasang keagamaan dan pelanggaran (kriminal). e. Galla Puto bertempat di Benteng, bertugas sebagai juru bicara Ammatoa dan sebagai pengawas langsung tentang pelaksanaan Pasang ri Kajang. Sekarang dijabat oleh Puto Beceng. Ada' Limayya pada mulanya dijabat langsung oleh putra-putri Ammatoa pertama. Kemudian setelah mereka meninggal, jabatan itu dipegang oleh keturunan mereka berdasarkan petunjuk Pasang ri Kajang.
4. Karaeng Tallua sebagai salah satu perangkat adat dalam struktur lembaga adat Ammatoa, memiliki tiga orang personil, yaitu (1) Karaeng Kajang (labbiriyah), dijabat oleh camat Kajang; (2) Sullehatang, dijabat oleh kepala kelurahan Tana Jaya; dan (3) Moncong Buloa, anak Karaeng Tambangan. Sekarang dijabat oleh Kepala Desa Tambangan. Tugas yang dipercayakan kepada Karaeng Tallua yaitu mendampingi Galla Pantama pada setiap berlangsungnya pesta adat. 5. Lompo Ada' (Ada' Buttaya) bertugas dalam bidang-bidang : a. Ada' ri Tana Lohea. Perangkat adat ini mempunyai lima orang personil yang kesemuanya berasal dari Ada' Limaya dengan tugas tersendiri. Galla Pantama dengan status sebagai penghulu adat atau adat utama; Galla Lombo dengan tugas yang berhubungan dengan urusan perbelanjaan; Galla Kajang bertugas mengurus perkara-perkara dan hukum serta persoalan-persoalan kriminal; Galla Puto bertugas sebagai juru bicara Ammatoa; dan Galla Anjuru bertugas mengurusi bagian perlengkapan. b. Adat pelaksana pemerintahan, yang terdiri dari tujuh anggota yaitu : (1) Guru bertugas sebagai pembaca doa dan mantera-mantera; (2) Kadahangnga bertugas dalam bidang pertanian; (3) Lompo Karaeng bertugas membantu Ada' Limaya ri Tana Lohea dalam pelaksanaan pesta dan upacara adat; (4) Sanro Kajang, bertugas untuk menjaga dan memelihara kesehatan rakyat; (5) Anrong Guru, bertugas dalam urusan pertahanan dan keamanan; (6) Lompo Ada' bertugas juga sebagai pendamping adat jika berlangsung pesta adat; dan (7) Galla Malleleng bertugas dalam urusan perbelanjaan dan keuangan.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
140
c. Ada' Akkeke Butta, terdapat lima anggota dengan tugas pokok memelihara dan memperbaiki saluran air dan pengairan. Itulah sebabnya mereka disebut Ada' Akkeke artinya anggota adat yang bertugas untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan urusan penggalian tanah khususnya menyangkut soal saluran air dan pengairan. Personilnya ialah : (1) Galla Ganta; (2) Galla Sangkala; (3) Galla Sapa; (4) Galla Bantalang; dan (5) Galla Batu Pajjara.
’Selain yang disebutkan di atas, masih ada lagi perangkat adat yang disebut Ada' Patambai cidong panroakki bicara pallabbui rurung. Anggotanya diambil dari delapan jenis profesi dan keahlian. Artinya, anggota kelompok ini adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan tertentu. Mereka itu ialah : (1) Laha Karaeng, yaitu bekas kepala distrik atau mantan Karaeng Kajang; (2) Laha Ada' yaitu mantan Gallarang (Mantan Kepala Desa); (3) Pattola Karaeng yaitu keluarga dekat pemerintahan yang sedang memerintah; (4) Pattola Ada' yaitu keluarga dekat pemangku adat atau pemimpin adat; (5) Tau Toa Pa'rasangeng, yaitu orang-orang terpandang dalam masyarakat; (6) Panrea, yaitu orang-orang yang memiliki keahlian dan keterampilan khusus seperti tukang kayu, pandai besi dan sebagainya; (7) Puahang, yaitu ketua kelompok nelayan yang memiliki perkumpulan nelayan yang disebut sero; dan (8) Uragi, yaitu ahli pertukangan kayu, khususnya dalam pembuatan rumah. Anggota-anggota tersebut tidak mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pemerintahan maupun dalam susunan adat. Karena itu, mereka itu hanya dikategorikan sebagai patambai cidong panroakki bicara pallabbui rurung. Artinya pelengkap orang yang duduk-duduk, turut meramaikan pembicaraan dan memperpanjang barisan.
Pasang ri Kajang tentang Pengelolaan dan Pelestarian Hutan Menyangkut hubungan manusia dengan alam, Pasang ri Kajang lebih banyak menitikberatkan pada pelestarian hutan. Pasang-pasang yang berhubungan dengan pelestarian hutan menurut Ibrahim (2001) tersaji pada Tabel 3.
Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan
Masyarakat Adat Kajang
Muh Dassir
141
Tabel 3. Pasang Tentang Pelestarian Hutan
No.
Pasang
Artinya
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jagai linoa lollong bonena kammayya tompa langika siagang rupa taua siagang boronga Nikasipalliangngi ammanra'-manrakia borong Anjo boronga iya kontaki bosiya nasaba konre mae pangairangnga iaminjo boronga nikua pangairang Punna nitabbangngi kajua riborongnga, nunipappirangnga Angngurangi bosi patanre timbusu. Nibicara pasang ri tau Ma’riolo Narie' kaloro battu riboronga, narie' timbusu battu rikajua na battu ri kalelengnga Boronga parallui nitallassi, erea battu ri kaloro lupayya Iyamintu akkiyo bosi anggenna ereya nipake a'lamung pare, ba'do appa'rie' timbusia Anjo tugasa'na Ammatoa nalarangngi annabbang kaju ri boronga. Iyaminjo nikua ada'tana Iyaminjo boronga kunne pusaka Talakullei nisambei kajua, iyato' minjo kaju timboa, talakullei nitambai nanikurangi borong karama, nilarangngi tauwa a,lamung-lamung riboronga, nasaba se're hattu larie' tau angngakui bate lamunna
Peliharalah bumi beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan Dilarang (kasipalli) dipantangkan merusak hutan Hutanlah yang mengundang hujan sebab disini tidak ada pengairan, maka hutanlah yang berfungsi sebagai pengairan karena mendatangkan hujan. Jika kayu dalam hutan ditebang, hujan akan berkurang dan mata air akan hilang (mengering). Demikian pesan orang terdahulu Adanya sungai berasal hutan, adanya mata air berasal dari pepohonan dan liana Hutan perlu dilestarikan karena air berasal dari sunagi-sungai kecil Dialah (hutan) yang mendatangkan hujan sehingga dapat digunakan untuk menanam padi, jagung dan menjadi mata air Tugas seorang Ammatoa yaitu melarang terjadinya penebangan kayu di hutan. Demikianlah hukum yang berlaku disini Hutan adalah pusaka kita Tidak diperkenankan mengganti jenis kayu di hutan adat, itu saja kayu yang tumbuh secara alami, tidak dapat ditambah dan dikurangi, dilarang adanya kegiatan menanam di hutan adat, sebab suatu waktu akan muncul pengakuan hak milik tanaman dalam hutan adat
Sumber : Ibrahim T, 2001
Pasang pertama menegaskan bahwa alam yang terbagi ke dalam tiga benua yaitu benua atas yaitu boting langi' (langit), benua tengah (tempat mahluk hidup termasuk manusia) disebut lino dan benua bawah disebut paratihi (lautan), merupakan satu kesatuan yang saling terikat antara satu dengan lainnya dan membentuk suatu sistem yang disebut dunia. Dalam suatu sistem, jika salah satu unsur dari sistem tersebut rusak atau tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya maka unsur-unsur lainnya juga akan terganggu dan tidak dapat berfungsi secara maksimal. Dengan kata lain, kerusakan salah satu unsur penyusunnya akan menyababkan kerusakan pada sistem tersebut.
Demikian pula halnya dengan dunia, jika salah satu unsur penyusunnya rusak mka unsur yang lain ikut menjadi rusak. Bumi dan segala isinya terutama manusia dan hutan harus dijaga. Manusia harus menjaga diri segala tindakan yang dapat merusak alam agar alam tetap lestari dan kepentingan manusia dapat terpenuhi. Sebagaimana telah disebutkan dalam pasang bahwa manusia harus menjaga empat anggota tubuhnya agar selamat di dunia dan akhirat yaitu menjaga mulut, menjaga tangan, menjaga mata dan menjaga langkah dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak alam dan mahluk hidup lainnya. Hutan harus dijaga kelestariannya karena kerusakan hutan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
142
di bumi, seperti terjadinya kekeringan, erosi, banjir, pemanasan global dan berbagai bentuk kerusakan lainnya yang pada akhirnya akan merugikan manusia. Akibatnya keseimbangan alam menjadi tidak stabil dan jika kerusakan hutan semakin parah, maka akan sangat sulit mengembalikannya ke kondisi semula sekalipun hutan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources). Pasang kedua menegaskan untuk tidak mengambil/merusak hutan (kayu, rotan dan binatangnya), mengeksploitasi hutan secara berlebihan, karena dapat menimbulkan banjir, keringnya sumber-sumber air serta rusaknya keseimbangan ekosistem. Jadi banjir, hilangnya sumber-sumber air (akibat pembabatan hutan) atau berkurangnya kesuburan tanah (akibat usaha intensifikasi lahan) adalah merupakan akibat dari perbuatan serakah manusia "tubakka teka'na" atau tidak kamase-masea. Pasang ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh menggambarkan fungsi hidrologis hutan sebagai pengatur tata air. Bahwa dengan hutan yang lestari dapat mendatangkan hujan dan membuat mata air tetap mengalir. Walaupun komunitas Ammatoa menyatakannya dalam bahasa yang sederhana, akan tetapi hal ini menunjukkan bahwa mereka sangat mengerti akan fungsi hutan. Kehidupan manusia akan menjadi lebih baik, karena dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa mengganggu keseimbangan ekologi dari alam. Dengan kesadaran akan fungsi hutan, masyarakat adat Ammatoa akan senantiasa menjaga kelestarian hutan. Jika tidak, mereka sendiri yang akan merasakan akibatnya. Akan terjadi kekeringan dan gagal panen, serta tidak dapat menjalankan aktivitas lainnya yang selalu dibahasakan oleh mereka "kehidupan akan hancur".
Pasang kedelapan dan kesembilan menegaskan pentingnya hutan bagi masarakat adat Ammatoa karena hutan dianggap sebagai pusaka sehingga tanggung jawab untuk menjaga hutan dipegang oleh Ammatoa. Dari ungkapan Pasang ri Kajang di atas tampak bahwa kekuasaan yang dipercayakan kepada pemegang kendali pemerintahan, bukanlah kekuasaan sewenang-wenang, tetapi kekuasaan harus diabdikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sikap pemegang kendali pemerintahan yang diberi amanah sangat menentukan terciptanya keharmonisan hubungan antara alam dan kehidupan manusia. Kejujuran yang dipegang teguh oleh pejabat pemerintah merupakan syarat mutlak untuk menjaga kelestraian alam dan lingkungan. Untuk itulah, Pasang ri Kajang mengingatkan kepada manusia, apakah ia sebagai pemegang kendali pemerintahan ataukah sebagai anggota adat agar senantiasa bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya dan saling mengingatkan dalam berbagai hal. Pasang terakhir menegaskan bahwa tidak boleh dilakukan penebangan maupun penanaman di hutan adat (Borong Karama'). Pepohonan yang ada didalamnya dibiarkan tumbuh dan mengalami suksesi alami. Dengan demikian nantinya tidak ada yang mengakui kepemilikan atas hutan secara pribadi. Hal ini juga berarti bahwa segala sesuatu yang sudah baku dari pemerintah ataupun adat, tidak boleh diganggu karena itu sudah ketentuan yang harus ditaati. Kepemilikan seseorang atas sesuatu barang atau jabatan, tidak boleh diganggu oleh orang lain karena itu sudah menjadi haknya. Pranata sosial Pengelolaan Hutan Adat Ammatoa
Suasana kehidupan masyarakat adat Ammatoa penuh dengan berbagai pantangan dan pemali. Mereka meyakini bahwa salah satu pemali yang harus dijaga kesakralannya adalah Pasang ri Kajang itu sendiri. Karenanya, Pasang ri
Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan
Masyarakat Adat Kajang
Muh Dassir
143
Kajang menurut keyakinan komunitas adat Ammatoa berisi kebenaran yang pantang unrtuk dirubah. Kebenaran yang terkandung di dalamnya berlaku sepanjang jaman. Beberapa pantangan dan pemali yang tidak boleh dilakukan di hutan adat Ammatoa yaitu larangan menebang pohon, mengambil rotan dan tali, menangkap udang dan ikan, memburu satwa di Borong Karama' dan mengganggu bani. Larangan-larangan tersebut dibarengi sanksi-sanksi adat sebagai berikut : 1. Babbala (cambuk) Babbala (cambuk) yang terbagi atas tiga tingkatan, yaitu : (1) poko' babbala, (2) tangnga babbala, dan (3) cappa babbala. Tindakan pelanggaran berat (poko' babbala-gagang cambuk) dihukum denda sebanyak 12 real atau 24 ohang (rupiah VOC), setara dengan Rp. 1.200.000,-. Pelanggaran sedang (tangnga babbala-tengah cambuk) dihukum denda sebesar 8 real atau 16 ohang, setara dengan Rp. 800.000,- dan pelanggaran ringan (cappa babbala-ujung cambuk) dihukum denda sebesar 4 real atau 8 ohang, setara dengan Rp. 400.000,-. Pada saat si pelanggar diadili, rapat dihadiri oleh para pemangku adat dan pemerintah, menerima denda yang dibayarkan oleh sipelanggar. Uang denda tersebut dibagikan kepada semua yang hadir dan semua orang hadir menjadi saksi. Menebang pohon tanpa izin Ammatoa digolongkan pelanggaran berat. Diizinkan menebang 1 (satu) pohon, tetapi yang ditebang 2 (dua) pohon, dikategorikan denda sedang, sementara menebang saja tetapi tidak mengambilnya dikategorikan denda ringan. 2. Attunu Panroli (Pembakaran Linggis)
Upacara pembakaran linggis ini bertujuan untuk mengetahui siapa yang jujur di antara masyarakat adat Ammatoa. Apabila linggis yang dibakar telah merah menyala, yang memimpin upacara tersebut memperlihatkan kepada hadirin bahwa yang memegang linggis tersebut tidak terbakar jika memang ia benar. Sesudah itu, Ammatoa bersama perangkat adat lainnya memerintahkan kepada semua yang hadir untuk memegang linggis yang memerah karena panas tersebut. Siapa diantara mereka yang benar dan jujur, pasti ia tidak merasakan panasnya linggis tersebut. Sebaliknya siapa yang curang, tidak jujur, akan terbakar. Dengan cara itu, orang yang melakukan pelanggaran akan mengakui kesalahannya atau kebohongan yang dipegangnya selama ini. Kasus seperti ini jika dilihat dari sudut ilmu jiwa, menunjukkan bahwa seseorang ketika berhadapan dengan tokoh yang memiliki kekuasaan penuh (full power) lagi dijamin keteguhan dan kejujurannya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, seperti tokoh adat Ammatoa, nyalinya menciut jika memang ia berbohong. Karena itu, upacara attunu panroli, sesungguhnya linggis yang dibakar itu memang akan membakar orang yang memegangnya, apabila ia salah dan apabila benar, maka linggis tersebut tidak akan membakarnya. Cuma orang yang bersalah berpikir, lebih baik mengakui kekeiruannya, daripada harus menanggung resiko yang lebih besar. 3. Attunu Passau (Pembakaran Passau) Apabila pelaku pelanggaran tidak hadir pada saat upacara penjatuhan hukuman karena ingin menghindari hukuman atau ingin melarikan diri ke daerah lain, maka Ammatoa bersama pemangku adat lainnya melakukan upacara pembakaran passau (attunu passau).
Passau diambil dari sarang lebah, disimpan di rumah Ammatoa 5 hari sebelum dibakar untuk didinginkan dan diberi mantera-mantera. Passau
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
144
tersebut dibakar ditempat terjadinya pelanggaran dan berlaku selama tiga bulan sejak passau dibakar. Komunitas Ammatoa meyakini bahwa selama passau masih ditiup oleh angin, maka sipelanggar pasti tidak dapat menghindar walaupun bersembunyi di langit ataupun ke perut bumi. Pelaku yang dikenakan passau akan memperoleh sanksi yang sakral seperti perut membengkak, terjangkit penyakit kusta, nipa'loha (lupa ingatan), yang tidak dapat sembuh hingga mengalami kematian. Dari hasil wawancara dengan pemangku adat dan masyarakat setempat mengatakan bahwa akibat dari passau sudah banyak terbukti dan hal inilah yang membuat komunitas Ammatoa sangat takut melakukan pelanggaran terutama di dalam hutan. Seseorang yang memberi keterangan palsu atau mengetahui adanya pelanggaran tetapi tidak bersedia menjadi saksi juga dikenakan "attunu passau" karena dianggap telah bersekongkol dengan pelaku. Selain dikenakan passau, pelanggar juga dikenakan hukuman "pengucilan dari pergaulan yang dianggap sebagai "lampabangngi" (babi) dan turi' (kera).
Komunitas Ammatoa dengan prinsip hidup kamase-masea memandang hutan sebagai aset yang sangat berharga dalam kehidupannya dan harus dilindungi. Untuk itu, dalam pengelolaan hutan komunitas selalu berpedoman terhadap "Pasang ri Kajang" dan mempertegas larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan di dalam hutan. Larangan-larangan adat yang tidak boleh dilakukan di hutan adalah sebagai berikut : 1. Larangan mengambil hasil hutan di Hutan Keramat (Borong Karama') seperti menebang kayu (anna'bang kaju), mengambil rotan (uhe), tali (kaleleng), menangkap udang dan ikan, memetik daun, bunga, ranting dan cabang pohon. Bahkan terlarang (kasipalli) mencabut rumput dan mengambil kayu yang tumbang. Jika seseorang melihat rotan yang menjalar keluar dari hutan maka harus dijalarkan kembali ke hutan. Sedangkan di Borong Battasayya dibolehkan menebang pohon atas persetujuan Ammatoa, tetapi larangan lainnya tetap berlaku sebagaimana di Borong Karama'.
2. Larangan memburu satwa liar di dalam hutan kecuali jika satwa tersebut memasuki pemukiman, sawah atau kebun warga, maka satwa tersebut boleh ditangkap atau dibunuh. Larangan ini berlaku di dalam kawasan Tana Kamase - masea maupun di Tana Kuasayya. 3. Larangan mengganggu lebah (bani, manu'-manu'). Khusus untuk lebah (bani, manu'-manu'), kasipalli atau terlarang diganggu walaupun bersarang di kolong rumah. Menurut penuturan Amma Galla, perlakuan khusus yang diberikan kepada manu'-manu' (bani, lebah) karena adanya keyakinan bahwa : a. Sebagai jagawana yang diharapkan bisa mejaga hutan dari gangguan manusia, b. Manusia dan lebah bersaudara karena keberadaannya di dunia bersamaan dengan keberadaannya manusia pertama, c. Menjadi contoh bagi manusia dalam ketekunannnya berusaha dan kejujurannya melaksanakan tugas, d. Hanya memakan (mengisap) yang baik-baik saja, e. Menyerang hanya kalau diganggu, dan f. Membantu para pejuang dahulu dalam menghadapi penjajah.
Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan
Masyarakat Adat Kajang
Muh Dassir
145
Pemanfaatan hutan oleh komuitas adat keperluan rumah tangga. Selain itu, pemanfaatan yang sangat penting adalah sebagai tempat pelaksanaan upacara adat (ritual ceremony) dan benda-benda yang dikeramatkan tidak terganggu. Pemanfaatan hutan secara langsung baik berupa kayu maupun non kayu belum dirasakan oleh Komunitas Ammatoa. Untuk bangunan rumah, sebagian dari mereka membeli kayu dari Sulawesi Tenggara dan dari kebun. Hanya warga yang benar-benar tidak punya kayu di kebunnya dan tidak mampu beli yang meminta kayu kepada adat. Pengambilan kayu di Borong Battasayya dengan persetujuan Ammatoa, sudah ditutup sewaktu Abdul Kahar Muslim menjabat sebagai kepala Desa Tana Toa (sekarang dijabat oleh Abdul Salam, mantan Sekretaris Desa) dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Trauma dengan kondisi hutan yang pernah dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba, yang hampir seluruhnya dijadikan kebun. Ammatoa dan pemangku adat lainnya khawatir, apabila izin penebangan kayu di Borong Battasayya tetap dibuka maka pohon-pohon di hutan tersebut akan
habis dan secara perlahan akan mengikis masuk ke dalam Borong Karama', sehingga kondisinya akan sama dengan hutan yang pernah dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba.
2. Dari tahun ke tahun penduduk semakin bertambah yang berarti akan semakin banyak pula yang membutuhkan kayu. Setelah penebangan kayu di Hutan Perbatasan (Borong Battasayya) ditutup, maka pengambilan kayu dialihkan ke Borong Luarayya yang prosedurnya sama dengan pengambilan kayu di Borong Battasayya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa masyarakat setempat, walaupun diizinkan menebang kayu di Borong Luarayya, tapi sangat sedikit dari anggota komunitas Ammatoa yang
meminta kayu kepada adat karena adanya prosedur yang harus dilakukan dan ditaati. Selain itu, sebagian besar dari mereka dapat memenuhi kebutuhan kayunya dari kebun. Jika tidak dapat diperoleh dari kebun, mereka lebih memilih
untuk membeli di tempat lain seperti dari Sulawesi Tenggara.
Menurut Ammatoa, Hutan Keramat (Borong Karama') seluruhnya sudah dipassaui (dibacakan mantra-mantra) untuk menjaga hutan. Sehingga untuk memetik daun saja dipinggir hutan, komunitas adat Ammatoa takut untuk melakukannya apalagi untuk menebang pohon atau mengambil rotan karena takut akan sanksi sakralnya. Daun ataupun tangkai boleh diambil apabila orang tersebut benar-benar membutuhkannya seperti peneliti yang membutuhkan sampel daun untuk diiidentifikasi dengan syarat harus mendapat izin dari Ammatoa. Penebangan pohon dan mengambil rotan di Hutan Keramat (Borong Karama') hanya diperbolehkan untuk keperluan upacara adat di dalam Borong Karama'.
Dari hasil wawancara dengan masyarakat setempat, komunitas tidak mengambil kayu di hutan keramat (Borong Karama') karena alasan-alasan sebagai berikut :
1. Dilarang oleh adat dan komunitas Ammatoa dan harus taat kepada aturan adat;
2. Takut kena passau;
3. Agar kebutuhan mereka terhadap air dapat terpenuhi sepanjang waktu.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam peraturan adat, dibolehkan mengambil kayu di
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
146
kawasan Hutan Perbatasan (Borong Battasayya) atas izin Ammatoa. Jenis dan ukuran kayu yang boleh diambil ditentukan oleh Ammatoa. Pengambilan kayu di Borong Battasayya hanya dibolehkan untuk tujuan : 1. Membangun sarana umum, seperti sekolah, rumah adat, rumah ibadah, dan sebagainya. 2. Membangun rumah. Ini berlaku untuk masyarakat yang benar-benar tidak mampu. Artinya orang tersebut tidak dapat memperoleh kayu dari kebunnya ataupun membeli kayu dari tempat lain, sementara dia sangat membutuhkan kayu untuk membangun rumah. Sebelum pengambilan kayu dilakukan, maka orang yang bersangkutan terlebih dahulu harus menanam dua pohon sejenis dengan pohon yang akan diambil di lokasi yang ditentukan oleh Ammatoa untuk setiap pengambilan satu jenis pohon. Setelah pohon pengganti tumbuh dengan baik maka penebangan boleh dilakukan. Proses pengambilan kayu disaksikan oleh Amma Galla (Galla Puto) dan Galla Lombo untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran, baik dalam hal jumlah, ukuran, jenis dan lokasi pengambilan kayu maupun pada saat proses penebangan dan pengeluaran kayu dari hutan. Alat yang digunakan untuk menebang kayu harus alat tradisional berupa kampak (pangkulu') atau parang. Dilarang menggunakan mesin chain saw karena bertentangan dengan pasang. Kayu yang ditebang harus dikeluarkan dari hutan dengan cara diangkat atau digotong, tidak boleh ditarik karena akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada tanaman lain. Jika itu dilakukan, maka orang tersebut akan dikenakan sanksi adat. Adapun prosedur pengambilan kayu di Borong Battasayya (hutan perbatasan) adalah sebagai berikut : 1. Masyarakat yang membutuhkan kayu menyampaikan ke Galla Puto; 2. Galla Puto melaporkan hal ini kepada Ammatoa; 3. Keputusan boleh atau tidak orang tersebut mengambil kayu ditetapkan oleh Ammatoa dengan mempertimbangkan tujuan, jumlah, ukuran, serta jenis kayu yang diminta; 4. Setelah mendapat izin penebangan kayu dari Ammatoa, Galla Puto dan Galla Lombo mengecek lokasi yang telah ditentukan dan memeriksa ketersediaan kayunya; 5. Proses penebangan kayu sampai kayu dikeluarkan dari hutan disaksikan oleh Galla Puto dan Galla Lombo untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran.
KESIMPULAN
1. Masyarakat adat Ammatoa sangat menyadari akan pentingnya kelestarian hutan bagi kehidupan mereka, karena selain berfungsi sebagai pengatur tata air (ekologis), juga sebagai tempat pelaksanaan upacara adat yang diyakini sebagai tempat turun-naiknya manusia pertama (Tau Mariolo) dan arwah manusia. Kelestarian hutan adat Ammatoa tetap terjaga karena adanya nilai-nilai yang terkandung dalam Pasang ri Kajang yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat adat yang tercermin dalam pola hidup sederhana dan bersahaja 2. Struktur kelembagaan adat Ammatoa dikenal sebagai appa’ persuteraan alam’gentunna tanaya na pattungkulu’na langi’ (empat penggantung bumi dan penopang langit) yaitu : (a). Ada’ yang harus tegas (gattang); (b). Karaeng yang harus menegakkan kejujuran (lambusu), (c). Sanro (dukun) yang harus pasrah (apisona); dan (d). Guru yang sabar (sa’bara).
Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan
Masyarakat Adat Kajang
Muh Dassir
147
3. Kawasan hutan adat Tana Toa dibagi menjadi tiga zona, yaitu Borong Karama’ (zona inti), Borong Battasayya (zona kedua) dan Borong Luarayya (zona ketiga).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, 2000. Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Ammatoa dalam Menghadapi Pengaruh Budaya Luar. Skripsi Fakultas Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin, Makassar. Akib, Y., 2003. Potret Manusia Kajang. Pustaka Refleksi, Makassar. Departemen Kehutanan, 1999. Undang – Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Departemen Kehutanan, Jakarta. Ibrahim, Tamsil., 2001. Pasang (Studi Kelembagaan yang Menunjang Pelestarian Sumberdaya Hutan di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan). Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Katu, Samiang., 2000. Pasang ri Kajang (Kajian tentang Akomodasi Islam dengan Budaya Lokal di Sulawesi Selatan). Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Syarif Hidayatullah, Makassar. Koentjaraningrat, 1965. Pengantar Antropologi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Nababan, A., 2002. Revitalisasi Hukum Adat Untuk Menghentikan Penebangan Hutan Secara Ilegal di Indonesia. Forest Law Enforcement and Governance – East Asia : A Ministerial Conference, Denpasar, Indonesia, dan “EC-Forest Law Enforcement, Governance and Trade”, Brussels. Sallatang, A., 1965. Penjasadan Pasang dalam Masyarakat Kajang. Skripsi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar. Salle, K., 1999. Kearifan Lingkungan Menurut Pasang (Sebuah Kajian Hukum Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatoa). Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Sirajuddin, M., 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Grafindo Persada, Jakarta. Soekanto, S., 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Zakaria, R. Yando, 1997. Mempertimbangkan Keberadaan Masyarakat Adat dalam Jurnal Komunity Forestry. Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
Naskah Masuk : 18 Mei 2008
Naskah Diterima : 6 Juli 2008
149
DINAMIKA KELOMPOK TANI PADA KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS BILA WALANAE DESA LASIWALA KABUPATEN SIDRAP Abd. Wahid Staf Pengajar Fakultas Teknik Universitas Tadulako ABSTRACT This research aims to detect farmer group dynamics in forest rehabilitation program execution and tune (RHL) at village lasiwala district pitu riawa regency sidenreng rappang. this research is done in march until may month 2007 at village lasiwala district pitu riawa regency sidrap. This values is seen from dynamics elements in activity rhl that cover; aim, confidence, norm, authority, sanction, part, social stage, and group facilities. openness, character with in execution rhl also be strengths in achieve group aim. therefore, all farmer group members at lasiwala village obedient towards rules that composed in ad/art. menamisnya third farmer group at village lasiwala visible from plantss every farmer group, for example; gmelina, jambu mete, mango, candlenut, brown, and breadfruit that grow well. Key words : Dynamics, farmer group
PENDAHULUAN Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi hutan yang mengalami degradasi. Kegiatan ini sangat strategis karena dengan menanami lahan-lahan yang tidak produktif akan mengembalikan fungsi dan produktifitas hutan, sehingga dapat memberikan manfaat baik langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan. Disamping itu, keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan juga dapat mengurangi tekanan terhadap hutan yang saat ini cenderung mengalami peningkatan.
Banjir di Desa Lasiwala terjadi hampir setiap tahun dan menggenangi lahan persawahan masyarakat seperti halnya yang terjadi tanggal 26 Juni 2007, termasuk jalanan antar kabupaten Wajo-Sidrap digenangi air selama 3 hari. Sebaliknya pada musim kemarau setiap tahunnya juga terjadi kekeringan dan terjadi gagal panen dengan luasan sekitar 325 Ha yang mana mengakibatkan pendapatan masyarakat menurun. Permasalahan tersebut menurut penuturan Kepala Desa Lasiwala, hal ini disebabkan tingginya tingkat sedimentasi di Danau Tempe yang mengalami pendangkalan rata-rata satu cm/tahun. Untuk menanggulangi masalah tersebut pemerintah telah melakukan upaya rehabilitasi hutan di antaranya program reboisasi pada tahun 2000 dan GNRHL yang dimulai pada tahun 2003 sampai 2005 dengan kegiatan penanaman yang di laksanakan pada lahan-lahan kritis di berbagai Dusun di Desa Lasiwala Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap.
Rendahnya kerjasama antar kelompok tani dengan masyarakat di Desa Lasiwala dapat berakibat terhadap keselamatan nilai fungsi hutan, yang mana mempengaruhi ekosistem di
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
150
dalamnya. Langkah awal untuk mengenal lebih jauh tentang hubungan kelompok tani dengan masyarakat tersebut adalah melihat “Dinamika Kelompok Tani Dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Desa Lasiwala Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap”. Penelitian ini bertujuan : Untuk mengetahui Dinamika kelompok tani pada pelaksanaan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai informasi dan bahan pertimbangan dalam penyusunan program RHL di masa yang akan datang di Desa Lasiwala Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Maret sampai dengan Mei 2007. Pelaksanaan penelitan ini dilakukan di Desa, Lasiwala Kecamatan Pitu Riawa, Kabupaten Sidenreng Rappang, Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan responden dilakukan secara purposife sampling dengan memilih 10 orang responden di tiga kelompok tani atau sebanyak 30 orang responden. Kriteria responden yang dipilih ; a) Kelompok Tani RHL, b) Penduduk asli yang berdomisili sejak kecil hingga sekarang pada lokasi penelitian, c) Mempunyai pekerjaan sebagai petani, d) Tokoh masyarakat pada desa penelitian, e) Masyarakat biasa pada desa penelitian. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data 1. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan penulusuran data sekunder.
a. Wawancara mendalam
Pengumpulan data dilakukan dengan tanya-jawab terhadap masyarakat untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan kegiatan RHL. Wawancara ini bertujuan untuk menggali informasi sebanyak mungkin mengenai kegiatan RHL di Desa Lasiwala dengan pendekatan life history. Metode life history (riwayat hidup) digunakan untuk memperoleh pandangan dari dalam melalui reaksi, tantangan, interpretasi dan penglihatan para anggota kelompok tani bersangkutan. Dengan mempelajari data pengalaman individu dalam kehidupan suatu kelompok, kita dapat memperoleh informasi secara detail dari responden. Data pengalaman individu yang dimaksud adalah keterangan mengenai apa yang telah dialami oleh informan sebagai warga dari suatu kelompok masyarakat dalam kegiatan RHL.
b. Penelusuran Data Sekunder
Penelusuran Data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan studi dokumentasi pada instansi atau lembaga yang terkait seperti Kantor Statistik Kabupaten Sidrap, Dinas Kehutanan Sidrap,Dinas Pertanian Sidrap, Kantor Kecamatan Pitu Riawa, Kantor Desa Lasiwala. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan petani sampel dengan
Dinamika Kelompok Tani Pada Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Di Das Bila Walanae Desa
Lasiwala Kabupaten Sidrap
Abd. Wahid
151
menggunakan daftar pertanyaan yang disiapkan sebelumnya. Data primer yang dikumpul adalah data yang berkaitan dengan unsur-unsur dinamika kelompok tani yang meliputi :
1) Tujuan kelompok, yaitu segala sesuatu yang ingin dicapai oleh kelompok.
2) Keyakinan, yaitu pengatahuan atau aspek kognitif yang dimiliki oleh sistem atau kelompok atau segala sesuatu yang di anggap benar oleh sistem atau kelompok.
3) Norma, yaitu perilaku standar yang dapat diterima oleh sistem atau kelompok.
4) Sanksi, yaitu sistem penghargaan atau hukumanterhadap perilaku kelompok atau anggota kelompok.
5) Peranan kedudukan, yaitu hirarki hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh komponen kelompok karena menempati posisi tertentudalam kelompok. Setiap kedudukan memiliki seperangkat peranan yang harus dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan.
6) Kewenangan, yaitu menyangkut kewenangan mengontrol orang lain dan kewenangan mengambil keputusan.
7) Jenjang sosial, yakni segala sesuatu yang menyangkut kedudukan dalam kelompok serta prestasi yang menyertai.
8) Fasilitas menyangkut wahana ataupun alat yang perlu untuk mencapai tujuan kelompok.
Pengumpulan data sekunder dapat diperoleh dari laporan atau hasil penelitian, data desa, kecamatan serta data dari instansi-instansi lain yang terkait dengan penelitian ini.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dari hasil pengumpulan data. Analisis ini akan mendeskripsikan kegiatan kelompok tani yang dikaitkan dengan unsur-unsur dinamika kelompok. Analisis deskriptif diperlukan untuk menjabarkan dengan rinci, jelas dan akurat dalam melihat dinamika kelompok tani dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
152
HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Kelompok Tani Struktur kelompok yaitu pengorganisasian dan pengaturan kelompok dalam upaya pencapaian tujuan. Kelompok Tani Mase-Mase, Kelompok Tani Sipaturue dan Kelompok Tani Bulu Dua sejak awalnya pembentukannya sampai sekarang memiliki sturuktur yang tidak pernah berubah yakni terdiri dari tiga orang pengurus (Ketua, sekertaris dan bendahara). Pemilihan pengurus kelompok tani selalu didasari hasil dari musyawarah mufakat oleh para anggota kelompok. Perbedaan status dalam kelompok tidak merubah asas kegotongroyongan dan kekeluargaan dalam ketiga kelompok tani di Desa Lasiwala Kabupaten Sidrap. Seorang ketua tetap berjalan sesuai anggaran dasar rumah tangga yang mana telah di sepakati bersama dalam rapat anggota. Begitu pula pemegang status lainnya yang juga tetap berjalan berdasarkan AD/ART tiap kelompok. Sikap seorang ketua sebagai panutan tidak terpengaruh oleh adanya perbedan umur, tingkat pendidikan, ataupun hubungan keluarga. Pemilihan pengurus kelompok tani sebenarnya lebih diperhatikan kepada sejauh mana orang tersebut berpengaruh terhadap orang lain. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan pengurus setiap kelompok tani dalam masyarakat yang bukan sekedar petani. Mereka semua adalah orang-orang yang di hormati dan disegani di Desa Lasiwala.
Dalam lingkungan masyarakat pedesaan selalu terdapat orang-orang tertentu baik petani atau bukan petani yang berpengaruh. Mereka disegani oleh anggota masyarakat lainnya karena kedudukan sosial (pejabat, kaya), karena kepribadian(jagoan, ahli agama), atau karena keberhasilannya dalam kegiatan yang ditanganinya. Orang-orang tersebut biasa disebut pemuka desa, tokoh masyarakat, pemimpin desa, dsb (Todaro, 1994). Selama terbentuknya ketiga kelompok ini, belum pernah mengalami pergantian kepengurusan. Ketua Kelompok Tani Mase-mase dan Kelompok Tani Bulu Dua yang meskipun sudah berumur tua tetap dipertahankan untuk menggerakkan kelompoknya, Hal ini disebabkan karena ketua dan pengurus lainnya masih dianggap mampu dalam mengembangkan kelompok taninya masing-masing. Sebenarnya jika pengurus meminta untuk digantikan, anggota kelompok berkumpul dalam suatu acara Tudang Sipulung yang merupakan salah satu bentuk wadah musyawarah membahas masalah pergantian kepengurusan tersebut. Lamanya menjabat seorang ketua kelompok tani sebagai seorang pemimpin juga ditentukan oleh bentuk kepemimpinan serta gaya kepemimpinan yang dijalankan ketua kelompok tani tersebut. Bentuk kepemimpinan ketua kelompok tani yang dijalankan oleh ketua-ketua kelompok tani baik dari Kelompok Tani Sipaturue, Kelompok Tani Mase-mase, dan Kelompok Tani Bulu Dua merupakan bentuk kepemimpinan karismatik dan bentuk kepemimpinan popularitas. Kepemimpinan karismatik adalah suatu bentuk kepemimpinan yang diangkat berdasarkan kepercayaan yang datang dari lingkungannya (Max Weber dalam Santosa, 2004). Sedangkan bentuk kepemimpinan popularitas menurut Whyte dalam Santosa (2004) adalah suatu bentuk kepemimpinan yang diangkat pimpinannya diangkat atas dasar kepopuleran (banyaknya menerima pilihan dari pemilihnya).
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa pemilihan pengurus kelompok tani selalu didasarkan atas mufakat hasil pemilihan oleh para anggota kelompok tani dalam sebuah
Dinamika Kelompok Tani Pada Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Di Das Bila Walanae Desa
Lasiwala Kabupaten Sidrap
Abd. Wahid
153
musyawarah. Ketua-ketua kelompok tani yang terpilih dari awal terbentuknya hingga saat ini, semuanya merupakan tokoh masyarakat yang populer serta memiliki tingkat kepercayaan dari masyarakat yang tinggi di Desa Lasiwala. Blue dan Mounton dalam Munir (2001), membagi Gaya Kepemimpinan ke dalam lima gaya, yaitu :
a. Gaya Tandus atau manajemen lumpuh (invrovished), merupakan gaya kepemimpinan yang rendah orientasi tugas, dan rendah orientasinya pada hubungan antar anggota.
b. Gaya Klub atau manajemen hubungan manusia (country club), merupakan gaya kepemimpinan yang rendah orientasi tugas, tapi tinggi orientasinya pada pemeliharaan hubungan antar anggota.
c. Gaya Tugas atau manajemen otoriter/manajemen efisiensi (task), merupakan gaya kepemimpinan yang tinggi orientasi tugas, namun rendah orientasinya pada pemeliharaan hubungan antar anggota.
d. Gaya Tin atau manajemen demokratis (team), merupakan gaya kepemimpinan yang tinggi orientasi tugas, dan tinggi pula orientasinya pada pemeliharaan hubungan antar anggota.
e. Gaya Jalan Tengah atau manajemen hasil karya (middle of the road), merupakan gaya kepemimpinan yang seimbang antaraorientasi tugas dan orientasi pemeliharaan hubungan.
Gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh ketua kelompok tani baik Kelompok Tani Sipaturue, Kelompok Tani Mase-mase, dan Kelompok Tani Bulu Dua adalah gaya kepemimpinan jalan tengah, gaya yang seimbang anatara orientasi tugas dan orientasi pemeliharaan hubungan. Ketua-ketua kelompok dalam menjalankan tugasnya selalu membina hubungan baik antara ketua dengan anggota, pengurus dengan anggota.
Keanggotaan Kelompok Tani
Keanggotaan dihimpun masyarakat tani yang ada di sekitar lokasi untuk menjadi anggota dan setiap anggota harus patuh kepada aturan yang telah diberlakukan dan apabila ada anggota yang melanggar dari aturan tersebut, maka ada proses pemberhentian yang akan dilakuka oleh kelompok tani melalui rapat anggota. Motivasi utama keikutsertaan petani untuk berkelompok sebagai anggota kelompok tani terutama didorong oleh hasrat meningkatkan kemampuan berusaha tani, serta untuk meningkatkan pendapatan mereka. Kelompok Tani Sipaturue berdiri pada tahun 2000 dengan jumlah anggota 83 orang termasuk tiga orang pengurus mengelola lahan seluas ± 80 ha, Kelompok Tani Mase-mase berdiri pada 19 Juli 2000 beranggotakan 83 orang termasuk tiga pengurus mengelolah lahan seluas 50 ha, sedangkan Kelompok Tani Bulu Dua berdiri 23 Agustus 2000 beranggotakan 86 orang dengan luas lahan ± 120 ha. Dalam kepengurusan ketiga kelompok ini pada dasarnya ada beberapa kriteria untuk menjadi anggota, yaitu :
a. Mau bekerja keras dan bekerjasama
b. Ada keinginan untuk berkembang/maju
c. Mematuhi perturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis
d. Melakukan pekerjaan di lokasi Lasiwala
Dengan kriteria ini, anggota menperoleh keyakinan sebagai sebuah kelompok, mereka mempunyai tujuan yang sama. Setiap saat, anggota yang berhenti bertani di lokasi tersebut akan keluar dari kelompok sehingga sering da
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
154
pergantian anggota. Petani yang berhenti berkelompok biasanya di sebabkan karena usia lanjut sehingga tidak dapat lagi bekerja keras akibat sakit-sakitan, pindah daerah, pinda pekerjaan, dan perkawinan. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketiga ketua kelompok tani di Desa Lasiwala mengemukan bahwa semua penduduk yang yang ada di desa dan termasuk anggota kelompok pada khususnya masih mempunyai hubungan kekerabtan. Hal ini berarti, semua anggota kelompok tani juga adalah satu kerabat begitupun antar anggota kelompok tani. Dengan adanya hubungan kekerabatan tersebut, menyebabkan komunikasi baik antar anggota kelompok maupun antar kelompok tani selalu berjalan dengan baik. Hak dan kewajiban seorang anggota kelompok tani juga harus anggota perhatikan. Berikut adalah hak-hak seorang anggota kelompok tani:
a. Setiap anggota berhak bicara dan menyampaikan usul, hal ini telah dilakukan oleh ketiga kelompok tani di Desa Lasiwala.
b. Setiap anggota mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Kelompok Tani Bulu Dua misalnya, di tahun 2004 telah dilakukan pemilihan ketua baru, tetapi semua anggota Kelompok Tani Bulu Dua masih mengangkat ketua lama tetap tepilih. Semua anggota Kelompok Tani Bulu Dua beralasan bahwa mereka masih butuh figur seorang Haji Puang Hasan Gani.
c. Setiap anggota mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan. Anggota kelompok tani berhak meminjam an memelihara barang-barang inventaris kelompok. Ini
adalah salah satu bentuk pelayanan ketiga kelompok tani.
d. Setiap anggota mempunyai hak untuk menapatkan pendidikan dan pelatihan. Lembaga Peemberdayaan Pedesaan Indonesia (LPPI) misalnya, telah melakukan beberapa kali pelatihan kepada para anggota kelompok tani di Desa Lasiwala.
e. Setiap anggota kelompok tani berhak memperoleh informasi. Perolehan informasi didapatkan dalam musyawarah seperti halnya yang terjadi di ketiga kelompok tani di Desa Lasiwala.
f. Setiap anggota berhak untuk menelaah pembukuan saat Rapat Anggota. Semua anggota juga berhak mengetahui keuangan yang masuk dan keluar di dalam kelompok tani. Kelompok Tani Bulu Dua contohnya, setiap akhir tahun mengadakan rapat keuangan selama satu tahun. Kelompok Tani Mase-mase mengadakan musyawarah tentang perbaikan saluiran air yang tentunya memelukan dana untuk pembelian gorong-gorong.
Kewajiban setiap anggota kelompok tani yaitu menjunjung tinggi nama dan kehormatan kelompok tani. Semua anggota wajib mematuhi aturan-aturan yang berlaku sesuai dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga kelompok tani.
Komunikasi yang jelas antar anggota dalam satu kelompok tani maupun antar anggota dengan kelompok yang berbeda, menimbulkan terjalinnya kejasama yang mantap sehingga tujuan berkelompok dapat tercapai, misalnya, kerjasama dalam pembukan lahan, pemagaran, penyiangan dll. Anggota Kelompok Tani Sipaturue, Kelompok Tani Mase-mase, dan Kelompok Tani Bulu Dua sadar bahwa dengan bekerjasama, ada beberapa keuntungan yang dapat
Dinamika Kelompok Tani Pada Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Di Das Bila Walanae Desa
Lasiwala Kabupaten Sidrap
Abd. Wahid
155
mereka petik selain memperingan pekerjaan yang harus mereka pikul juga dapt menghemat tenaga dan pikiran. Fasilitas Kelompok Pertemuan dan diskusi lainnya diadakan di pondok kerja yang merupakan fasilitas-fasilitas kelompok tani. Dalam pertemuan-pertemuan ini, para anggota kelompok tani berkumpul untuk menerima informasi-informasi baru guna mengembangkan kelompok taninya masing-masing. Pertemuan besar misalnya pada tanggal 20 Mei 2007, di pondok kerja Kelompok Tani Mase-mase yang dihadiri tiga kelompok tani di Desa Lasiwala dan 4 Dinas di Kabupaten Sidrap. Alasan memilih tempat di lokasi tersebut adalah tempatnya yang strategis, akses jalan baik, dan penataan pondok kerja milik Haji Abu Nawas sangat baik dan lengkap serta pemandangan yang enak dipandang mata. Dinas yang hadir pada saat itu adalah Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, dan Dinas Kehutanan sendiri. Pertemuan ini tidak terlalu menekankan tentang bagaimana mengembangkan kelompok tani seperti biasanya, melainkan selain sebagai wadah dalam membicarakan perkebunan tebu yang akan diadakan di beberapa lokasi yang mana sebagian lahan penanaman tanaman kehutanan juga menjadi areal penanaman tanaman tebu. Di samping itu, pertemuan ini juga merupakan kegiatan refresing bagi pegawai-pegawai dinas di Sidrap. Keterbukaan
Keterbukaan merupakan kekuatan anggota setaiap kelompok tani dalam menyatakan keinginan dan kebutuhan secara terus terang. Dalam anggaran dasar kelompok tani terdapat hak dan kewajiban anggota yang mengatakan bahwa :
1. Setiap anggota berhak berbicara dan menyampaikan usul
2. Setiap anggota berhak untuk memilih dan dipilih
3. Setiap anggota berhak untuk memperoleh pelayanan
4. Setiap anggota berhak mendapatkan pendidikan dan pelatihan
5. Setiap anggota berhak untuk memperoleh informasi
6. Setiap anggota berhak untuk menelaah pembukuan pada saat rapat anggota atau rapat yang dilaksanakan untuk itu.
Implementasi penggunaan hak anggota seperti yang tertera di atas dapat kita lihat dari banyak pertemuan-pertemuan kelompok yang telah di lakukan oleh masing-masing kelompok tani. Hal ini menandakan bahwa penerapan tentang hak semua anggota terlaksan dengan baik tampa ada batasan dalam penggunaannya. Kewajiban seorang anggota kelompok tani adalah menjaga nama baik kelompok. Tumbuh dan berkembangnya kelompok tani dalam masyarakat, pada dasarnya karena adanya kepentingan bersama, sedangkan kelompok ini tergantung pada pengikat antara anggota yang dapat menciptakan keakraban individu-individu yang menjadi anggota kelompok. Faktor pengikat yang paling umum dan penting adalah keterbukaan antara pengurus dengan anggota dan anggota dengan anggota lainnya sehingga tercipta keakraban dalam kehidupan berkelompok. Peran Serta
Peran serta membahas tentang peran serta dan sumbang saran semua
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
156
anggota. Sejak tahun 2000 anggota kelompok tani telah berperan serta dalam melakukan kegiatan mereka. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi anggota untuk ikut dalam rapat /pertemuan dan kerja-kerja kelompok yang dilakukan kelompok. Dalam kelompok ini semua anggota dapat memberikan ide, saran, dan pendapatnya dan pemikiran mereka sebelum melakukan kegiatan sehingga semua kegiatan akan dilakukan melalui suatu perencanaan yang melibatkan semua anggota. Azas dalam bekerjanya pun gotong royong dan kekeluargaan. Peran serta anggota tiap kelompok tani termasuk tinggi karena partisipasi dalam berbagai pertemuan dan kegiatan yang telah dilakukan oleh anggota baik secara gotong royong maupun secara sendiri-sendiri. Nilai yang menonjol dalam kegiatan RHL Sifat lokal yang mendominasi dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan adalah kegotongroyongan, kebersamaan, dan kekeluargaan. Nilai-nilai yang menonjol dalam kegiatan RH. KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bagian hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hubungan antara pengurus kelompok tani dengan instansi-instansi terkait dalam hal pelaksanaan kegiatan reboasasi hutan dan lahan (RHL) oleh anggotanya sangat berpengaruh terhadap dinamika kelompok.
2. Kegotong-royongan, kekeluargaan, dan kebersamaan merupakan nilai-nilai yang menonjol dalam kelompok tani RHL.
3. Kegiatan penyuluhan dan pendampingan dari Instansi terkait perlu diintensifkan untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) kelompok tani.
4. Pengelokasian dana reboasasi hutan dan lahan dari Instansi terkait diharapkan turun tepat waktu untuk pemeliharaan tanaman.
Dinamika Kelompok Tani Pada Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Di Das Bila Walanae Desa
Lasiwala Kabupaten Sidrap
Abd. Wahid
157
DAFTAR PUSTAKA Adjid, D.A. 1985. Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan dalam Pembangunan Berencana. Orba Sakti, Bandung. Arif, Mirriam Sofyan. 1986. Organisasi dan Managemen. Universitas Terbuka, Karunia, Jakarta. Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. _______. 2002. Hidrologi dan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gadjah Mada. University Press, Bulaksumur, Yogyakarta. Beddu, Dahlan. 2003. Tesis, Dinamika Kelompok Tani dalam Upaya Peningkatan Produksi Padi. PPS, Makassar. Budi, I. Setiawan, 1999. Land Use And Planning for Cigulung Maribaya Sub Watershed Using ANSWERS Model Procedding of International Workshop on Suistainable Resource Management for Cidanau Watershed. RUBRD-UT/IPB, Bogor.
Departemen Kehutanan, 2001. SK Menteri Kehutanan No 52 Tahun 2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Daearah Aliran Sungai. Dirjen RLPS dan Dirjen RLKT, Departemen Kehutanan.
________, 2003. Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran sungai (DAS) Jeneberang Propinsi Sulawesi Selatan. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutani Sosial BP.DAS Jeneberang-Walanae, Makassar.
_______, 2005. SK Menteri Kehutanan No. SK 272/Menhut – V/2005 Tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Jakarta.
Donner. Hubert, 1959. Group Dinamics-Principles and Application. The Ronald Press Company, New York.
Iskandar, J. 2003. Ekologi Perladangan Indonesia. Studi Kasus Dari Daerah Badui Banten Selatan, Jawa Barat. Penerbit Jembatan, Jakarta.
Naskah Masuk : 28 Februari 2008
Naskah Diterima : 26 Juli 2008
159
IDENTIFIKASI TANAMAN OBAT-OBATAN YANG DIMANFAATKAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TABO-TABO Hamzari Staf Dosen Manajemen Hutan Universitas Tadulako Email hpalaguna @ yahoo.com ABSTRACT This watchfulness is carried out in june - july 2007 at Forest Tabo-Tabo. This watchfulness aims to (1) detect medicine plants kinds that maked use by society around forest Tabo-Tabo, (2) detect plants parts that used upon which medicine and (3) detect place grows medicine plants kind. Watchfulness result is got 37 medicine plants kinds that maked use by Society that consist of 17 birch, 13 herb kinds, 5 clump kinds, and 2 liana kinds. Plants parts that maked use as medicine that is: young leaf or tip of a leaf, fruit, stick, skin, sap, tuber and root. Key Words : Custom Society, medicine plant
PENDAHULUAN Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, menjadikan kebutuhan akan pelayanan kesehatan makin meningkat. Upaya Departemen Kesehatan dalam pemerataan kesehatan sudah cukup banyak, akan tetapi masih saja ada kalangan yang belum terjangkau terutama masyarakat di pelosok daerah dan atau masyarakat yang tingkat ekonominya masih rendah. Keterisolasian dan pendapatan mereka masih rendah merupakan penyebab utama bagi mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai tidak dapat terpenuhi. Dengan demikian peranan pengetahuan pengobatan dengan memanfaatkan tanaman obat sangat penting diketahui (Rosita, dkk. 1993).
Tanaman obat yang beraneka ragam jenis, habitus, dan khasiatnya mempunyai peluang besar serta memberi kontribusi bagi pembangunan dan pengembangan hutan. Karakteristik berbagai tanaman obat yang menghasilkan produk berguna bagi masyarakat memberi peluang untuk dibangun dan dikembangkan bersama dalam hutan di daerah tertentu. Berbagai keuntungan yang dihasilkan dengan berperannya tanaman obat dalam hutan adalah: pendapatan, kesejahteraan, konservasi berbagai sumberdaya, pendidikan nonformal, keberlanjutan usaha dan penyerapan tenaga kerja serta keamanan sosial. Usaha penyebarluasan penggunaan tanaman obat, merupakan hal yang perlu dilakukan. Salah satu pekerjaan yang harus dilakukan sebelum penyebarluasan pemanfaatan tanaman obat adalah pengenalan tanaman obat. Oleh karena itu, perlu adanya identifikasi tanaman obat-obatan secara khusus yamh digunakan masyarakat sekitar hutan Tabo-Tabo, selain untuk mendekatkan masyarakat sekitar Hutan kepada pemanfaatan tanaman obat, sekaligus berfungsi juga sebagai sarana untuk mengikutsertakan masyarakat dalam upaya pelestarian sumberdaya alam.
Salah satu pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
160
masyarakat adalah tanaman obat-obatan yang berkaitan langsung dengan masyarakat yang ada di sekitar hutan. Sebagian dari jenis tanaman obat yang terdapat di Hutan Tabo-Tabo ada yang sudah dikenal dan ada pula yang belum dikenal dalam ilmu pengetahuan yang dapat berfungsi sebagai bahan obat-obatan tetapi telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat secara terbatas sebagai obat tradisional. Berdasarkan hal ini, maka penulis sangat tertarik untuk meneliti jenis-jenis tanaman yang merupakan sumber atau bahan baku obat-obatan tradisional yang mungkin belum dikenal dalam ilmu pengetahuan moderen. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui jenis tanaman obat-obatan yang ada dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat dalam kawasan hutan Tabo-Tabo, serta untuk mengetahui bagian-bagian dari tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat. METOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juni sampai Juli 2005 di kawasan Hutan Tabo-Tabo. Pemilihan lokasi ini didasarkan pertimbangan bahwa di lokasi ini banyak masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan yang hidupnya tergantung dari sumberdaya hutan tersebut, sudah turun temurun sampai sekarang.
Pelaksanaan dilakukan pada Desa sekitar Hutan Tabo-Tabo yang terdiri dari 2 (dua) Dusun. Pemilihan responden dilakukan dengan metode pilih kasih (purposive sampling) pada kedua dusun tersebut, dimana setiap dusun dipilih sebanyak 15 orang. Cara pemilihan responden ini yaitu dengan menanyakan kepada kepala desa atau ketua adat tentang masyarakat yang sering menggunakan tanaman obat sebagai obat tradisional. Dan apabila dalam satu dusun terdapat lebih dari 15 orang yang menggunakan tanaman obat sebagai obat tradisional maka yang diambil sebagai responden tetap 15 orang, sedangkan bila kurang dari 15 orang maka semuanya diambil sebagai responden. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrument atau alat pengumpulan data sebagai berikut :
1. Pedoman wawancara ( depth interview ) yaitu melakukan wawancara dengan menggunakan quisioner yang telah disiapkan sebelumnya. Isi daftar pertanyaan antara lain: jenis-jenis tanaman yang digunakan sebagai obat, bagian-bagian tanaman yang digunakan, bagaimana cara penggunaannya, sejak kapan digunakan, dari mana sumber informasi penggunaannya, mengapa digunakan dan dimana tumbuhnya.
2. Pengamatan (observasi) yaitu dengan cara sambil berjalan (tanpa plot) melakukan pengamatan langsung di lapangan bersama-sama dengan respoden yang mengetahui dengan pasti tumbuhan tersebut sambil mencatat keterangan mengenai tempat tumbuhnya seperti pada daerah datar, landai berbukit (bergunung), dan apakah tumbuhan tersebut hidupnya merambat, dibawah naungan, dan banyak mendapat sinar matahari serta mengambil dokumentasi (tanaman difoto). Untuk mendapatkan nama ilmiah dilakukan pengambilan contoh tanaman (spesimen) untuk dibuat herbarium, selanjutnya diidentifikasi dalam laboratorium. Apabila pada saat itu responden tak dapat diajak ke lapangan untuk melihat langsung tanamannya, maka digunakan jasa pengenal tanaman (guide)
Identifikasi Tanaman Obat-Obatan Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat
Sekitar Hutan Tabo-Tabo
Hamzari
161
yang dianggap mengenal betul jenis tanaman tersebut dengan bekal nama lokal tanaman dan pengalaman guide sebagai warga masyarakat setempat.
Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan Sebagai Obat
Hasil penelitian tentang jenis tanaman obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar Hutan Tabo-Tabo Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep dapat dilihat pada Lampiran 1. Lampiran 1 menunjukkan bahwa terdapat 37 jenis tanaman yang terdiri atas 17 jenis pohon, 13 jenis herba, 5 jenis perdu, dan 2 jenis liana yang dimanfaatkan masyarakat sebagai obat tradisional. Deskripsi cara pembuatan ramuan obat dari beberapa jenis berdasarkan informasi/wawancara dengan responden diuraikan sebagai berikut :
1. Nama Indonesia : Pulai
Nama Lokal : Lita Famili : Apocynadeae Nama Latin : Alstonia scholaris R. Br. Khasiat dan cara meramu / pemakaian:
a. Sakit Gigi
Getah diambil dengan cara batang pohon diteres kemudian ditaruh pada kapas dan selanjutnya ditempelkan pada gigi yang sakit.
b. Asma (Poso)
Kulit batang dikeringkan kemudian ditumbuk sampai halus, diambil sebanyak 1 – 2 sendok kemudian disiram dengan air panas. Setelah hangat diminum setiap pagi. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 2 Gambar 1.
2. Nama Indonesia : Jambu biji
Nama Lokal : Jambu biji Famili : Myrtaceae Nama Latin : Psidium quajava Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Sakit Perut
Bagian yang berfungsi sebagai obat adalah daun yang masih muda. Caranya diambil daun yang masih muda atau segar sebanyak 15 lembar, kemudian dicuci selanjutnya direbus. Dapat juga direndam dengan air panas selama 15 – 20 menit, diminum 3 kali sehari. Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara memakan langsung daun muda (pucuk) sebanyak 3 helai.
Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 3 Gambar 2.
3. Nama Indonesia : Jeruk Nipis
Nama Lokal : Lemo Kapasak Famili : Rutaceae Nama Latin : Citrus sp Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Batuk Buah diperas airnya kedalam gelas kemudian ditambahkan dengan garam dan gula pasir secukupnya. Diminum setiap pagi. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 4 Gambar 3.
4. Nama Indonesia : Mahoni
Nama Lokal : Mahoni Famili : Meliaceae Nama Latin : Swietenia mahagoni Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Malaria Buah mahoni dikupas lalu dibelah dan dikeluarkan bijinya. Setelah itu ditumbuk sampai halus dan ditambahkan dengan air matang sedikit, kemudian diminum. Selain itu dapat juga dimakan langsung bila tahan karena rasanya sangat pahit.
5. Nama Indonesia : Mangga Serat
Nama Lokal : Pao Lalo Famili : Anacardiaceae Nama Latin : Mangifera indica Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Sakit Perut (sembelit) Kulit batang dari mangga serat diambil, kemudian dibersihkan dan dipukul-pukul dan selanjutnya direbus. Hasil dari rebusan ini (airnya) diminum 2 kali sehari. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 4 Gambar 4.
6. Nama Indonesia : Angsana
Nama Lokal : Cenrana Famili : Fabaceae Nama Latin : Pterocarpus indicus Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Panas Dalam Getah diambil dengan cara meneres batang dan langsung diminum. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 5 Gambar 5.
7. Nama Indonesia : Kayu Putih
Nama Lokal : Kayu Putih Famili : Myrtaceae Nama Latin : Melaleuca leucadendrom Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Flu
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
162
Daun diremas-remas (digosok dengan tangan) kemudian dicium. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 6 Gambar 7.
8. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Patetting Famili : Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Cacingan Jenis pohon ini digunakan oleh masyarakat sebagai obat cacingan. Bagian pohon yang dimanfaatkan sebagai obat adalah getah dengan cara mengambil getah dan langsung diminum. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 5 Gambar 6.
9. Nama Indonesia : Paliasak
Nama Lokal : Palik Famili : Sterculiaceae Nama Latin : Clenhovia hospitalia Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Tekanan Darah Tinggi Bagian yang berfungsi sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah tinggi adalah daun. Cara pembuatannya: ambil 2 – 3 lembar daun Klenhoria hospita yang segar, cuci sampai bersih dan rebus dengan 3 gelas air. Diminum 1 kali sehari. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 7 Gambar 8.
10. Nama Indonesia : Kayu Raja
Nama Lokal : Aju Raja Famili : Fabaceae Nama Latin : Cassia fistula Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Penyakit Kusta Bagian dari pohon ini yang dijadikan sebagai obat untuk penyakit kusta adalah daun dan buah. Cara meramunya: ambil daun dan buah yang segar, dicuci sampai bersih dan iris/dirajang kemudian dimasukkan kedalam mangkok dan ditambahkan dengan air dingin. Airnya ini dipakai untuk membasuh badan setelah mandi setiap pagi dan sore.
11. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Aju langi´ Famili : Fabaceae Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Kudis (akka’ basah) Bagian dari pohon ini yang dijadikan sebagai obat adalah daun. Caranya: ambil daun yang segar sebanyak 6 – 8 lembar, digongseng sampai hangus kemudian ditumbuk sampai halus dan ditambahkan dengan air jeruk nipis. Hasilnya ini digosokkan pada begian yang sakit 2 kali sehari sampai sembuh.
12. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Aju Elalan Famili : Fabaceae Nama Latin : Albizzia procera Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Kudis (Akka’ Kering) Bagian dari pohon ini yang digunakan sebagai obat adalah kulit batang. Caranya: ambil kulit batang yang segar secukupnya, tumbuk sampai hancur dan tambahkan garam secukupnya. Hasilnya ini digosokkan pada bagian yang sakit sampai sembuh.
13. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Betcepetceng Famili : Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Sakit Gigi Jenis pohon ini digunakan oleh masyarakat setempat untuk mengobati sakit gigi. Cara meramunya adalah mengambil getah dengan meneres batang kemudian ditaruh pada kapas dan langsung ditempelkan pada gigi yang sakit.
14. Nama Indonesia : Sirsak
Nama Lokal : Serikaja Famili : Annonaceae Nama Latin : Annona muricata L Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Demam (untuk anak-anak) Bagian tanaman yang dipergunakan sebagai obat adalah daun. Caranya: daun yang muda dan masih segar diambil sebanyak 5 – 8 lembar, kemudian ditempelkan pada kepala anak-anak. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 8 Gambar 9.
15. Nama Indonesia : Kelapa
Nama Lokal : Kaluku Famili : Arecaceae Nama Latin : Cocos nucifera Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Keracunan / alergi, bagian dari tanaman ini yang dijadikan sebagai obat adalah buah. Caranya: dimabil buah kelapa yang masih muda, kemudian dikupas dan diambil airnya dan langsung diminum.
16. Nama Indonesia : Pinang
Nama Lokal : Alosi Famili : Palmae Nama Latin : Areca catechu L Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Gatal-gatal, Diambil daun pinang lalu dihangatkan dengan api sampai layu kemudian langsung ditempelkan pada bagian yang gatal. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 9 Gambar 11.
17. Nama Indonesia : Jarak Pagar
Nama Lokal : Pallang Kaliki Famili : Euphorbiaceae Nama Latin : Jatropha curcas Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Luka
Identifikasi Tanaman Obat-Obatan Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat
Sekitar Hutan Tabo-Tabo
Hamzari
163
Bagian dari tanaman ini yang digunakan sebagai obat adalah getah. Caranya: getah diambil dengan cara memotong tangkai dauan atau pucuk dari tanaman tersebut kemudian langsung ditaruh pada luka baru. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 8 Gambar 10.
18. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Daun Salok Famili : Moraceae Nama Latin : Ficus sp. Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Panas Tanaman ini termasuk jenis perdu, masyarakat setempat mengunakan sebagai obat panas atau demam. Caranya: diambil daun yang masih segar sebanyak 5 – 8 lembar kemudian langsung ditempelkan pada kepala dan badan. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 10 Gambar 12.
19. Nama Indonesia : Mengkudu
Nama Lokal : Bengkuru Famili : Rubiaceae Nama Latin : Morinda tomentosa Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Darah Tinggi Bagian dari tanaman ini yang digunakan sebagi obat adalah buah. Caranya: diambil buah yang sudah matang kemudian diparut, setelah diparut disaring sambil diperas airnya. Diminum setiap pagi sampai sembuh. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 13 Gambar 18.
20. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Kamandre Famili : Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Kuat Jenis tanaman ini digunakan oleh masyarakat setempat untuk menambah kekuatan serta dapat menambah daya tahan tubuh terhadap cuaca yang dingin. Caranya : diambil akar secukupnya kemudian diparut, kemudian dimasukkan kedalam gelas dan disiram dengan air panas. Dapat juga dicampur dengan teh, diminum setiap pagi.
21. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Galinggang Famili : Fabaceae Nama Latin : Cassea alata Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Panu
Bagian dari tanaman ini yang dijadikan masyarakat sebagai obat adalah daun. Caranya: diambil daun yang masih muda dan segar kemudian ditumbuk sampai halus. Hasilnya ini langsung digosokkan pada bagian-bagian tubuh yang kena panu 1 kali sehari selama 3 hari, setiap sore sehabis mandi.
Untuk lebih mengenal tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 11 Gambar 14.
22. Nama Indonesia : Pisang
Nama Lokal : Utti
Famili : Musaceae
Nama Latin : Musa paradisiceae Khasiat dan cara meramu / pemakaian: a. Obat Luka Masyarakat menggunakan tanaman ini sebagai obat luka dengan cara: mengerok batang pisang yang masih tumbuh kemudian ditempelkan pada luka yang masih baru.
c. Obat Maag
Diambil buah yang masih mentah dan dimakan setiap pagi 1 buah sebelum sarapan. Untuk lebih mengenal tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 11 Gambar 15.
23. Nama Indonesia : Bunga Tai Ayam
Nama Lokal : Bangka’ Bangkara’ Famili : Verbenaceae Nama Latin : Lantana camara Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Luka Bagian tanaman yang dijadikan sebagai obat adalah daun. Caranya: diambil daun yang masih muda kemudian diremas-remas dengan tangan sampai keluar sarinya dan ditempelkan pada bagian yang luka. Untuk lebih mengenal tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 12 Gambar 16.
24. Nama Indonesia : Kerinyu
Nama Lokal : Lahuna Famili : Compositae Nama Latin : Eupatorium odoratum Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Luka Bagian tanaman yang digunakan sebagai ramuan obat luka adalah daun. Caranya: Daun yang masih muda di ambil beberapa helai (secukupnya) kemudian diremas-remas dengan tangan sampai keluar sarinya dan ditempelkan pada bagian yang luka. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 12 Gambar 17.
25. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Biccoro Padang Famili : Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Masuk Angin Bagian tanaman yang digunakan sebagai ramuan obat luka adalah daun. Caranya: Daun yang masih muda dan masih segar di ambil beberapa helai (secukupnya) kemudian diremas-remas dan langsung dicium-cium.
26. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Besse
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
164
Famili : Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Sakit Perut Bagian dari tanaman ini yang dijadikan oleh masyarakat setempat adalah daun yang masih muda/pucuk. Caranya: diambil adaun yang muda/pucuk yang masih segar sebanyak 3 lembar, dikunyah dan dimakan. Untuk lebih mengenal tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 10 Gambar 13.
27. Nama Indonesia : Sosor Bebek
Nama Lokal : Taha’ Famili : Crassulaceae Nama Latin : Kalanchoe pinnata. Per. Khasiat dan cara meramu / pemakaian:
a. Panas/Demam
Bagian tanaman yang dipakai sebagai obat demam yaitu daun. Caranya: diambil daun secukupnya kemudian dipukul-pukul sampai memar dan langsung ditempelkan pada kepala (dahi).
b. Bisul
Bagian tanaman yang dipakai sebagai obat bisul yaitu daun. Caranya: diambil daun sebayak 1 lembar kemudian dilobangi pada bagian tengahnya dan dipukul-pukul sampai memar dan langsung ditempelkan pada bisul dengan menempatkan bagian daun yang dilobangi tepat pada mata bisul. Untuk lebih mengenal tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 14 Gambar 19.
28. Nama Indonesia : Kunyit
Nama Lokal : Unnyi’ Famili : Zingiberaceae Nama Latin : Curcuma domestica Val. Khasiat dan cara meramu / pemakaian:
a. Mual-mual
Ambil sepotong kunyit segar sebesar ½ jari jempol tangan, diparut kemudian dimasukkan kedalam gelas dan ditambahkan air hangat ⅓ gelas lalu disaring dan langsung diminum.
b. Pembalut Luka
Ambil sepotong kunyit segar kemudian ditumbuk dan langsung dipakai membalut luka. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 15 Gambar 20.
29. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Lengkis Famili : Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Muntah Darah Bagian dari tanaman ini yang dijadikan obat adalah buah. Caranya: diambil buah yang masih segar sebanyak 3 biji, ditumbuk sampai halus dan dimasukkan ke dalam gelas. Tambahkan air hangat kemudian diminum setiap pagi sampai sembuh. Untuk lebih mengenal tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 15 Gambar 21.
30. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Pappang Famili : Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Sakit Perut Bagian tanaman ini yang digunakan sebagai obat sakit perut adalah umbi dan daun. Caranya: umbi dan daun dipotong-potong dan direbus, setelah hangat digosokkan pada perut. Untuk lebih mengenal tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 16 Gambar 22.
31. Nama Indonesia : Sirih
Nama Lokal : Ganceng Famili : Pipericaceae Nama Latin : Piper sp Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Mata Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat mata adalah daun. Caranya: diambil daun muda dan segar 3 – 5 lembar, dicuci kemudian direbus. Setelah mendidih didinginkan dan dimasukkan kedalam wadah (baskom). Masukkan (muka/mata) ditenggelamkan dan mata dikedip-kedipkan. Untuk lebih mengenal pohon ini dapat dilihat pada Lampiran 16 Gambar 23.
32. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Joppi Famili : Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Sakit Kepala Tanaman ini termasuk jenis liana, masyarakat setempat menggunakan sebagai obat sakit kepala. Caranya: diambil batang dari joppi panjangnya ± 50 cm, kemudian dipelintir (peras) dan airnya ditampung. Airnya ini yang dipakai atau digosokkan diatas kepala (dipakai seperti minyak rambut). Untuk lebih mengenal tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 17 Gambar 24.
33. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Tebulaku Famili : Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Gatal pada tenggorokan Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah batang. Caranya: diambil batang yang masih mudah dan segar kemudian dihangatkan dengan api. Setelah hangat dikunyah dan airnya yang ditelan, ampasnya dibuang. Untuk lebih mengenal tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 17 Gambar 25.
34. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Kacimpang
Identifikasi Tanaman Obat-Obatan Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat
Sekitar Hutan Tabo-Tabo
Hamzari
165
Famili : Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Sakit Beri-Beri Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah daun. Caranya: diambil daun yang masih muda dan segar sebanyak 3 – 5 lembar, diremas-remas dan ditambahkan air hangat. Dipakai setelah mandi dengan cara digosokkan atau disiramkan pada badan. Untuk lebih mengenal tanaman ini dapat dilihat pada Lampiran 18 Gambar 26.
35. Nama Indonesia : Jahe
Nama Lokal : Laiya Famili : Zingiberaceae Nama Latin : Zingiber officanale Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Batuk Diambil jahe sebesar ibu jari kemudian diparut atau ditumbuk, lalu tambahkan 1 gelas air hangat, diaduk dan disaring dan diminum setiap pagi dan sore.
36. Nama Indonesia :
Nama Lokal : Pana’ Famili : Nama Latin : Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Pening
Bagian tanaman ini yang digunakan sebagai obat adalah daun. Caranya: diambil daun yang segar dan masih muda kemudian diremas-remas dan langsung dicium-cium.
37. Nama Indonesia : Tapak Kuda
Nama Lokal : Tapak Kuda Famili : Umbelliferae Nama Latin : Centella asiatica Khasiat dan cara meramu / pemakaian: Obat Tipes Masyarakat setempat menggunakan tanaman ini sebagai obat tipes dengan cara: tapak kuda dicabut dan diambil sampai pada akar-akarnya sebanyak 1 genggam. Dicuci dan direbus, setelah dingin diminum setiap pagi sebelum sarapan. Bagian-Bagian Tanaman yang dimanfaatkan Sebagai Obat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian-bagian tanaman yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh Masyarakat di sekitar Hutan bervariasi mulai dari daun muda atau pucuk, buah, batang, kulit, getah, umbi dan akar.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
166
Tabel 1. Bagian-bagian Tanaman yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat di sekitar Hutan Tabo-Tabo Sebagai obat tradisional
No.
Nama Indonesia
Nama Lokal
Nama Latin
Kegunaan (Obat)
Bagian Tanaman
1
2
3
4
5
6
1.
Pulai
Lita
Alstonia scholaris R. Br.
Sakit Gigi, Asma (Poso)
Getah dan kulit
2.
Jambu biji
Jambu biji
Psidium quajava
Sakit perut
Daun Muda
3.
Jeruk Nipis
Lemo kapasak
Citrus Sp
Batuk
Buah
4.
Mahoni
Mahoni
Swietenia mahagoni
Sakit Malaria
Buah
5.
Mangga Serat
Pao Lalo
Mangifera indica
Sakit Perut
Kulit
6.
Angsana
Cenrana
Pterocarpus indicus
Panas dalam
Getah
7.
Kayu Putih
Kayu Putih
Melaleuca leucadendrom
Sakit influensa
Daun Muda
8.
Patetting
Cacingan
Getah
9.
Paliasak
Palik
Clenhovia hospitalia
Tekanan darah tinggi
Daun Muda
10.
Kayu Raja
Aju Raja
Cassia fistula
Penyakit Kusta
Daun dan buah
11.
Aju Langi'
Kudis (Akka' basah)
Daun
12.
Aju Elalan
Albizzia procera
Kudis (Akka' kering)
Kulit
13.
Betcepetceng
Sakit gigi
Getah
14.
Sirsak
Serikaja
Annona muricata L
Demam
Daun
15.
Kalapa
Kaluku
Cocos nucifera
Keracunan
Buah
16.
Pinang
Alosi
Areca catechu L
Gatal-gatal
Daun
17.
Jarak Pagar
Pallang Kaliki
Jatropha curcas
Luka Baru
Getah
18.
Daun salok
Ficus sp.
Obat Panas
Daun
19.
Bengkuru
Morinda tomentosa
Darah tinggi
Buah
20.
Kamandrek
Obat Kuat
Akar
21.
Galinggang
Cassea alata
Obat Panu
Daun Muda
22.
Pisang
Utti
Musa paradisiae
Obat Luka, Maag
Batang, Buah
23.
Bunga tai ayam
Bangka' bangkara'
Lantana camara
Obat luka
Daun Muda
24.
Kerinyu
Lahuna
Eupatorium odoratum
Obat luka
Daun Muda
25.
Biccoro Padang
Obat masuk angin
Daun Muda
26.
Besse
Obat sakit perut/mencret
Daun Muda
27
Sosor Bebek
Taha'
Kalanchoe pinnata Per.
Demam, Bisul
Daun
1
2
3
4
5
6
28.
Kunyit
Unnyi’
Curcuma domestica Val.
Diare dan menghilangkan bau badan
Umbi
29.
Lengkis
Muntah darah
Buah
30.
Pappang
Sakit Perut
Daun dan Umbi
31.
Pana'
Pening
Daun
32.
Tapak Kuda
Centella asiatica
Tipes
Daun dan akar
33.
Tebulaku
Batuk
Batang
34.
Kacimpang
Bere-Bere
Daun
35.
Jahe
Laiya
Zingiber officanale
Batuk
Umbi
36.
Sirih
Ganceng
Piper sp
Obat mata, Pencuci rahim
Daun
37.
Joppi
Sakit Kepala
Batang
Tabel 1. terlihat bahwa bagian tanaman yang dimanfaatkan sebagai obat berbeda-beda tergantung dari jenis tanaman. Bagian-bagian tanaman yang digunakan sebagai obat yaitu: daun muda atau pucuk, buah, batang, kulit, getah, umbi, dan akar. Bagian yang paling banyak digunakan adalah daun. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena
Identifikasi Tanaman Obat-Obatan Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat
Sekitar Hutan Tabo-Tabo
Hamzari
167
dan merupakan tempat pengolahan makanan yang berfungsi sebagai obat. Mudah diperoleh dan mudah dibuat atau diramu sebagai obat dibandingkan dengan kulit, batang dan akar tanaman. Di samping itu, akar tanaman juga dipergunakan sebagai obat. KESIMPULAN Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Jenis tanaman yang berfungsi sebagai obat tradisional ditemukan sebanyak 37 janis yang terdiri atas 17 jenis pohon, 13 jenis herba, 5 jenis perdu, dan 2 jenis liana yang dimanfaatkan masyarakat sebagai obat.
2. Bagian-bagian tanaman yang dimanfaatkan sebagai obat Jenis tanaman yang berfungsi sebagai obat tradisional ditemukan sebanyak 37 janis yang terdiri atas 17 jenis pohon, 13 jenis herba, 5 jenis perdu, dan 2 jenis liana yang dimanfaatkan masyarakat sebagai obat.
3. Jenis-jenis tanaman yang berfungsi sebagai obat tradisional agar dibudidayakan, sehingga pengambi- lannya lebih mudah didapatkan.
DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 1998. Tumbuhan Hutan Berkasiat Obat dan Cara Pemamfaatannya oleh Masyarakat Irian Jaya. Balai Penelitian Kehutanan, Manokwari. Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41. Tentang Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Hardinsyah. 2000. Hutan Sumber Pangan dan Lapangan Kerja. Duta Rimba. Majalah Bulanan Perum Perhutani. Edisi 237/XXIV. Jakarta.
Kartasapoetra, G. 2004. Budidaya Tanaman Berkasiat Obat. PT Rineka Cipta, Jakarta.
Lobo, P. 2003. Studi Tumbuhan Obat yang Dimamfaatkan oleh Masyarakat Disekitar Hutan Pendidikan Bengo-Bengo. Skipsi Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar. (tidak dipublikasikan). Rosita, S.M.D. Rostiana, O. dan Wahid, P. 1993. Tanaman Obat Keluarga. Balai Penelitian Tanaman Rempah (BALITRO), Bogor.
Naskah Masuk : 12 Maret 2008
Naskah Diterima : 6 Agustus 2008
169
PRESTASI PEKERJA DALAM KEGIATAN PEMBAGIAN BATANG PADA KEGIATAN PEMANENAN DI HUTAN JATI RAKYAT DESA LILI RIATTANG KABUPATEN BONE
Iswara Gautama
Kepala Unit Biofuel dan CDM Lembaga Penelitian Unhas
Kepala Laboratorium Pemanenan Hasil Hutan Fahutan Unhas
Email: iswara@ymail.com ABSTRACT This watchfulness aims to detect stick distribution labour capacity in backing activity at areal people teak forest and detect factor that influence stick distribution labour capacity at people forest area at Desa Liliriattang Kabupaten Bone and go on in june 2008. data collecting is done to pass direct measurement at field with follows activity that done workers. parameter at ukur time that used to every sort log distribution work element, with do measurement towards helper time (WH), Preparation Time (WP), base intercept time (WMP), sort log distribution time (WP), trip time from sort log to sort log (WBB), allowance (DT). analysis result shows that team work productivity time is influenced logs diametre, total sortimen and sort log diametre, team 2 influenced by sort log diametre, and for team 3 influenced by log. Highest labour capacity team with production magnitude 6,87 m3/hour; then team 2 with production magnitude 3,76 m3/hour; and bottom most that is team 3 with 3,37m3/hour production magnitude. Factors that influence labour capacity in sort log distribution activity that is factor that influence also influenced by job experience, worker factor, with device that used. Key words : Labour capacity, people forest, work sytem
PENDAHULUAN Propinsi Sulawesi Selatan merupakan daerah yang mempunyai potensi hutan yang cukup luas, Kabupaten Bone merupakan salah satunya. Luas hutan di Kabupaten Bone adalah 176.430 ha, Luas hutan rakyat di Kabupaten Bone adalah 4.220 ha dan didominasi oleh Jati, Gemelina, Bitti, Sengon, Mangga dan Sukun. Hutan di Kabupaten Bone dengan luas 5.546 ha merupakan fungsi lindung dan seluas 390 ha dengan fungsi Produksi (Dinas Kehutanan Bone, 2003).
Perkembangan teknologi pemanenan kayu, khususnya dalam bidang pembagian batang dengan menggunakan alat non mekanis seperti kapak atau gergaji biasa, dianggap tidak efisien lagi kerena membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak. Bahkan para pengelola hutan rakyat hanya memusatkan perhatiannya pada penggunaan alat mekanis dalam hal ini adalah chainsaw yang dianggap lebih efektif, sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestasi kerja, baik kuantitas maupun kwalitasnya. Salah satu usaha untuk meningkatkan produksi dan kualitas kayu tidak lepas dari kegiatan di bidang pembagian batang khususnya efisiensi kerja di bidang tersebut. Oleh karena itu, segala aspek
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
170
yang terkait dalam kegiatan penebangan harus diperhatikan terutama berupa kebutuhan tenaga terampil, alat yang digunakan, termasuk pemeliharaannya agar diharapkan terciptanya prestasi kerja yang lebih baik. Untuk memperoleh hasil yang sebaik-baiknya dalam suatu usaha dari segi kualitas maupun kuantitas, maka prestasi kerja para buruh/pekerja memegang peranan yang penting. Prestasi kerja adalah hasil yang dapat di capai seorang atau sekelompok pekerja dalam satu satuan produksi pada waktu tertentu. Dengan melihat besarnya prestasi kerja pembagian batang dalam kegiatan penebangan ini, diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan perencanaan penggunaan tenaga kerja yang sesuai untuk mendapatkan tingkat prestasi kerja yang optimal dalam kegiatan penebangan yang sesuai di hutan jati rakyat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya prestasi kerja pembagian batang hasil penebangan pada hutan jati rakyat serta untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi prestasi kerja pembagian batang. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di lokasi penebangan pada aereal Hutan Jati Rakyat di Desa Lili Riattang Kecamatan Amali, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan pada Bulan Juni 2008. Data-data penelitian diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan berupa prestasi kerja pembangian batang. Parameter yang diukur adalah waktu yang digunakan pada setiap elemen kerja pembagian batang. Faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap keefektifan pembagian batang adalah sebagai berikut :
1. Panjang Batang (PB),
2. Kelerengan (Kel)
3. Jumlah Sortimen (JS)
4. Jarak Batang ke Batang (JBB)
5. Diameter Batang (DB)
Analisis waktu kegiatan pembagian batang didasarkan pada penggunaan waktu dari setiap jenis tahapan pekerjaan (elemen kerja) pembagian batang yang dimaksud adalah :
1. Waktu Helper (WH), adalah waktu yang digunakan oleh helper untuk menandai batang yang akan dibagi serta membersihkan batang-batang kecil dari pohon yang akan dibagi.
2. Waktu Persiapan (WP), waktu yang digunakan untuk memperhitungkan keamanan pekerja, keadaan lapangan, keselamatan kayu dan kemudian menyalakan mesin chain saw sampai chain saw menyentuh batang.
3. Waktu Potong Pangkal (WMP), adalah waktu yang digunakan untuk meratakan pangkal dari pohon yang akan dibagi.
4. Waktu Potong Sortimen (WPS), adalah waktu yang digunakan untuk memotong sortimen, membersihkan cabang/ranting yang tersisa oleh helper, dan perjalanan dari satu sortimen ke sortimen lain.
5. Waktu Perjalanan dari Batang ke Batang (WBB), adalah waktu yang dipergunakan untuk perjalanan dari batang pohon yang satu ke batang pohon lain yang akan di bagi.
6. Waktu Hilang (DT), adalah waktu hilang yang terjadi selama pembagian batang berlangsung, waktu hilang yang dimaksud adalah waktu hilang dari setiap rangkaian kegiatan pembagian batang tersebut berlangsung. Waktu hilang untuk pembagian batang terdiri atas :
a. Working Delay Time (DW), yaitu waktu yang hilang akibat adanya gangguan yang terjadi yang tidak dikehendaki oleh operator pada saat salah satu rangkaian elemen kerja dilakukan.
Prestasi Pekerja Dalam Kegiatan Pembagian Batang Pada Kegiatan Pemanenan Di Hutan
Jati Rakyat Desa Lili Riattang Kabupaten Bone
Iswara Gautama
171
b. Personal Delay Time (DP), yaitu waktu yang hilang akibat aktivitas pekerja diluar kegiatan pembagian batang.
c. Machine Delay Time (DM), yaitu waktu hilang yang terjadi akibat adanya kerusakan mesin.
Hubungan antara faktor variabel yang memperngaruhi pembagian batang dengan elemen kerja pembagian batang dianalisis dengan fungsi sebagai berikut: 1. WP = Waktu Persiapan 2. WH = Waktu Helper 3. WMP = Rata-Rata Waktu Memotong Pangkal Batang 4. WPB = f (PB, DB, JS) 5. WT = f (KL, PB, DB, JS, JBB) 6. DT = Rata-Rata Waktu yang Hilang dari Seluruh Pengamatan Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas pembagian batang, digunakan metode analisis regresi linear berganda dengan persamaan : Y = bo + b1x1 + b2x2 + … + bpxp dimana : Y= Produktivitas pembagian batang x1= panjang batang x2= kelerengan x3= jumlah sortimen x4= jarak batang ke batang x5= volume bp, xp= Parameter regresi Prestasi kerja Pembagian batang Untuk perhitungan prestasi kerja pembagian batang dengan menggunakan persamaan regresi waktu total sebagai waktu yang digunakan untuk memproduksi batang digunakan rumus:
WTVP
Dimana: P = Prestasi kerja V = Volume batang yang dibagi WT = Waktu total Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi prestasi kerja dilakukan secara deskriftif meliputi:
1. Keterampilan
2. kerja pembagian batang, pekerja dengan keterampilan kerja yang memadai dalam pembagian batang maka akan mudah mencapai prestasi kerja yang maksimal.
3. Manajemen kerja antara bawahan dengan atasan dan sistem pengupahan, suatu proses komunikasi yang terus menerus yang dilakukan dalam kerjasama antara keduanya. Sedangkan sistem penguapahan yang memadai dan menarik akan memberikan perangsang yang baik terhadap pekerja seperti yang diharapkan menyebabkan.
4. Peralatan kerja dan kondisi lokasi kerja, faktor peralatan yang memadai dan kondisi lokasi kerja (lingkungan) yang menunjang maka para pekerja dapat berprestasi dalam pekerjaanya.
HASIL PENELITIAN Deskripsi Regu dan Kegiatan Pembagian Batang Tenaga kerja yang digunakan pada kegiatan pembagian batang ini berasal dari masyarakat setempat terdiri atas Tiga regu pembagian batang dan masing-masing regu terdiri atas dua orang, yaitu 1 orang operator dan 1 orang helper.
dapat dilihat pada Tabel 1.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
172
Tabel 1. Deskripsi Penebang dan Helper yang Diamati pada Kegiatan Pembangian Batang di Areal Hutan Jati Rakyat Kecamatan Amali Kabupaten Bone
Nama pekerja
Umur (thn)
Spesialisasi
Pengalaman kerja
Pekerjaan lain
Keterangan
Amir
35
Operator
17 thn
Petani dan berkebun
Regu I
Andu
20
Helper
1 thn
Petani
sukri
37
Operator
10 thn
Petani
Regu 2
Sukri
25
Helper
3 thn
Petani
Adi
25
Operator
3 thn
Petani
Regu 3
Anas
15
Helper
4 bln
Petani
Deskripsi Kegiatan Pembagian Batang Lokasi kegiatan pembagian batang terdiri atas 3 lokasi. Lokasi pertama pembagian batang dilakukan oleh regu I Lokasi kedua oleh regu 2 dan lokasi 3 oleh regu 3. Untuk mempermudah operator melakukan kegiatan pembagian batang maka batang harus dibersihkan dari ranting-ranting, setelah batang bersih dari ranting-ranting maka dilakukan penandaan pada batang yang akan dibagi sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan sesuai dengan aturan pembagian batang, selanjutnya dilakukan kegiatan pembagian batang sesuai dengan ukuran yang telah ada. Setelah pembagian batang telah dilakukan maka dilanjutkan dengan pembuatan bantalan, sedapat mungkin pembagian batang dilakukan pada tempat yang baik. Deskripsi Elemen Kerja Pembagian Batang Sebagai langkah awal dalam pembagian batang ini adalah melakukan persiapan. Pada tahap ini bertujuan untuk memperhitungkan keamanan pekerja, keadaan lapangan, keselamatan kayu, mengisi bahan bakar. Keselamatan dalam kegiatan pembagian batang ini sangat perlu untuk menghindari dari kecelakaan, kerusakan alat maupun keselamatan kayu. Pembersihan Batang Waktu helper adalah waktu yang digunakan pembantu chainsawman untuk menandai sortimen yang akan dibagi dan membersihkan cabang-cabang kecil dari batang yang akan dibagi. Pembersihan cabang-cabang ini dilakukan dengan menggunakan parang akan tetapi jika ukuran cabang agak besar dan akan lama jika menggunakan parang maka dibantu dengan gergaji rantai. Pemotongan Pangkal Batang Pemotongan pangkal batang pada kegiatan pembagian batang dimaksudkan untuk merapikan atau meratakan pangkal batang yang tidak rata pada waktu kegiatan penebangan dilakukan. Pembagian Batang Setelah kegiatan pengukuran atau penandaan pada batang yang akan di bagi maka dilakukan pembagian batang, dilanjutkan dengan membuat bantalan di mana pada kegiatan ini perlu diperhatikan syarat-syarat pemotongan batang.
Gambar1:Pembagian Batang di Lokasi
Naskah Masuk : 12 Maret 2008
Naskah Diterima : 6 Agustus 2008
173
Perjalanan Dari Batang ke Batang Setelah semua kegiatan, pembersihan dan penandaan batang, pemotongan pangkal batang, pembagi batang sampai pada pembuatan bantalan selesai maka operator akan pindah menuju pada batang yang akan di bagi selanjutnya
Waktu Kerja Setiap Elemen Kerja
Jumlah dan rata-rata waktu yang digunakan pada setiap elemen kerja dalam kegiatan pembagian batang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Rata-Rata Waktu Kerja Setiap Regu Pembagian Batang untuk Setiap Elemen Kerja di Areal Hutan Jati Rakyat Kecamatan Amali Kabupaten Bone
No
Regu Kerja
Elemen kerja
WP
WH
WMP
WPS
WBB
DT
WT
1
Regu 1
4'53"
15'01"
4'17"
32'53"
3'35"
4'29"
56'1"
2
Regu 2
6'17"
11'27"
7'25"
32'20"
1'42"
8'17"
55'4"
3
Regu 3
6'56"
6'06"
7'14"
29'55"
2'07"
7'23"
47'1"
Waktu Persiapan (WP) Sebagai langkah awal dalam pembagian batang ini adalah melakukan persiapan. Waktu persiapan merupakan waktu yang digunakan untuk memperhitungkan keamanan pekerja, keadaan lapangan, keselamatan kayu, mengisi bahan bakar dan kemudian menyalakan mesin Chainsaw sampai Chainsaw mulai menyentuh batang. Berdasarkan hasil pengamatan, waktu persiapan yang digunakan selama kegiatan pembagian batang untuk regu I adalah 4 menit 53 detik. Untuk Regu 2 adalah 6 menit 17 detik dan untuk regu 3 adalah 6 menit 56 detik. Waktu persiapan rata-rata untuk regu I lebih sedikit dibandingkan dengan regu 2 dan regu 3. Waktu Hilang (WH) Waktu helper adalah waktu yang digunakan pembantu chainsawman untuk menandai sortimen yang akan di bagi dan membersihkan cabang-cabang kecil dari batang tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan, maka waktu helper untuk regu I adalah 15 menit 01 detik, untuk regu 2 adalah 11 menit 27 detik dan untuk regu 3 adalah 6 menit 06 detik. Dari rata-rata waktu persiapan tersebut dapat di lihat bahwa Regu I memiliki waktu helper yang lebih tinggi bidandingkan dengan dua operator lainnya hal ini dikarenakan pohon yang akan dibagi berdiameter cukup besar dan mempunyai banyak cabang baik yang besar maupun yang kecil, dibanding dua operator yang lain. Waktu Pemotongan Pangkal Batang (WMP) Waktu memotong pangkal merupakan waktu yang digunakan untuk meratakan pangkal pohon yang akan dibagi menjadi sortimen. Berdasarkan hasil pengamatan, maka waktu meratakan pangkal batang untuk regu I adalah 4 menit 17 detik, untuk regu 2 adalah 7 menit 25 detik dan untuk regu 3 adalah 7 menit 14 detik. Dari hasil tersebut dapat di lihat bahwa waktu tertinggi yaitu pada regu 2 dibandingkan dengan regu 1 dan regu 3. Waktu yang Digunakan untuk Membagi Sortimen (WPS)
Waktu memotong sortimen merupakan waktu yang digunakan untuk
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
174
membagi batang sampai pada batang menjadi bantalan. Berdasarkan hasil pengamatan, maka waktu yang digunakan untuk membuat sortimen untuk regu I adalah 32 menit 53 detik, untuk regu 2 adalah 32 menit 20 detik dan untuk regu 3 adalah 29 menit 55 detik. Dari hasil tersebut dapat di lihat bahwa waktu tertinggi yaitu regu 1 dan yang terendah adalah regu 3. Hal ini disebabkan karena jumlah dan diameter batang yang akan di bagi menjadi sortimen lebih besar di banding 2 regu lainnya. Waktu Perjalanan dari Batang ke Batang (WBB) Waktu perjalanan dari batang merupakan waktu yang digunakan untuk perjalanan chainsawman dan helper dari satu batang yang selesai di bagi-bagi ke batang yang akan di bagi selanjutnya.
Berdasarkan hasil pengamatan, maka waktu perjalanan dari batang ke batang untuk regu I adalah 3 menit 35 detik; untuk regu 2 adalah 1 menit 42 detik dan regu 3 adalah 2 menit 07 detik. Dari hasil yang di peroleh terlihat bahwa regu yang memiliki waktu berjalan dari batang ke batang yang paling lama hal ini disebabkan karena lokasinya yang tidak datar yaitu antara 8,7% sampai 33,55% dan jarak antara batang yang relatif jauh di banding dua regu yang lain dengan demikian membutuhkan waktu yang lebih banyak.
Waktu Hilang yang Terjadi Selama Kegiatan Pembagian Batang (DT)
Berdasarkan hasil pengamatan, waktu hilang yang terjadi selama kegiatan pembagian batang untuk masing-masing operator 4 menit 29 detik; 8 menit 17 detik dan 7 menit 23 detik Waktu hilang tersebut terjadi, disebabkan antara lain chainsaw macet atau bar (batang) chainsaw terjepit, memperbaiki gagang parang yang longgar dan merokok yang dilakukan operator. Hal-hal seperti ini terjadi ketika kegiatan pembagian batang sedang berlangsung. Prestasi Kerja Pembagian Batang
Prestasi kerja dapat dilihat berdasarkan waktu total yang digunakan oleh setiap operator dan produktivitas yang dihasilkan. Dari hasil penelitian ini dapat di ketahui prestasi kerja yang di peroleh dari data hasil pengukuran lansung dilapangan yang dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3. Perbandingan Prestsi Kerja Pembagian Batang pada Areal Hutan Jati Rakyat Kecamatan Amali Kabupaten Bone
No.
Pekerja
Waktu Kerja yang digunakan
Produktivitas Aktual (m3/jam)
WP
WH
WPS
WT
1
Regu I
4’53”
15'01"
32'53"
56'1"
7,78
2
Regu 2
6'57"
11'27"
32'20"
55'4"
4,05
3
Regu 3
6'56"
6'06"
29'55"
47'1"
3,39
Untuk waktu total (WT), waktu total yang digunakan regu I yaitu 56 menit 1 detik dengan produktivitas yang dihasilkan adalah 7,78 m3/jam, Regu 2 waktu total yang digunakan adalah 55 menit 4 detik dengan produktivitas yang dihasilkan adalah 4,05 m3/jam; dan regu 3 dengan waktu total 47 menit dan menghasilkan produktivitas 3,39 m3/jam. Berdasarkan dari hasil tersebut di ketahui bahwa regu 1 mempunyai prestasi kerja terbaik walaupun waktu total yang
Prestasi Pekerja Dalam Kegiatan Pembagian Batang Pada Kegiatan Pemanenan Di Hutan
Jati Rakyat Desa Lili Riattang Kabupaten Bone
Iswara Gautama
175
digunakan lebih banyak di banding dengan regu 3 tetapi waktu tersebut sesuai dengan produktivitas yang diperoleh 2 kali lebih banyak dari pada regu 3, kemudian regu 2 dan yang terakhir adalah regu 3.
Gambar 2. Pembelahan batang
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Kerja Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja dapat dilihat pada faktor yang mempengaruhi waktu total dan produktivitas, hal ini disebabkan karena prestasi kerja berkaitan dengan waktu yang digunakan dan hasil yang di Peroleh seorang pekerja.menurut Mangkunegara (2005), Prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Diasumsikan bahwa Prestasi kerja pembagian batang dipengaruhi oleh kelerengan (kel), jarak batang ke batang (JBB), panjang batang (PB), diameter batang (DB), jumlah sortimen (JS) Dari hasil analisis waktu yang digunakan untuk setiap pohon pada masing-masing operator, didapatkan persamaan: P = bo + b1 Kel + b2 JBB + b3 PB + b4 DB + b5 JS Pregu I = -5,094 – 0,59 Kel + 22,641 + DB + 0,941 JS R2 = 0,983 Pregu 2 = - 4,359 + 31,865 DB R2 = 0,905 Pregu3 = - 4,395 + 0,222 Kel + 0,996 DB
R2 = 0,833
Keterangan:
P = Produktivitas (m3/jam)
b = Kostanta Kel = Kelerengan (%) Jbb = jarak batang kebatang (meter) Pb = pajang batang (meter) Db = Diameter batang (meter) JS = Jumlah sortimen (buah) R2 = koefisien determinasi Nilai koefisien determinasi persamaan diatas menunjukkan bahwa untuk masing-masing regu, peubah bebas memberikan konstribusi sebesar 98,3% (regu I); 90,5% (regu 2); dan 83,3% (regu 3) terhadap keragaman peubah tak bebas atau masih terdapat 1,7% (regu I); 9,5% (regu 2); dan 26,7% (regu3) peubah tak bebas yang tak dapat dijelaskan oleh model persamaan berikut. Untuk melihat sejauh mana pengaruh kelerengan, jarak batang ke batang, panjang batang, diameter batang, jumlah sortimen terhadap Produktivitas dalam persamaan regresi tersebut diatas maka lebih dahulu dilakukan pengujian sebagai berikut: 1. Statistik Uji-F
 Untuk regu I
Pada taraf nyata α = 5%, Ftabel = F (0,05; 3,6) diperoleh nilai 4,76 sedangkan fhitung sebesar 116,656. Berarti bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
176
 Untuk regu 2
Pada taraf nyata α = 5%, Ftabel = F (0,05; 1,8) diperoleh nilai 5,32 sedangkan fhitung sebesar 75,876. Berarti bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas.
 Untuk regu 3
Pada taraf nyata α = 5%, Ftabel = F (0,05; 2,7) diperoleh nilai 4,74 sedangkan fhitung sebesar 17,398. Berarti bahwa minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas. 2. Statistik Uji-t Untuk mengetahui peubah bebas mana yang berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas, maka dilakukan pengujian hipotesis untuk masing-masing peubah bebas dengan statisti uji-t.
 Untuk regu I
Pada taraf nyata α = 5%, ttabel = t (0,025; 6) memberikan nilai 2,447 ini berarti bahwa variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas yaitu diameter batang dan jumlah sortimen
 Untuk regu 2
Pada taraf nyata α = 5%, ttabel = t (0,025; 8) memberikan nilai 2,306 ini berarti bahwa variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap produktivitas yaitu diameter batang.
 Untuk regu 3
Pada taraf nyata α = 5%, ttabel = t (0,025; 7) memberikan nilai 2,365 ini berarti bahwa variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap waktu total yaitu panjang batang. Jadi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertasi kerja untuk tiap regu berbeda.Berdasarkan hasil regresi produktivitas untuk regu I yaitu diameter batang dan jumlah sortimen, untuk regu 2 yaitu diameter batang dan untuk regu 3 panjang batang. Selain faktor-faktor diatas masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi prestasi kerja yaitu: pengalaman kerja dan faktor pekerja (kesehatan) dan faktor peralatan.
 Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja seorang operator dapat meningkatkan prestsi kerja, dimana prestasi kerja operator yang lebih berpengalaman akan lebih baik di bandingkan dengan operator yang tidak berpengalaman. Hal ini karena pekerja yang lebih berpengalaman sudah lebih menguasai tehnik kerja pembagian batang. Terlihat bahwa operator regu I yang mempunyai pengalaman kerja sekitar 17 tahun mempunyai prestasi kerja lebih baik.
 Faktor Pekerja
Faktor pekerja di sini salah satunya Kondisi kesehatan juga turut mempengaruhi prestasi kerja seorang pekerja di mana pekerja yang mempuyai kesehatan yang baik akan dapat menyalesaikan pekerjaannya dengan baik dan lebih cepat di banding dengan pekerja dengan kondisi kurang sehat, atau setelah seharian melakukan pekerjaan yang lain kemudian melakukan pembagian batang.
 Faktor Peralatan
Faktor peralatan yang memadai juga akan meningkatkan prestasi kerja. Dimana peralatan (Chain saw) yang digunakan passe’ 2 tahun, untuk Andu 3 tahun dan untuk Annas 2 tahun. Dengan demikian semakin lama Chaín saw
Prestasi Pekerja Dalam Kegiatan Pembagian Batang Pada Kegiatan Pemanenan Di Hutan
Jati Rakyat Desa Lili Riattang Kabupaten Bone
Iswara Gautama
177
digunakan maka akan mengurangi prestasi kerja. KESIMPULAN Dari hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Prestasi kerja tertinggi adalah Regu I (Passe’) dengan besarnya produksi 6,87 m3/jam; kemudian regu 2 (Andu) dengan besarnya produksi 3,76 m3/jam; dan terendah yaitu regu 3 (Annas) dengan besarnya produksi 3,37m3/jam.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja pada kegiatan pembagian batang yaitu selain faktor yang mempengaruhi productivitas (diameter, dan panjang batang) juga dipengaruhi oleh pengalaman kerja, faktor pekerja, serta peralatan yang digunakan.
3. Untuk meningkatkan Produktivitas yang diperoleh disarankan agar pohon yang di tebang sebaiknya berdiameter lebih besar untuk meningkatkan volume yang diperoleh serta menggunakan tenaga kerja yang berpengalaman dibidang pembagian batang
DAFTAR PUSTAKA Arsyam jaya, 1998. Pengukuran keefektifan Tenaga kerja Dan Analisis Biaya Pembagian Batang Pada Kegiatan Penjarangan Hutan Pinus di Areal PT Inhutani I Satuan Wilayah Gowa-Maros. Skipsi (tidak dipublikasikan). Jurusan kehutanan, Universitas Hasanuddin, ujung Padang. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Elias, Grahane, Kuswata Kartawinata, Machfudh, Art Klassen; 2001. Pedoman Reduce Impact Logging Indonesia. SMK Grafika Desa Putera, jakarta.
Haryanto, 1996. Pemanenan Hasil Hutan. Buku 2. Penebangan, yayasan Pembinaan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hamril, 1998. Pengukuran Keefektifan Tenaga Kerja dan Analisis Biaya Penebangan Pada Kegiatan Penjarangan Hutan Pinus di Areal PT. Inhutani I Satuan Wilayah Gowa – Maros. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Jurusan Kehutanan. Fakultas Pertanian dan Kehutanan. Universitas Hasanuddin, Makassar. Mangkunegara, P.A, 2005. Evaluasi Kinerja SDM. PT Refika Aditama. Bandung. Purba, R. 1967. Kalkulasi Tarif Prestasi Edisi Kedua. Penerbit Rosadi, Jakarta. Perum Perhutani, 1994. Petunjuk Teknis Penjarangan., jakarta. Rostiati, 1990. Produktivitas Pembagian Batang Kayu Meranti dan Kayu Palapi di Areal HPH PT Rante Mario. Skripsi (tidak dipublikasikan) jurusan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Sanyoto. 1963. Metodik Penyelidikan Waktu Kerja Elementer. Rimba Indonesia VII Sinungan, Muchdarsyah, 1995. Produktivitas Apa dan Bagaimana. Bumi Aksara. Jakarta.
Sudarjo, Sunarno., 1994. Analisis Produksi dan Penggunaan Tenaga Kerja pada Industri Kayu Lapis PT Katingan Timber Company, Ujung Pandang. Skripsi (tidak dipublikasikan)
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
178
jurusan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang Soenarso,R., soewito, I. Sumantri, E. Tjarmat, S.R. Simarmata, Widodo, 1972. Penuntun penebangan dengan Gergaji Tangan dan Kapak. Laporan penelitian Hasil Hutan No.2. Bogor
Naskah Masuk : 22 Juni 2008
Naskah Diterima : 16Juli 2008
179
APPLICATION OF MULTI CRITERIA DECITION MAKING (RANKING METHODE ) ANALYSIS FOR SUITABILITY AGROFORESTRY UP-LAND Budiaman Forest Biology Conservation , Faculty of Forestry Hasanuddin University ABSTRAK Taman Nasional Halimun Salak memiliki potensi biologi dan ekologi bernilai tinggi dan dapat didefinisikan oleh masyarakat dan lingkungan di sekitar Taman Nasional Halimun Salak (TNHS), sehingga kawasan ini dapat diasumsikan sebagai kawasan stok air yang cukup besar untuk Provinsi Jawa Barat dan Banten.Masalah keputusan spasial adalah khas dan meliputi suatu set yang luas dari alternative dan multiple yang layak, kriteria evaluasi dari conflicting dan incommensurate. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kriteria dan indikator dalam rangka menemukan lokasi yang sesuai/cocok untuk Upland Agroforestry dengan metode renking dan pembobotan , serta analisis GIS (Geo Information System). Metode yang digunakan adalah Multy Criteria Decition Making (MCDM). Data yang diperoleh akan dianalisis dengan GIS dengan software Arcview 32 yang meliputi ; scooring, overlay, query, calkulation dan modelling analysis.Data sosial ekonomi yang dikumpulkan melalui wawancara semi terstruktur akan dianalisis dengan deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria dan indikator dapat diperoleh untuk pembobotan kesesuaian Upland Agroforestry yaitu tanah, slope, elevasi,jarak dari sungai , jalan, dan pemukiman. Kelas Kesesuaian lahan untuk Upland Agroforestry di areal Koridor Taman Nasional Salak Halimun terdiri ats tiga kelas yaitu ; kurang sesuai dengan luas 514,2 ha, sesuai luas 2461,4 ha, dan sangat sesuai luas 6537,1 ha, Kebanyakan areal yang ada sangat sesuai untuk up-land agroforestry yaitu luasnya 6537,1 ha.Komposisi vegetasi Upland Agroforestry terdiri atas pohon/tanaman kehutanan 16 jenis, tanaman pertanian 10 jenis, ikan 2 jenis, binatang ternak 2 jenis, sedangkan produktivitas lahanupland Agroforestry per ha, pertahun adalah 11 juta rupiah.
Kata Kunci : Multi criteria pengambilan keputusan, metode rangking, kesinambungan lahan. agroforestri. INTRODUCTION
The potencial of Halimun-Salak National Park (HSNP) biology and ecology, can we view as an expensive value and defined to society and their environment in around of HSNP area, so that , this region can be assump as enough big water stock for West Java Province and Banten Province. All farmers in around of HSNP have been live for tens years before HSNP issued by Forestry Departemen of Indonesia as conservation area. Although most of them have been out of this area, a part of them still live in HSNP area up to the present time (JICA, 2007)
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
180
Spatial decision problems typically imvolve a large set of feasible alternatives and multiple, conflicting and incommensurate evaluation criteria. The alternatives are often evaluated by a number of individuals (decition makers, managers, stakeholders, interest groups). The individuals are typically characterized by unicque preferences with respect to the relative importance of criteria on the basis of which the alternatives are evaluated. Accordingly, many spatial decision problem give rise to the GIS-based multicriteria decition analysis (GIS-MCDA). These two distinctive areas of research, GIS and MCDA, can benefit from each other (Malczewski, 2006).Multi-Criteria Decision Making (MCDM) is the study of methods and procedures by which concerns about multiple conflicting criteria can be formally incorporated into the management planning process (Nieminen, 2007).Futhermore Jaya (2006), said that ranking methode is each elemen/criteria given by value based on level importance that perform cardinal rank. Agroforestry is define as the planned combination of trees, crops and/or animal, in certain area , at the same time or at the time series.The other words, any ecology interaction and/or real economic, positif and or negatife among of woody plant system and non woody plant(Nair, 1993). Huxley, (1999) said that agroforestry is a dynamic resources managemen system ecologically with cultivate in agriculture land or grazing area for obtain many sustainable products so that can increase social,economic and environmental benefit for all land user. Agroforest sistem were view as more complex ecology and economic than monoculture system.The production of an Agroforestry system always vary and depend on the others. At least,a componen is woody plant, so that their sycle always more than one year (Nair, 1993). Agroforestry system also have local characteristics, because of it’s have to favorable toward ecology,social- economic and institutions.It’was show that Agroforestry were multydisipliner, for example Aqgronomyr, hortyculture, forestry, social, economic, and technology (Huxley,19 99) Agroforestry is an important in the society of TNGHS as livelihood , the up-land suitability have never observed yet, while their productivity have not yet reach optimum. The other side, water, soil and climate factors seems to support the farm system on that site.Based on that information above, that s research would be done as follow,” Application of Multi Criteria Decision Making (Ranking Method ) Analysis for Suitability up-Land Agroforestry .” The Objectives of this research are To define criteria and indicator to find suitable area for Agroforestry by rangking- weighting method and GIS analysis, to define Suitability and land for Upland Agroforestry METHODOLOGY Materials : - Digital Camera - GPS - Maps - Computer - Software : Arcview 3,2
Application Of Multi Criteria Decition Making (Ranking Methode ) Analysis For Suitability
Agroforestry Up-Land
Budiaman
181
Method : Multy Criteria Decition Making ---> Ranking Methode (each elemen/criteria given by value based on level importance that perform cardinal rank. For example) : 1 = weakly important 2 = moderately 3 = important 4 = very important 5 = extremely important Sampling Method : - Purposive sampling (Sukagali village) - Number of family Population (population size) = 36 - Number of Sample = 10 - Sampling Intensity = 10/36×100% = 27% Primary Variable Observation a. Identity Agroforestry Farmers b. Ground check : UTM, Slope, Elevation, Distance of ( Main river, Small river, Road and Settlement) c. Semi structure Interview : Scoring to define the Priority of plant choosen in their Agroforestry Conponent based on farmers opinion. Secondary Data : - Maps - Social & Economic data - Population - Community - Livelihood - Others related the topics Data Analysis and Modelling Ranking weighting method Definition : Rangking methode is each elemen/criteria given by value based on level importance that perform cardinal rank. For example : 1= Weakly important 2= Moderately 3= Important 4= Very Important 5= Extreemly important Ranking weighting formulation as follows :
W : weight r : Indicator ranking j : Criteria ki : Indicator
2. GIS Analysis
GIS analysis use were , scoring , overlay , query , calculation and modelling. Model Analysis ( Jaya, 2006) was used as follows : Y = W1X1 + W2X2 + W3X3 + W4X4 + W5X5 + W6X6 Where : Y = Land Suitability W1 :: Weight of soil fertility X1 : Indicator of soil fertility W2 :: Weight of slope X2 : Indicator of slope W3:: Weight of elevation X3 : Indicator of elevation W4 :: Weight of river distance X4 : Indicator of river distance W5:: Weight of road distance X5 : Indicator of road distance W6:: Weight of settlement distance X6 : Indicator of settlement
1kjkik1ijkiijr/rw
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
182
distance Socio economic Analysis Social-economic data were collected would be analyzed by descriptive analysis.
RESULTS AND DISCUSSION Criteria and Indicator :
Criteria and Indicator were used based on Semi Structure Interview from the rom the Agroforestry farmer as follow ::
Application Of Multi Criteria Decition Making (Ranking Methode ) Analysis For Suitability
Agroforestry Up-Land
Budiaman
183
No.
Criteria
Indicator
Verifier
Score
1.
Soil
Soil fertility
Fertile soil
5
2.
Slope
0 - >45 %
0-8 %
1
8-15 %
2
15-25 %
5
25-45 %
4
45->45 %
3
3.
Elevation
500 – 1250 m
500 – 750
1
> 750 – 900
2
> 900 – 1000
5
> 1000 – 1150
4
> 1150 – 1250
3
4.
River / Water distance
0 – 500 m
0 -100
5
100 – 200
4
200 – 300
3
300 – 400
2
400 – 500
1
5.
Road distance
0 – 1000 m
0 – 200
5
200 – 400
4
400 – 600
3
600 – 800
2
800 – 1000
1
6.
Settlement distance
0 – 1000 m
0 – 200
5
200 – 400
4
400 – 600
3
600 – 800
2
800 - 1000
1
Rangking Weighting Method Weghting of criteria and indicator
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
184
Criteria and Indicator
Value
Total
Weight
1
2
3
4
Soil (X1)
5
5
5
5
25
0.362
Slope (X2)
2
2
2
2
8
0.126
Elevation (X3)
1
1
1
1
4
0.068
River distance (X4)
5
5
5
5
25
0.362
Road distance (X5)
4
4
4
4
16
0.232
Settlement distance (X6)
3
3
3
3
12
0.17
Total
69
1
Based on the criteria and indicator have observed by Semi Struture Interview and Groundchek , modelling can be model as follow : Model: Y = 0,362 X1+ 0.126 X2 + 0.068 X3 + 0.362 X4 +0.232 X5 + 0.17 X6
Application Of Multi Criteria Decition Making (Ranking Methode ) Analysis For Suitability
Agroforestry Up-Land
Budiaman
185
Up-Land Suitability Agroforestry
lLand suitability of up-land Agroforestry in were show in Ficture1.The picture showed that distribution of land suitability in around the corridor of Halimunp-Salak Nasional Park. Most of them very suitable for agroforestry 65371,1 ha. The land remained were suitable is 2461,4 ha, and less suitable is 512,2 ha (Table 1). It’s suggested that there were water resources abundan , and large origin forest in around the Agroforestry was always support It’s agroforestry system. The farmers have a soil vertility as priority to define their land, which water source distance were main cosideration Tabel 1. Suitability Class and the Large of up-Land Agroforestry
No.
Suitability Class
Area(Ha)
1.
Less Suitable
514.2
2.
Suitable
2461.4
3.
Very Suitable
6537.1
Total
9512.7
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
186
Social-Economic Aspect Based on Semi structure Interview had been done for Agroforestry farmer, we can perform the results as below
1. Composition of Existing Agroforestry
a. TREES ( Wood, Multi Purpose Trees,Shrubs,Podder trees)
1. Durian
2. coconut
3. Avocado
4. orange
5. jackfruit
6. clove
7. Banana
8. Albizia
9. Jackfruit
10. Uruhiris
11. Mahoni
12. Bamboo
13. Tea
14. Rubber
15. Coffea
16. Pete
b. CROPS
banana; chilli, tomato, long bean, lettuce,paddy rice,corn, brocolly,papaya
c. Fisheries :
Nila and gold fish
d. Animal :
Chicken, and Goat
2. Land productivity
Average of Income per ha per year is 11 million rupiahs
3. The farmers needed based on economic value as below:
a. Trees will cultivate : coconut, Avocado,orange, jackfruit, clove, b. Crops: chilli, tomato, long bean, lettuce, c. Skill : training of cultivation, d. Capital work: financial institution e. Wood need for : House construction material, fuel wood, and not for sale. CONCLUTION
1. The criteria and indicators had obtained for weighting suitable up-land Agroforestry as below :Soil,Slope,Elevation,River distance,Road distance,Settlement distance
2. The suitability class of up-land agroforestry in Coridor area consist of three classes namly ; less sutability with large 514,2 ha, suitable 2461,4 ha, and very suitable 6537,1 ha
3. Most of the area very suitable for up-land agroforestry 6537,1 ha.
4. The composision of Agroforestry consist of trees 16 kinds, crops 10 kinds, fisheries 2 kinds, animal 2 kinds.
5. Land productivity of Agroforestry per ha, per year is 11 million rupiahs
6. The agroforestry farmer supposed to use the area very suitable class for optimize their agroforestry productivity.
7. It’ supposed to use the criteria and indicators for GIS- weighting suitable up-land Agroforestry as below :Soil,Slope,Elevation,River distance,Road distance,Settlement distance
REFERENCES
JICA, 2007. Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Gunung Halimun-
Application Of Multi Criteria Decition Making (Ranking Methode ) Analysis For Suitability
Agroforestry Up-Land
Budiaman
187
Salak Nasional Park Management Project. Huxley, P. 1999. Tropical Agroforestry. Malczewski,J.,2006. GIS-based Multicriteria Decision Analysis : a Survey of the Literature. International Journal of Gegraphical Information Science (Vol.20,No.7,August, 2006, 703-726)..
Nair, PKR., 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers Group. Netherland.
Nieminen, J. GIS and Multicriteria Decision Analysis. Departement of Forest Resource Management, University of Helsinki.
Jaya, SN., 2006. Tehnik-tehnik Pemodelan Spasial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Naskah Masuk : 28 Maret 2008
Naskah Diterima : 26 Mei 2008
189
PERENCANAAN HUTAN KOTA DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA WATAMPONE Syamsu Rijal Dosen Fakultas Kehutanan UNHAS ABSTRACT This watchfulness aims to identify city forest need and plan green air-g at Watampone City. Watchfulness result shows that is green air-g vast that is wanted at City Watampone based on approach ecological in the year 2008 for the width of 59,05 ha with citizen total 118.099 soul. City forest development planning is done at three districts East at City Watampone that is district West Tanete Riattang, Tanete Riattang, and Tanete Riattang green opened city/space forest development can be done by intensification and manner extensification, the planning is done with see adaptation between directive RTRW City Watampone Keywords : RTRW, Planning, GIS
PENDAHULUAN Pembangunan dan perkembangan kota yang semakin pesat membawa konsekuensi makin meningkatnya kebutuhan lahan untuk mengakomodasi pembangunan dan perkembangan kota tersebut. Lahan-lahan yang berubah fungsi menjadi kawasan terbangun adalah lahan-lahan kosong potensial untuk dikembangkan seperti perkebunan, pertanian, padang rumput, belukar, dan lahan terbuka serta ruang terbuka hijau lainnya. Akibatnya, lahan terbuka hijau dan ruang terbuka hijau lainnya semakin terdesak dan sempit. Ruang terbuka hijau sebenarnya juga merupakan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan, seperti juga halnya fasilitas sosial lainnya, seperti peribadatan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Ruang terbuka hijau juga termasuk salah satu elemen kota dan kehadirannya dalam suatu kota didasarkan pada ketentuan dan standar-standar tertentu.
Pembangunan di wilayah perkotaan mempunyai kecepatan yang mengagumkan dan perkembangan ini dijumpai pada semua sektor terutama sektor ekonomi. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan fasilitas pendukung menjadi sangat penting. Upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana ini pada wilayah perkotaan menjadi kebutuhan dan akibat terbatasnya sumber daya lahan maka akan terjadi konversi lahan hijau untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Perubahan penggunaan lahan ini akan menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan. Selain itu, perkembangan ini akan mengakibatkan pula keberadaan ruang terbuka hijau kota sebagai salah satu komponen ekosistem kota menjadi kurang diperhatikan walaupun keberadaan ruang terbuka hijau kota diharapkan dapat menanggulangi masalah lingkungan di perkotaan (Zoer`aini, 1995). Salah satu akibat langsungnya adalah berkurangnya keragaman vegetasi yang juga
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
190
berpengaruh pada kondisi lingkungan yang semakin buruk. Kondisi lingkungan yang semakin buruk ini, dapat pula mempengaruhi pola tingkah laku dan kondisi kehidupan makhluk hidup khususnya manusia, sehingga ruang terbuka hijau yang ada harus diperhatikan dan diperluas serta diintensifkan fungsinya. Keserasian dan keselarasan ruang terbuka hijau dengan laju pembangungan kota akan menunjang kelestarian makhluk hidup, khususnya manusia (Mangunsong dan Sihite, 1994). Cerminan perkembangan pembangunan kota dapat terlihat pada pemandangan fisik kota yang mempunyai kecenderungan meminima-lkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan visualisasi alamnya. Lahan-lahan perkotaan banyak yang dialih fungsikan menjadi pemukiman, pertokoan, tempat industri dan lain-lain. Keadaan yang kurang harmonis antara manusia dengan lingkungan mengakibatkan lingkungan perkotaan hanya maju secara ekonomi namun mundur secara ekologi. Terganggunya kestabilan ekosistem perkotaan juga akan berdampak pada penurunan air tanah, intrusi alir laut, banjir/genangan, penurunan permukaan tanah, abrasi pantai, pencemaran air seperti air minum berbau dan mengandung logam berat, pencemaran udara seperti meningkatnya kadar CO, menipisnya lapisan ozon, pencemaran karbondioksida dan belerang serta pemandangan suasana yang gersang. Disamping itu terjadi polusi suara atau bunyi berupa tingginya tingkat kebisingan.
Kondisi pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun yang semakin tinggi dan perkembangan pembangunan fisik kota yang sangat pesat menyebabkan perencanaan ruang terbuka hijau untuk masa yang akan datang baik dari segi kualitas maupun kuantitas menjadi sebuah hal yang sangat penting sehingga keselarasan lingkungan alam dan lingkungan binaan dapat terwujud. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan merencanakan hutan kota/ruang terbuka hijau di Kota Watampone METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus tahun 2008 yang bertempat di Kota Watampone Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk survey ke lapangan untuk mendapatkan informasi/data. Data atau informasi yang diperoleh dianalisis dengan dua tahap : 1. Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) Data yang telah dikumpulkan dari inventarisasi dan survey serta wawancara dianalisis dan dibandingkan dengan penutupan lahan Kota Watampone berdasarkan Peta SPOT 4 Kota Watampone dengan bantuan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Peta dari Google Earth. Hal ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan lahan terbuka (open space) di Kota Watampone dan untuk mensimulasi penempatan hutan kota beberapa tahun kedepan. 2. Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau dengan Pendekatan Ekologis Penentuan kebutuhan luasan ruang terbuka hijau dihitung dengan menggunakan pendekatan ekologis dan metode bunga berganda. Pendekatan ekologis berdasarkan atas kemampuan tumbuhan hijau dalam menyerap atau menetralisir CO2 yang dihasilkan oleh manusia. Menurut Mangunsong dan Sihite (1994) bahwa 1 ha ruang terbuka hijau mampu menyerap CO2 yang dikeluarkan oleh 2000 orang manusia atau 5 m2 per penduduk.
Perencanaan Hutan Kota Dengan
Sistem Informasi Geografis Di Kota Watampone
Syamsu Rijal
191
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mangunsong dan Sihite (1994) mengemukakan pendekatan ekologis yaitu setiap 1 ha Ruang Terbuka Hijau mampu menyerap CO2 yang dikeluarkan oleh 2000 orang manusia atau 5 m2 perpenduduk. Dengan mempergunakan pendekatan pada kemampuan tanaman dalam menyerap CO2 ini pula maka dapat diketahui kebutuhan ruang terbuka hijau di Kota Watampone pada tahun 2007 yaitu :
1. Tabel Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau pada Tiap Kecamatan di Kota Watampone pada Tahun 2008.
No.
Kecamatan
Luas Wilayah (ha)
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Kebutuhan RTH (ha)
1.
Tanete Riattang Barat
5.368
37.266
18.6330
2.
Tanete Riattang
2.379
43.403
21,7015
3.
Tanete Riattang Timur
4.888
37.430
18,7150
Total
12.635
118.099
59,0495
Pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat, baik yang disebabkan oleh kelahiran maupun angka urbanisasi, serta pertambahan sarana dan prasarana pendukung berakibat terhadap penggunaan lahan yang pada akhirnya akan menggeser daerah ruang terbuka hijau (RTH) kota. Hal ini terjadi apabila daerah ruang terbuka hijau dianggap sebagai pelengkap saja dan dalam peruntukannya lebih dipandang sebagai areal konsumtif dan bertujuan sosial. Tergesernya daerah ruang terbuka hijau kota secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas lingkungan kota yang pada akhirnya mempengaruhi kehidupan manusia (Sihite dan Intan, 1997). Keserasian dan keselarasan antara ruang terbuka hijau dengan pembangunan kota akan menunjang terciptanya kualitas lingkungan yang baik sehingga akan mendukung terciptanya kesejahteraan makhluk hidup, khususnya manusia (Mangunsong & Sihite, 1994).
Rijal (2000) melakukan perhitungan luasan RTH yang dibutuhkan di Kota Watampone pada tahun 2005 dengan luas kebutuhan ruang terbuka hijau pada saat itu adalah 55,3495 ha. Kebutuhan ruang terbuka hijau pada tahun 2007 yang diperlihatkan pada Tabel 1 adalah sekitar 59,0495 ha dengan jumlah penduduk pada saat itu adalah 118.099 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya populasi atau jumlah penduduk maka akan berbanding lurus dengan kebutuhan ruang terbuka hijau, sehingga sangat perlu menyiapkan rancangan dan lahan untuk dimanfaatkan sebagai daerah RTH atau hutan kota di Kota Watampone.
Dengan data kependudukan pula, kebutuhan ruang terbuka hijau atau hutan kota dapat dilihat perkembangannya dari tahun ke tahun hingga sekarang bahkan beberapa tahun kemudian. Data dan hasil analisis kebutuhan ruang terbuka hijau atau hutan kota di Kota Watampone lima tahun terakhir disajikan dalam tabel 2 berikut :
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
190
Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau/Hutan Kota Per Kecamatan dalam Lima Tahun Terakhir.
Peningkatan jumlah penduduk yang besar akan mempengaruhi keberadaan ruang terbuka hijau (RTH). Dengan demikian perlu suatu pengaturan keberadaan ruang terbuka hijau yang terencana kedepan baik secara kualitas maupun kuantitas, dengan memperhatikan pengaruh pertumbuhan penduduk, prasarana dan sarana penunjang kehidupan masyarakat. Upaya peningkatan kualitas hidup dengan meningkatkan kualitas lingkungan harus senantiasa dilakukan dengan perencanaan yang matang. Untuk perencanaan pembangunan hutan kota di Kota Watampone dapat dilakukan berdasarkan PP No. 63 tahun 2002 yaitu setiap wilayah perkotaan ditetapkan kawasan tertentu dalam rangka penyelenggaraan hutan kota yang meliputi penunjukan, pembangunan, penetapan, dan pengelolaan.
Kota Watampone telah menunjuk tiga lokasi rencana pembangunan hutan kota yang berada di dua kecamatan yaitu Tanete Riattang Barat (satu lokasi) dan Tanete Riattang (dua lokasi) yang masing-masing memiliki luas lebih kurang dua hektar. Lokasi hutan kota di Kecamatan Tanete Riattang Barat berada tepat di wilayah pengembangan kota untuk perdagangan yakni pada daerah pembangunan Terminal Petta Ponggawae dan pembangunan Pasar Sentral Watampone..Dua lokasi lainnya berada pada wilayah Kecamatan Tanete Riattang yakni pada wilayah pengembangan sarana prasarana olah raga Macanang yakni sekitar GOR Macanang seluas dua hektar dan kawasan penimbunan sampah di daerah Wellalange seluas dua hektar.
Pembangunan ketiga lokasi ini tidak luput dari upaya pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam meningkatkan kualitas lingkungan dengan label kegiatan go green. Upaya ini dilakukan disetiap kabupaten/kota dengan luas berkisar lima hektar per kabupaten/kota yang sedapat mungkin luas wilayahnya kompak. Selain itu, pemerintah Kabupaten Bone juga telah mengembangkan konsep hutan kota untuk rekreasi dan wisata yang berada pada wilayah Tanjung Pallete pada Kecamatan Tanete Riattang Timur. Masyarakat Kota Watampone dan masyarakat Sulawesi Selatan umumnya telah menikmati panorama dan keindahan tempat rekreasi ini di wilayah semenanjung ini. Selain itu, di Kecamatan Tanete Riattang Timur pada wilayah Kelurahan Cellu sebagai wilayah pengembangan industri dapat dikembangkan hutan kota tipe industri sebagaimana yang diperlihatkan pada peta berikut:
Jumlah Per Kecamatan
Tanete Riattang Barat
Tanete Riattang
Tanete Riattang Timur
2003
2004
2005
2006
2007
2003
2004
2005
2006
2007
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah Penduduk
36.526
36.659
36.991
37.119
37.266
42.542
42.697
43.082
43.232
43.404
36.687
36.820
37.153
37.282
37.431
Kebutuhan RTH
18,263
18,329
18,495
18,559
18,633
21,271
21,348
21,541
21,616
21,702
18,343
18,41
18,576
18,641
18,715
Perencanaan Hutan Kota Dengan
Sistem Informasi Geografis Di Kota Watampone
Syamsu Rijal
191
.
Gambar 2. Peta Rencana Pengembangan Hutan Kota di Watampone.
Penunjukan dan pembangunan hutan kota di Kota Watampone masih memungkinkan karena wilayah kosong yang belum termanfaatkan secara optimal masih tersedia. Hal ini dimungkinkan pula oleh PP No. 63 tahun 2002 dimana hutan kota dapat dibangun pada tanah milik dengan pembiayaan sendiri maupun subsidi atau kompensasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bone. Pembangunan hutan kota dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :
a. Penataan areal hutan kota
b. Penanaman
c. Pemeliharaan
d. Pembangunan sipil teknis.
Perencanaan lokasi ruang terbuka hijau di Kota Watampone selain beberapa wilayah perencanaan sebelumnya antara lain :
1. Untuk kawasan industri direncanakan untuk dikembangkan pada Kecamatan Tanete Riattang Timur yang juga memiliki aksess darat dan laut antara beberapa provinsi. Perencanaan untuk pengembangan ruang terbuka hijau tipe industri, dikategorikan menjadi dua jenis peruntukan industri yaitu industri kecil dan menengah yang berada pada pusat kota dan industri menengah ke atas yang ditempatkan di Kelurahan Cellu Kecamatan Tanete
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
192
Riattang Timur. Luas wilayah tipe industry dapat dikondisikan karena ketersediaan lahan yang cukup luas (lebih kurang 25 ha).
2. Pengembangan RTH untuk taman dan lapangan olah raga yang telah ada tetap dipelihara dengan luas sekitar 5 ha khususnya yang berada di pusat kota yakni pada wilayah Kecamatan Tanete Riattang. 3. Jalur hijau yang menjadi salah satu sasaran pengembangan ruang terbuka hijau, dikembangkan pada wilayah-wilayah jalan arteri (utama) dengan penanaman kanan kiri jalan serta tengah jalan (3-5 ha) dan jalan kolektor (penghubung) dengan penanaman kanan kiri jalan atau jalur tengah/median jalan (6-8 ha) serta jalan lokal (lingkungan) dengan penanaman pada salah satu sisi jalan (6-9 ha). 4. Pengembangan ruang terbuka hijau tipe hutan wisata atau kawasan konservasi dialokasikan di Kecamatan Tanete Riattang Timur pada daerah Wae Tuo dan Pallete hingga Cempalagi, Kecamatan Tanete Riattang Barat pada daerah terminal dan pasar baru, dan Kecamatan Tanete Riattang pada wilayah pusat kota pada wilayah Tana Bangkalae dan Bola Soba. 5. Ruang terbuka hijau yang diperuntukkan untuk tipe taman kota dialokasikan di Kecamatan Tanete Riattang dengan luas sekitar 2 ha.
Kebutuhan akan RTH ini akan terus meningkat/bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Oleh karena itu usaha pengembangan RTH tidak hanya dapat dilakukan pada usaha pengadaan taman kota dan jalur hijau seperti yang selama ini dilaksanakan tetapi perlu usaha pengembangan di daerah-daerah yang mempunyai potensi tata hijau seperti kawasan industri, kawasan bantaran sungai dan kanal, halaman/pekarangan rumah penduduk, kawasan bisnis dan perdagangan maupun kawasan lainnya. Usaha pengembangan ruang terbuka hijau dapat dilaksanakan dengan cara intensifikasi dan cara ekstensifikasi. Cara yang pertama (intensifikasi) adalah usaha penanaman tanaman untuk memperbaiki mutu tata hijau pada wilayah-wilayah yang sebelumnya sudah merupakan daerah tata hijau. Penanggulangan ruang terbuka hijau ini dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti melaksanakan pembangunan rumah susun di daerah pemukiman padat dan melakukan tanggung renteng penetralan CO2, disamping mengoptimalkan pemanfaatan ruang terbuka. Optimalisasi ruang terbuka hijau yang telah ada dapat dilakukan dengan melakukan penanaman vegetasi dari jenis-jenis yang berbeda untuk menciptakan struktur berlapis. Kondisi ini akan menyebabkan kemampuan RTH akan bertambah besar dan optimal dalam menetralisir CO2 karena dengan pengaturan jenis dan komposisi tanaman yang ada dalam suatu lahan ruang terbuka hijau yang sebelumnya memiliki kemampuan yang rendah maka kemampuan tata hijau tersebut juga semakin tinggi dengan komposisi berlapis dari strata semak, pancang, tiang,dan pohon. . Salah satu jalan yang juga dapat ditempuh yakni pembangunan pemukiman penduduk berbentuk rumah susun akan tetap menjamin ketersediaan ruang terbuka hijau dan berimplikasi terhadap tetap terjaganya kualitas lingkungan (Rijal, 2000).. Cara intensifikasi dapat dilakukan pada daerah-daerah yang tidak dimungkinkan lagi untuk dilaksanakan penambahan luas ruang terbuka hijau karena keterbatasan lahan. Kondisi seperti ini dapat ditemukan didaerah pusat Kota Watampone khususnya pada wilayah padat pemukiman.
Perencanaan Hutan Kota Dengan
Sistem Informasi Geografis Di Kota Watampone
Syamsu Rijal
193
Intensifikasi juga dapat dilakukan dengan melakukan upaya peningkatan fungsi ruang terbuka hijau yang telah tersedia dengan cara sebagai berikut :
1. Pembangunan/perbaikan serta pemeliharaan taman-taman kota yang telah ada sehingga dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
2. Penanaman tanaman perdu dan pohon pada halaman rumah penduduk dan halaman perkantoran atau instansi-instansi baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta serta institusi pendidikan yang ada di Kota Watampone.
3. Penanaman tanaman dengan mempergunakan pot sebagai tempat penanamannya dan mempergunakan sistem roof garden untuk daerah-daerah pemukiman padat, fasilitas bisnis seperti pertokoan, pasar, dan hotel/wisma serta toko/ruko yang bertingkat.
4. Perbaikan lapangan olah raga sebagai fasilitas pemerintah dan masyarakat.
5. Pengembangan ruang terbuka hijau pada jalur kanan kiri jalan, jalur tengan/median.
6. Pengembangan ruang terbuka hijau pada daerah-daerah sempadan sungai, pinggir-pinggir kanal dan pesisir pantai.
Cara yang kedua adalah dengan system ekstensifikasi untuk pengembangan ruang terbuka hijau yaitu upaya pemenambahan luasan/pengadaan luasan baru daerah tata hijau. Ekstensifikasi dapat dilakukan pada wilayah-wilayah yang masih cukup memuingkinkan seperti pada kawasan pengembangan industri (kec. Tanete Riattang Timur), seluruh daerah-daerah cadangan pemukiman yang tersedia disetiap kecamatan dan pengembangannya harus mempertimbangkan antara jumlah pemukiman/penduduk dengan ruang terbuka hijau dalam pembangunannya.
Pembangunan kawasan industri di dekat pemukiman berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kelestarian lingkungan dan penghuninya sehingga sangat perlu dibangun hutan kota yang berfungsi sebagai sonazi atau upaya isolasi polutan dari kawasan industri tersebut. Tipe hutan kota industri berperan sebagai penangkal polutan yang berasal dari limbah industri, baik berbentuk cair maupun padat yang bukan hanya dapat mengganggu karyawan-karyawan pabrik disekitar wilayah industri namun juga dapat mengancam penduduk disekitarnya melalui aliran sungai maupun yang terbawa oleh angin. Selain itu ruang terbuka hijau tipe industri juga dapat berperan sebagai tempat istirahat bagi para karyawan pabrik. Kecenderungan lain yang terjadi adalah semakin meningkatnya kebutuhan penduduk untuk menikmati suasana alami dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat dilihat bahwa semakin banyak masyarakat keluar kota untuk mencari dan menikmati keindahan alam terbuka baik diwaktu libur maupun diwaktu senggang. Sehingga perlu dibangun lagi kawasan ruang terbuka hijau dalam bentuk hutan kota wisata/rekreasi maupun hutan konservasi untuk melindungi jenis-jenis yang langkah yang sekaligus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara umum. Pembangunan Kota Watampone kedepan harus tetap ,mengacu pada tata ruang wilayah kota yang ada. Tanpa perencanaan yang baik dan tepat maka pemanfaatan ruang/lahan tidak dapat dilakukan secara optimal sehingga akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang tinggi sehingga memerlukan biaya yang sangat besar untuk memperbaikinya dan terkadang harus mengorbankan kepentingan tertentu. Kawasan yang merupakan daerah potensi tata hijau untuk pengembangan ruang terbuka hijau adalah :
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
194
1. Penataan RTH Perumahan / Pemukiman Penghijauan pada kawasan perumahan adalah penataan ruang terbuka hijau pada halaman/pekarangan rumah. Kawasan ini merupakan lahan milik perorangan maka dalam penetapan kriteria bentuk ruang terbuka hijau sepenuhnya tergantung pada pemiliknya. Namun demikian pemilihan tanaman sebaiknya disesuaikan dengan lingkungan disekitarnya dan tipe RTH permukiman serta tidak mengganggu jaringan utilitas umum disekitarnya. Penataan tata hijau pada kompleks perumahan bertujuan untuk pengelolaan lingkungan pemukiman sehingga yang harus dibangun adalah ruang terbuka hijau tipe pemukiman. Tipe pemukiman dititikberatkan pada keindahan, penyejukan, tempat bermain, dan santai (Endes, 1992). Jenis-jenis yang dapat ditanam pada tipe pemukiman ini adalah Nangka (Arthocarpus integra), Kenanga (Canangium odoratum), Sirsak (Annona muricata), Rambutan (Nephelium lappaceum), Asam Keranji (Ptecelubium dulce), dan lain-lain. 2. Penataan RTH Kawasan Bisnis dan Perdagangan Penghijauan pada kawasan bisnis dan perdagangan mencakup usaha penataan areal parkir dan halaman dengan maksud memberikan batas terhadap suasana dan kegiatan yang ditimbulkan oleh lingkungan sekitar, memberikan kesan keteduhan dan keindahan serta memperkecil/mengurangi tingkat polusi. Jenis yang dapat ditanam dalam kawasan ini adalah Beringin (Ficus benjamina), Pinus (Pinus merkusii), Bambu Kuning (Bambusa vulgaris), dan Boungenvil (Boungainvillea spectabilis). 3. Penataan RTH Kawasan Industri Pengembangan RTH kawasan industri dikonsentrasikan di zona tepi yang berarti daerah yang mempunyai kepadatan penduduk rendah. Pembangunan ruang terbuka hijau kawasan industri mempunyai fungsi sebagai penyerap dan penjerab polutan, tempat istirahat para pekerja dan tempat parkir kendaraan. Pengembangan RTH kawasan industri bukan hanya bermanfaat bagi pekerja/karyawan tetapi juga bermanfaat bagi penduduk yang bermukim disekitar kawasan industri tersebut. Pemilihan jenis tanaman dikawasan ini juga perlu diperhatikan. Menurut Fakuara dkk (1987) pemilihan jenis tanaman untuk kawasan industri haruslah tanaman yang mampu menyerap polutan yang dihasilkan oleh aktivitas industri. Karena itu pemilihan tanaman pada kawasan industri nilai keindahannnya bukan menjadi tujuan utama tetapi lebih berorientasi kepada pola penghijauan yang dapat memberi kesan kenyamanan. Untuk itu tanaman yang dipilih memiliki sifat-sifat antara lain :
a. Berbentuk pohon
b. Mempunyai bentuk tajuk yang tinggi
c. Mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan kawasan industri
d. Percabangan pohon yang tinggi
e. Tidak menghasilkan buah atau kotoran yang lambat terurai
f. Intensitas pemeliharaan minim
g. Dominan berwarna hijau
h. Struktur daun berbulu/kasar.
Anternatif tanaman yang dapat ditanam disekitar kawasan industri adalah Damar (Agathis alba), Bungur (Lagestromia speciosa), Tanjung (Mimusops elengi), Kirai Payung (Filicium decipiens).
Perencanaan Hutan Kota Dengan
Sistem Informasi Geografis Di Kota Watampone
Syamsu Rijal
195
4. Penataan RTH Taman Kota Taman yang dimaksud disini adalah taman yang bersifat public facility dan tidak ada pungutan untuk menikmatinya. Taman yang bersifat dekoratif merupakan ruang terbuka yang tidak boleh dibanguni kecuali beberapa fasilitas penunjang. Penanaman tanaman ini didasarkan atas fungsi yang diembannya yaitu fungsi estetika, fungsi ekologis, dan fungsi sosial. Aspek manfaat merupakan prinsip utama sebuah taman kota. Kelegaan taman menjadi prioritas utama agar dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak. Taman yang penataannya kurang teratur tidak akan dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga tak jarang ditemui taman-taman kota yang akhirnya terbengkalai karena tidak pernah digunakan oleh masyarakat. Adapun jenis-jenis tanaman yang cocok untuk taman kota ialah Palem Raja (Oerodoxa regia), Puspa (Schima wallichii), Flamboyan (Delonix regia) dan Cemara Angin (Casuarina mountana). 5. Penataan RTH Jaringan Jalan Penataan RTH ini dilakukan berupa penghijauan sepanjang jalur jalan, baik merupakan jalur tepi kanan kiri jalan maupun jalur tengah (median). Fungsi unsur hijau disini adalah sebagai pengaman, pelindung, pemberi arah serta memberi pandangan visual pada pengemudi dan mengurangi pencemaran udara serta bunyi bising dari kendaraan bermotor. Yang harus diperhatikan dalam pengembangan RTH pada jaringan jalan ini adalah :
a. Jarak penanaman antar pohon dan hirarki jalan yang akan menentukan karakteristik pergerakan.
b. Penempatan pohon dan lampu harus diperhitungkan antara bentuk/ukuran tajuk pohon dengan atribut jalan.
c. Agar tidak terkesan monoton dan menghindari tajuk pohon saling bertemu maka pohon ditanam selang-seling .
d. Selain kriteria keamanan pada daerah tikungan jalan, diperhatikan pula kenampakan visual yang memberikan kesan estetika.
A. Jalur Hijau
Pengembangan RTH dijalur tepi jalan untuk memenuhi fungsi : ( i ) Peneduh Tanaman yang akan dijadikan sebagai peneduh harus memiliki syarat percabangan tidak merunduk, struktur daunnya padat, sistem perakaran tidak muncul keatas permukaan tanah karena dapat merusak konstruksi jalan. Tanaman yang cocok untuk peneduh adalah Mahoni (Switenia macrophylla), Pohon Sapu Tangan (Amhersti nobilis). Tanjung (Mimusops elengii) dan lain-lain. ( ii ). Penyerap Polusi Udara Penyebab pencemaran udara terbesar adalah berasal dari mesin kendaraan bermotor. Bahan pencemar yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor tersebut diantaranya NO2, SO2, debu dan timbal (Pb). Debu dan timbal merupakan pencemar terbesar (Anonim, 1997b).
Syarat tanaman yang dapat digunakan sebagai penyerap polusi udara adalah memiliki ketahanan tinggi terhadap pengaruh udara,
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
196
struktur daunnya padat dengan jarak tanam yang rapat. Jenis-jenis yang dapat ditanam sebagai penyerap polusi udara adalah Kirai Payung (Filicium decipiens), Kenari (Canarium commune), dan Mahoni (Switenia macrophylla). Pohon-pohon tersebut dapat mengurangi polusi udara 47 % sampai 69 % (Hasdiana, 1999). B. Jalur Tengah (Median) Jalur tengah (median) sangat berpotensi menjadi taman yang berfungsi dekoratif jika perencanaan dan perancangannya dilakukan dengan baik. Pemeliharaan taman dan, tanaman yang ditanaman juga harus memperhatikan kerapatan jenis sehingga terkadang saling tumpang tindih. Penggunaan jenis pohon yang bercabang pada jalur tengah (median) harus dihindari karena menimbulkan efek bayangan sehingga mengundang pejalan kaki untuk berjalan disekitar jalur tersebut. Pohon yang bercabang rendah dapat digunakan pada jalur tengah ini namun harus dilaksanakan pemangkasan secara rutin. Jenis pohon yang dapat dipergunakan pada jalur tengah ini adalah Glodokan Tiang (Polyathia longifolia Pendula). 6. Penataan RTH Kawasan Bantaran Sungai dan Kanal Pembangunan RTH kawasan bantaran sungai dan kanal dilakukan dengan memilih jenis tanaman yang dapat mengikat struktur tanah sehingga dapat berfungsi sebagai zona penyangga dan konservasi. Kriteria umum pemilihan tanaman untuk kawasan ini adalah :
- Sistem perakaran tanaman mampu mengikat struktur tanah.
- Tidak memerlukan perawatan yang intensif.
- Batang kuat dan elastis.
Jenis tanaman yang dapat dipilih adalah Akasia (Acacia auriculiformis), Angsana (Pterocarpus indicus) dan Ketapang (Terminalia catappa). Untuk daerah pinggiran kanal sangat dibutuhkan tanaman karena tanaman tersebut dapat menciptakan nilai estetika dan dapat menyekat bau yang berasal dari kanal itu sendiri. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan di Kota Watampone maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Luas ruang terbuka hijau (RTH) yang dibutuhkan di Kota Watampone berdasarkan analisi ekologis yakni analisis yang melihat jumlah penduduk dan kemampuan tanaman dalam menyerap/menetralisir CO2 yang dihasilkan oleh manusia pada tahun 2008 adalah sekitar 59,05 ha dengan jumlah penduduk 118.099 jiwa.
2. Perencanaan pembangunan hutan kota di Kota Watampone dilakukan di Kecamatan Tanete Riattang Barat pada wilayah pengembangan perdagangan (Pasar Sentral dan Terminal), Kecamatan Tanete Riattang (Daerah GOR Watampone dan TPA), serta Kecamatan Tanete Riattang Timur yakni hutan kota wisata (Tanjung Pallette) dan hutan kota tipe industri (Cellu dan Bajoe).
3. Pengembangan ruang terbuka hijau pada kawasan yang padat penduduk dilakukan dengan cara intensifikasi karena tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan penambahan luas ruang terbuka hijau, sedangkan pada daerah yang masih memiliki lahan dilakukan ekstensifikasi.
Perencanaan Hutan Kota Dengan
Sistem Informasi Geografis Di Kota Watampone
Syamsu Rijal
197
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1998. Evaluasi/Revisi Rencana Induk Kota Watampone. Kantor BAPPEDA Kabupaten Bone, Watampone. ______, 2008. Bone dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone, Watampone. Baja, Sumbangan. 1996. Integrasi Citra Satelit Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. Makalah disajikan dalam Pelatihan Survey Tanah Tingkat Regional se-Indonesia Timur, HIMTI Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Endes N . Dahlan, 1992. Hutan Kota, untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Jakarta. Fakuara Y., Y. Ontario, S. Widarmana, B. Pranggono, Sudaryanto, 1987. Konsepsi Pengembangan Hutan Kota. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hasdiana S., 1999. Identifikasi Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kotamadya Ujung Pandang. Laporan Akhir Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar. Mangunsong, I., dan Jamartin Sihite, 1994. Prediksi Kebutuhan Ruanh Terbuka Hijau di Jakarta Barat Tahun 2005. Majalah Trisakti No. 14/Th. IV/4/1994 hal 17-22, Jakarta. Nazaruddin, 1994. Penghijauan Kota. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rijal, Syamsu, 2000. Identifikasi Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Administratif Watampone. Laporan Akhir Jurusan Kehutanan Fakultas Pertaniandan Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Salim, Emil. 1986. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Penerbit PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Sihite, J., dan Nur Intan, 1997. Pengelolaan Pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota. Majalah Trisakti No. 3/Th. I/8/1997 hal. 41-57, Jakarta. Sitorus, S.R. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung : Penerbit Tarsito Sukiyah, Emi. 2000. Pengetahuan Dasar Sistem Informasi Geografi. Pertemuan Ilmiah Tahunan. Forum Mahasiswa Geologi Indonesia (Pin-Forhimagi IV). Bandung : HMG. Universitas Padjajaran. Peraturan Pemerintah RI No. 63, 2002. Hutan Kota. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta. Zoer`aeni, 1995. Hutan Kota dan Lingkungan Kota. Makalah Seminar pada Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknik Lingkungan Universitas Trisakti, Jakarta.
Naskah Masuk : 28 Maret 2008
Naskah Diterima : 26 Mei 2008
199
EVALUASI DISTRIBUSI HARA TANAH DANTEGAKAN MANGIUM, SENGON DAN LEDA PADA AKHIR DAUR UNTUK KELESTARIAN PRODUKSI HUTAN TANAMAN DI UMR GOWA PT INHUTANI I UNIT III MAKASSAR. WAHJUNI HARTATI Dosen Fakultas Kehutanan UNMUL Alamat: Fahutan UNMUL Kampus Gn. Kelua Samarinda75119 e mail wahyunihartati@yahoo.com ABSTRACT The study aims to evaluate nutrient content and nutrient accumulation on above ground biomass and soil nutrient distribution and above ground biomass among the plantation forest stands.The study was carried out in Borisallo forest block of UMR Gowa of PT Inhutani I Unit III Makassar on forest stand plantation of mangium, sengon, and leda of 17 years of age and on virgin forest at Dystrustepts soil. The collected data were analysed descriptively.The study indicates that chemical characteristics of soil on leda stand is better than that of the virgin forest and the best of all other stands. Only the N content which is higher in the virgin stand than in any other stands in the plantation forest. The nutrient content of P, Ca, and Mg are higher in leda, whereas mangium has the highest content of K. Sengon has the least content of all observed nutrients. Mangium has the highest total biomass and nutrient accumulation (N, P, K, Ca, Mg) but sengon has the lowest. The accumulation of N, P, K of mangium is higher than the content found in the soil underneath the stand. On the contrary, Ca and Mg are found higher in the soil. Similar results are found in sengon and leda stands. Based on basal area and dominant height measurements the three-species plantations are considered low in productivity and categorised as site quality I. High clay concentration and soil depth are the main restrictions for good growth of stands and result in a low productivity of the three species stands Key words: plantation,nutrient distribution,mangium,sengon,leda,sustainability PENDAHULUAN
Meluasnya lahan hutan tidak produktif di kawasan hutan alam produksi akibat penebangan yang melebihi riap, kebakaran dan perambahan hutan menyebabkan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman sulit dihindari. Setelah Cina dan India, Indonesia menunjukkan kenaikan terbesar dalam hal luas hutan tanaman. Khusus untuk pulp saja, pada tahun 2005 total kapasitas industrinya telah mencapai 6,45 juta ton atau ekivalen dengan 32,5 juta m3 bahan baku kayu atau 260 ribu hektar tanaman. Bahkan pada tahun 2010 permintaan pulp diperkirakan akan mencapai 80 juta ton per tahun dan meningkat menjadi 100 juta ton per tahun pada tahun 2015 (Bussines News, 2006).
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
200
Pada dekade sekarang Indonesia telah mencadangkan pembangunan hutan tanaman seluas 10 juta hektar (FAO, 1995) dan Antara tahun 1989 sampai dengan tahun 2004 telah terealisasi pembangunan HTI seluas 3.253.006 hektar atau dengan laju pembangunan 216.287 hektar per tahun (Dirjen Bina Kehutanan, 2005 dalam Winarto, 2006). Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tegakan hutan tanaman yang sudah ada, pertumbuhannya tidak menggembirakan sehingga kelestariannya dipertanyakan. Pemanfaatan lahan secara terus menerus serta penggunaan tanaman jenis bagur (fast growing species) yang rakus hara, seragam dalam hal umur maupun komposisi merupakan ciri khas ekosistem hutan tanaman. Di sisi lain, tanah hutan pada umumnya memiliki potensi kesuburan tanah yang rendah. Kedua hal tersebut seringkali luput dari cakupan perancangan studi kelayakan pembangunan hutan tanaman yang biasanya dilakukan secara makro. Hal lain yang perlu menjadi perhatian bahwa hutan tanaman dikelola untuk mengoptimalkan hasil berupa kayu serta diusahakan secara intensif menyebabkan kehilangan hara dari ekosistem hutan menjadi besar. Akibatnya terjadi pengurasan persediaan hara tanah dalam beberapa rotasi saja. Bukti-bukti tentang produktivitas hutan tanaman dalam jangka panjang menyebabkan para rimbawan tidak dapat memutuskan secara tepat apakah sistem silvikultur yang sedang diterapkan dapat diandalkan. Namun, tanpa bukti tersebut tidak dapat ditolak saran-saran yang menyatakan bahwa penggunaan tanaman jenis bagur yang ditanam beberapa rotasi secara berturut-turut merupakan penyebab utama pemiskinan hara tanah.
Banyak bukti menunjukkan bahwa tanaman pada rotasi pertama merupakan tanaman paling produktif selanjutnya diikuti oleh penurunan hasil setiap sub sekuen tanaman sampai waktu penanaman kembali (Kaumi, 1983 dan Jacobs, 1981). Penurunan produktivitas terbesar dikarenakan kematian tanaman sehingga hasil kayu per hektarnya juga menurun Hal ini membuktikan bahwa praktek penanaman dengan spesies yang sama secara terus menerus akan menekan produktivitas lahan (Evans, 1999). Di Jari, yaitu sebuah hutan tanaman yang luas di Amazon kekurangan kation basa secara serius dialami setelah 2-3 rotasi tanam dan penggantian spesies yang ditanam tidak dapat mengubah keadaan sehingga jumlah pemupukan yang besar diperlukan untuk menjaga produktivitas lahan (Mackensen, 2000). Salah satu faktor penyebab pengurasan persediaan hara tanah karena adanya aliran hara keluar ekosistem hutan tanaman yang berupa kehilangan unsur hara pada saat pemanenan, yaitu berupa kandungan unsur hara dalam batang dan kulit kayu yang dikeluarkan dari lahan (Ruhiyat, 1993a). Jenis pohon merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya akumulasi hara pada biomassa tegakan hutan (Satto dan Madgwick, 1982). Unsur-unsur hara yang diimmobilisasikan pada vegetasi cenderung meningkat seiring dengan makin dewasanya tegakan (Ruhiyat, 1993b). Berdasarkan hal tersebut maka pengembangan hutan tanaman dalam skala besar untuk pasokan kayu menuntut adanya informasi kecukupan hara dari beberapa jenis tegakan yang ditinjau dari akumulasinya pada tegakan dan persediaan hara yang ada dalam tanah saat akhir daur. .
Keragaman jenis tegakan, kesamaan dalam umur dan jenis tanah serta kondisi tanaman yang telah mencapai akhir daur tujuan
Evaluasi Distribusi Hara Tanah Dantegakan Mangium, Sengon Dan Leda Pada Akhir Daur
Untuk Kelestarian Produksi Hutan Tanaman Di Umr Gowa PT Inhutani I Unit III Makassar.
Wahjuni Hartati
201
pengusahaan untuk rotasi pertama dijadikan dasar dalam memilih UMR (Unit Manajemem Rehabilitasi) Gowa PT Inhutani I Unit III Makassar dalam melaksanakan penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kelestarian produksi tegakan hutan tanaman yang ditunjukkan oleh akumulasi hara pada biomassa bagian atas tegakan dan persediaan hara dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman daur berikutnya. Selanjutnya, hasilnya diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan di sektor kehutanan maupun pihak lain yang mengusahakan hutan tanaman dalam penentuan tindakan pengelolaan untuk peningkatkan persediaan hara tanah bagi pertumbuhan tegakan pada rotasi-rotasi berikutnya. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di areal hutan tanaman UMR Gowa PT Inhutani I Unit III Makassar pada Bagian Hutan Borisallo Kecamatan ParangLoe Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. Analisis kadar hara tanah dan biomassa komponen pohon dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin di Makassar dan analisis mineral fraksi pasir dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah di Bogor. Plot penelitian dibuat berbentuk bujur sangkar berukuran 50 m x 50 m, masing-masing 3 buah untuk tiap jenis tegakan, yaitu mangium, sengon dan leda. Sebagai pembanding dibuat 3 plot pada lokasi hutan alam. Plot penelitian ditetapkan dengan pertimbangan keseragaman jenis tanah, iklim, kelerengan, kondisi dan umur tegakan. Dalam hal ini diambil tegakan mangium, leda dan sengon yang telah berumur 17 tahun
Pemeriksaan sifat morfologi tanah diawali dengan pembuatan profil tanah di setiap jenis tegakan yang ditempatkan pada tempat yang representative yaitu pada daerah dengan jenis tanah dominan untuk areal yang telah ditetapkan, yaitu dari subgrup Dystrustepts. Pemeriksaan sifat morfologi tanah mengacu pada kriteria yang ditetapkan oleh Lembaga Penelitian Tanah (1978). Tekstur dan kandungan hara tanah (C,N,P,K,Ca, Mg) ditetapkan pada kelas kedalaman tanah 0-30 cm untuk lapisan atas dan >30-60 cm untuk lapisan bawah. Penetapan kelas kedalaman tanah yang diamati didasarkan pada penelitian Greenland dan Kowal (1960). Contoh tanah terganggu untuk pengujian tekstur maupun kadar hara tanah selain diambil dari setiap horison pada profil tanah yang dibuat juga diambil dari contoh tanah komposit dari 5 titik pemboran tanah di kelas kedalaman 0-30 cm dan >30-60 cm untuk setiap plot penelitian. Pengambilan contoh tidak terganggu untuk pengujian berat volume tanah (Bulk Density), dilakukan pada masing-masing profil tanah dengan menggunakan satu core sampler di tiap kelas kedalaman yang telah ditetapkan di atas Pengukuran biomassa tegakan hanya dilakukan pada komponen-komponen yang berada di atas permukaan tanah (above ground biomass) meliputi komponen batang, cabang, ranting, daun dan kulit. Penaksiran jumlah biomassa tegakan dilakukan dengan metode sub sampling seperti yang dikemukakan oleh Madgwick (1976). Selanjutnya jumlah unsur hara (N, P, K, Ca dan Mg.) yang terakumulasi pada pohon dihitung dari hasil analisis kimia terhadap contoh komponen-komponen daun, cabang dan ranting, batang serta kulit.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
202
Jumlah unsur hara yang berakumulasi di dalam tanah dihitung dengan cara sebagai berikut: Kandungan hara = Berat kering tanah x Kadar hara tanah (kg/ha) (kg/ha) (% atau ppm atau cmol/kg) Berat kering tanah = Volume tanah x Berat volume tanah (kg/ha) (dm3/ha) (kg/dm3) Untuk mengetahui jumlah kandungan hara tanah sedalam 60 cm (yaitu batas kelas kedalaman tanah yang ditetapkan untuk penelitian ini) maka perhitungan dengan rumus-rumus di atas dilakukan secara bertahap, mulai lapisan 0-30 cm, > 30-60 cm. Setelah kandungan hara setiap kelas kedalaman tersebut diketahui kemudian seluruh nilai tersebut dijumlahkan untuk mendapatkan jumlah kandungan hara tanah setebal 60 cm. Data hasil pengukuran biomassa tegakan di lapang berupa berat basah dan di laboratorium berupa berat kering dan kandungan hara tiap contoh komponen pohon (batang, cabang dan ranting, daun, kulit) dikonversikan secara bertahap ke dalam satuan berat per plot dan untuk selanjutnya ke dalam satuan berat per hektar. Selanjutnya dilakukan analisa secara deskriptif terhadap varabel-variabel yang damati. HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi UMR Gowa yang terdata di PT. Inhutani I adalah 6.583,42 ha dan tersebar pada 3 kelompok hutan yaitu Kelompok Hutan Kantisang, Kelompok Hutan Borisallo, dan Kelompok Hutan Gantarang-Lattang. Di antara ketiganya, Kelompok Hutan Borisallo merupakan kelompok hutan terluas (2.249, 94 hektar) dengan tipe iklim C (Jurusan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, 2007). Formasi batuan Kelompok Hutan Borisallo adalah formasi batuan vulkanik Baturape Cindako (Tpbv) (dusun Tinggibala dan Karamasa). Batuan dominasi lava (Tpbl) terdapat pada Kelompok Hutan Borisallo (dusun Karamasa) serta batuan terobosan yaitu Diorit (d) dan Basal (b) dengan luasan masing-masing sekitar 405 ha dan 265 ha Terdapat 2 (dua) great group tanah Inceptisols pada Kelompok Hutan Borisallo yaitu Lithic Dystrustepts dan Typic Dystrustepts. Plot penelitian dibuat pada tanah Lithic Dystrustepts dengan karakteristik: kedalaman solum 20 - 50 cm, profil mulai berkembang, warna kecoklatan, tekstur sedang, konsistensi masif, drainase baik, tingkat erosi tnggi, reaksi tanah agak masam sampai netral, KB sedang, KTK rendah. Kelompok Hutan Borisallo untuk tahun tanam RKT 1990/1991 terdiri dari beberapa tegakan,di antaranya yaitu: mangium 389,90 ha, leda 153,00 ha dan sengon seluas 67,00 ha. Sifat Morfologi dan Fisik Tanah
Ringkasan sifat morfologi dan fisik tanah di bawah tegakan mangium, sengon, leda dan hutan alam disajikan pada Tabel 1 berikut
Evaluasi Distribusi Hara Tanah Dantegakan Mangium, Sengon Dan Leda Pada Akhir Daur
Untuk Kelestarian Produksi Hutan Tanaman Di Umr Gowa PT Inhutani I Unit III Makassar.
Wahjuni Hartati
203
Tabel 1. Ringkasan sifat morfologi dan fisik tanah di bawah tegakan mangium, sengon, leda dan hutan alam
Parameter
Mangium
Sengon
Leda
Hutan Alam
Ketebalan solum
51
64
41
34
Kedalaman efektif
19
23
21
34
Lapisan atas
Tekstur
SiCL
SiC
SiC
C
Struktur
Sab
sab
cr
g
Konsistensi
Gembur
gembur
sangat gembur
gembur
BD
1,5
1,3
1,6
1,6
Kadar Liat (%)
29,91
41,83
43,33
48,37
C Organik (%)
2,36
2,08
2,74
2,17
Lapisan bawah
Tekstur
SiL
SiC
SiCL
C
Struktur
Ab
sab
sab
sab
Konsistensi
Teguh
gembur
teguh
gembur
BD
1,6
1,5
1,4
-
Kadar Liat (%)
24,0
51,0
40,0
46,5
C Organik (%)
1,64
1,27
2,08
1,62
Ket: ab: gumpal bersudut; sab: gumpal membulat; cr: remah, g: granular SiCL: lempung liat berdebu; CL; lempung berliat; SiL; lempung berdebu; C liat
Hasil pemeriksaan tanah di areal penelitian menunjukkan bahwa tekstur tanah lapisan atas tegakan mangium: lempung liat berdebu (SiCL), sengon dan leda: liat berdebu (SiC) dan hutan alam: liat (C). Tekstur tanah lapisan atas tegakan sengon, leda dan hutan alam kelas teksturnya sama, yaitu halus sedangkan tegakan mangium tergolong dalam kelas tekstur agak halus. Tekstur tanah lapisan bawah untuk tegakan yang diteliti beragam, namun sama dengan lapisan atasnya, tegakan mangium mempunyai tekstur paling kasar.
Perbedaan tekstur tanah akan berhubungan dengan kemampuan tanah dalam menyediakan unsur hara melalui peran partikel-partikel tanah terutama partikel liatnya. Tanah bertekstur lebih halus atau dengan kadar liat lebih besar memiliki luas permukaan yang lebih besar dibanding tanah bertekstur lebih kasar per satuan beratnya. Makin kecil ukuran partikel tanah makin luas permukaan efektifnya sehingga memungkinkan pertukaran (kation) hara lebih besar (Sopher and Baird, 1978; Hardjowigeno, 2003). Pengaruh lainnya adalah dalam hal
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
204
daya menahan air dan plastisitas tanah. Peranan liat penting asalkan dalam tanah kadarnya tidak melebihi 30 %. Batasan tanah bertekstur halus menurut Ruhiyat et. al. (1990) adalah tanah yang mempunyai kadar liat >30 % dan fraksi pasirnya rendah. Sarjono (2000) menyatakan kandungan liat yang terlalu tinggi (> 35 %) menyebabkan peranan liat dalam meningkatkan ketersediaan hara tidak lagi begitu penting karena pada saat yang sama tanaman mulai menderita karena buruknya aerasi tanah yang bersangkutan. Berdasarkan teksturnya maka tanah di bawah tegakan mangium merupakan tanah yang mempunyai kondisi ideal dalam menunjang pertumbuhan tanaman.
Tabel 1 menunjukkan bahwa tanah-tanah di areal penelitian memiliki kisaran kerapatan lindak antara 1.3 – 1.6 g/cm3. Tanah lapisan bawah pada tegakan mangium dan sengon mempunyai BD lebih besar dibanding lapisan atasnya. Indikasi tersebut menggambarkan bahwa tanah di lapisan bawah lebih padat dibanding tanah lapisan atasnya sehingga di lapisan bawah makin sulit tanah tersebut meneruskan air atau ditembus oleh akar tanaman. Untuk tanah di bawah tegakan sengon selain penurunan kadar bahan organik peningkatan kadar liat juga mempengaruhi kenaikan BD dari tanah lapisan atas ke lapisan bawah dan di antara tegakan yang diteliti tanah di bawah tegakan sengon mempunyai BD terendah di lapisan atasnya hal ini diduga organisme tanah yang dapat berdampingan dengan tegakan sengon ikut berperan dalam mengurangi kepadatan tanahnya (Tabel 1). Zou (1991) dalam Binkley et al. (1992) menemukan banyaknya cacing tanah dengan jumlah 5 kali lipat berada pada tegakan Albizia murni (469/m2) dibanding dengan perlakuan Eucalyptus murni (92/m2). Kedalaman perakaran efektif pada tanah di bawah tegakan mangium, sengon dan leda tergolong sangat dangkal (<> 30 %) yang menyebabkan tanah menjadi padat sehingga sulit meneruskan air atau ditembus oleh akar tanaman. Kadar liat yang tinggi menyebabkan kembang susut tanah menjadi besar, aerasi dan perkolasi terganggu. Hal ini akan menghambat perkembangan perakaran. Faktor-faktor yang diduga turut mempengaruhi kedalaman efektif tanah, yaitu proses pencucian, penimbunan dan pemadatan, serta terdapatnya konkresi dari batuan induk. Pemadatan tanah di areal penelitian tergolong tinggi (1,3 – 1,6 g/cm3), menurut Hardjowigeno (2003) pada umumnya tanah mempunyai BD berkisar 1,1 sampai 1,6 g/cc. Untuk tanah dibawah tegakan leda, mangium dan sengon lapisan bawah lebih padat dibanding lapisan atasnya. Hal inilah yang juga menjadi penyebab dangkalnya kedalaman efektif tanah yang diteliti . Produktivitas Tegakan
Luas bidang dasar (LBD) pohon tergantung pada diameter batang pohon setinggi dada (Husch, 1963) Peningkatan kualitas tempat tumbuh akan menyebabkan luas bidang dasar meningkat (Baker et al, 1979). Pertumbuhan tegakan mangium, sengon dan leda di lokasi penelitian yang disajikan Tabel 2.
Evaluasi Distribusi Hara Tanah Dantegakan Mangium, Sengon Dan Leda Pada Akhir Daur
Untuk Kelestarian Produksi Hutan Tanaman Di Umr Gowa PT Inhutani I Unit III Makassar.
Wahjuni Hartati
205
Tabel 2. Rataan luas bidang dasar tegakan hutan tanaman mangium, sengon dan leda di petak-petak ukur penelitian
Tegakan
Petak
No, plot
Jumlah pohon (N/ha)
Rataan diameter (cm)
Rataan tinggi (m)
Luas bidang dasar tegakan (m2/ha)
Rataan riap tahunan (m3/ha)
Mangium
38
1
340,0
27,39
20,52
22,5
21,72
39
2
476,0
24,04
19,91
24,21
25,52
39
3
252,0
29,49
20,95
18,47
18,21
Rataan
356,0
26,97
20,46
21,73
21,82
Sengon
57
1
272,0
23,61
20,65
13,12
12,75
57
2
236,0
23,88
19,92
11,55
10,83
57
3
172,0
24,12
18,54
8,72
7,60
Rataan
226,7
23,87
19,70
11,13
10,39
Leda
94
1
308,0
19,50
18,64
9,91
8,69
94
2
316,0
22,42
19,78
13,44
12,51
94
3
340,0
22,64
21,41
14,6
14,71
Rataan
321,3
21,52
19,94
12,65
11,97
Tegakan mangium merupakan tegakan dengan LBD terbesar (21,73 m2/ha), tegakan leda lebih kecil (12,65 m2/ha) dan tegakan sengon terkecil (11,13 m2/ha). Jumlah pohon (kerapatan) mempengaruhi luas bidang dasar dan volume tegakan per unit luas (Baker et al., 1979). Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pertumbuhan tegakan mangium, sengon dan leda belum memberikan hasil yang baik. Tegakan sengon di Sabah Malaysia pada umur 1,8 tahun telah mencapai tinggi total 16,45 m dengan volume kayu sebesar 80,3 m3/ha. Hal ini memang merupakan pertumbuhan tercepat tegakan sengon yang pernah dicatat di dunia, yaitu dengan kecepatan pertambahan tinggi 9,14 m/tahun (9,91 m/tahun untuk individu pohon terbaik) (Nicholson, 1965 dalam Whitmore, 1984). Tegakan sengon yang diteliti (umur 17 tahun) hanya lebih tinggi + 3 cm dibanding tegakan sengon di Sabah Malaysia tersebut yang baru berumur 1,8 tahun. Pada tapak yang bagus sampai umur 10 tahun riap rataan volume tahunan tegakan sengon dapat mencapai 50-60 m3/ha dan 20-40 m3/ha untuk tapak rata-rata pada tegakan berumur 8-15 tahun (Whitmore, 1984). Jika dibandingkan dengan hal tersebut tegakan sengon yang diteliti rataan riap volume tahunan sangat rendah.
Pohon leda di Philipina dapat mencapai tinggi 78 m dan keliling 7 m. Pada umur 15 tahun rata-rata pertumbuhan tanaman yang dipelihara tingginya dapat mencapai 45 m dan keliling 1,6 m untuk kerapatan 100 pohon/ha. Pada umur lebih 12 tahun kayu yang diproduksi mencapai 25 m3/ha/th (Johnson, 1976 dalam Whitmore, 1984). Berdasarkan rataan riap volume tahunannya, tegakan leda di areal penelitian nilainya sangat rendah, yaitu 11,97 m3/ha/tahun pada kerapatan yang lebih besar 321 pohon/ha (Tabel 2).
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
206
Tabel 3. Kisaran rataan tinggi dan diameter tegakan mangium pada beberapa wilayah HTI
Lokasi
Umur (tahun)
Kerapatan (phn/ha)
Tinggi (m)
Diameter (cm)
Referensi
Sabah Malaysia
3-4
-
12-16
14-16
Anonim,1986
5
1000
15,4-19,2
14,9-15,9
Anonim,1986
6-7
-
14,8-25,4
12,4-19,5
Anonim,1986
7-9
665
16,6-27,5
15,5-25,3
Anonim,1986
14
30
40
Soerjono, 1989
Thailand
1
0,95
0,9
Anonim,1986
2
5,15
5,2
Anonim,1986
Pagbilao Mindano Filipina
3
8,3
9,4
Soerjono, 1989
Bangladesh
2
8
15
Soerjono, 1989
HTI Gowa Maros
7
945
13,2
19,9
Rosmarlinasiah, 1994
UMR Gowa
17
356
20,46
26,97
Penelitian ini
Penelitian tegakan mangium lainnya di Sabah, Malaysia oleh Thomas dan Kent (1985) dalam Rosmarlinasiah (1998) menunjukkan bahwa di Hobut mangium yang berumur 5 tahun dalam kerapatan 1000 pohon/ha mempunyai diameter 15,9 cm; di Brumas 19,5 cm dengan kerapatan 555 pohon/ha; di plot lain di Brumas mangium umur 9 tahun dengan kerapatan 665 pohon/ha berdiameter 25,3 cm. Dalam penelitian ini jika dilihat dari umurnya yang sudah dewasa (17 tahun) rataan diameter tegakan mangium tidak berbeda jauh (26,97 cm) dengan tegakan mangium di Brumas yang berumur 9 tahun (25,3 cm). Demikian pula jika dibandingkan dengan beberapa tempat lainnya, tegakan mangium dalam penelitian ini menunjukkan ukuran dimensi pohon yang rendah (Tabel 3) Rataan dimensi tegakan leda dalam penelitian ini (diameter, tinggi, riap rataan tahunan per hektar) nilainya lebih rendah (Tabel 3) dibandingkan dengan hasil ekstrapolasi tabel produksi pohon leda pada umur 17 tahun dan pada kerapatan tegakan lebih tinggi (321 pohon/ha) LBD nya hampir sama (12,65 m2/ha) dibanding LBD yang tercantum pada tabel produksinya (12,60 m2/ha) sehingga berdasarkan nilai LBD nya, produksi tegakan leda pada penelitian ini lebih rendah dari harapan produksi pada tabel tersebut. Tabel produksi tegakan leda disajikan pada Lampiran 1.
Berdasarkan tabel tegakan sementara sengon yang tersedia
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
210
sampai umur 12 tahun untuk bonita 1 (Lampiran 2) semua dimensi tegakan (diameter, tinggi, LBD dan riap rataan tahunan per hektar ) yang tercantum pada tabel untuk umur 12 tahun nilainya lebih tinggi dibanding tegakan sengon pada penelitian ini yang telah berumur 17 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa tegakan sengon pada penelitian ini mempunyai produksi sangat rendah dari harapan seperti yang dimaksud pada tabel tegakannya.
Rendahnya produksi tegakan di areal penelitian diduga berhubungan dengan kualitas tapak yang rendah khususnya menyangkut tekstur tanahnya yang tergolong agak halus sampai halus dengan kadar liat > 30 %. Peranan liat penting asalkan dalam tanah kadarnya tidak melebihi 30 %. Batasan tanah bertekstur halus menurut Ruhiyat et. al. (1990) adalah tanah yang mempunyai kadar liat >30 % dan fraksi pasirnya rendah. Sarjono (2000) menyatakan kandungan liat yang terlalu tinggi (> 35 %) menyebabkan peranan liat dalam meningkatkan ketersediaan hara tidak lagi begitu penting karena pada saat yang sama tanaman mulai menderita karena buruknya aerasi tanah yang bersangkutan. Tingginya kadar liat di areal penelitian menyebabkan pemadatan tanah yang ditunjukkan oleh BD tanah yang tergolong tinggi (1,3-1,6 kg/dm3). Akumulasi sifat-sifat fisik yang buruk ini tercermin dari kedalaman efektif perakarannya yang tergolong dangkal sampai sangat dangkal yang berarti ada pembatasan ruang gerak perakaran dalam mengeksplorasi unsur hara bagi kebutuhan tegakan di atasnya. Namun sifat tanah yang menonjol adalah kedalaman tanah yang dangkal (< 1m). Pritchett dan Fisher (1987) menyatakan bahwa pohon-pohon yang tumbuh pada tanah yang dangkal tidak dapat secara baik mengambil air dan nutrisi dibanding pohon-pohon yang tumbuh pada tanah yang dalam. Tanah yang dangkal mengakibatkan volume ruang tumbuh akar lebih sedikit karena adanya lapisan pembatas seperti lapisan debu, lapisan liat, batuan, horison yang rendah permeabilitasnya. Kedalaman tanah dapat digunakan sebagai penduga yang tepat untuk pola pertumbuhan pohon pada tanah yang berdrainase baik. Pertumbuhan kayu biasanya berbanding terbalik dengan kedalaman tanah dengan penurunan pertumbuhan terbesar pada tanah dengan kedalaman efektif < 25 cm dan areal penelitian hutan tanaman mempunyai kedalaman tanah 34-64 namun kedalaman efektif tanah di hutan tanaman berkisar 19-23 cm (Tabel 1). Dugaan lainnya berhubungan dengan rendahnya persediaan hara karena terdapat beberapa unsur hara (N, P, K, Ca) yang statusnya tergolong rendah.
Parameter yang biasa digunakan untuk melihat respon tegakan terhadap kualitas tempat tumbuhnya adalah peninggi. Peninggi merupakan tinggi rata-rata dari 100 pohon tertinggi per hektar. Tajuk dari pohon peninggi yang merupakan pohon-pohon dominan tersebut memberi kemampuan yang lebih selama kegiatan fotosintesis dibandingkan pohon-pohon dengan tajuk tertekan sehingga dapat menunjukkan daya dukung tempat tumbuhnya. Oleh karena itu parameter peninggi dipandang sebagai parameter yang dipengaruhi secara langsung oleh potensi kesuburan tanah yang merupakan salah satu komponen dari kualitas tempat tumbuh. Parameter peninggi dianggap kurang dipengaruhi oleh kerapatan tegakan tegakan dibandingkan dengan parameter LBD. Data Tabel 4 menyajikan rataan peninggi tegakan hutan tanaman yang diteliti.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
208
Tabel 4. Rataan peninggi tegakan hutan tanaman mangium, sengon dan leda di petak-petak ukur penelitian
Tegakan
Petak
Plot
Jumlah pohon (N/ha)
Rataan peninggi (m)
Rataan tinggi (m)
Mangium
38
1
340,0
23,80
20,52
39
2
476,0
23,02
19,91
39
3
252,0
22,60
20,95
Rataan
356,0
23,14
20,46
Sengon
57
1
272,0
23,06
20,65
57
2
236,0
22,54
19,92
57
3
172,0
20,79
18,54
Rataan
226,7
22,13
19,70
Leda
94
1
308,0
21,72
18,64
94
2
316,0
22,38
19,78
94
3
340,0
23,64
21,41
Rataan
321,3
22,58
19,94
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tinggi rataan pohon peninggi untuk tegakan mangium yaitu 23,14 m, sengon 22,13 m dan leda 22,58 m, Dari ketiga tegakan yang diteliti mangium mempunyai nilai tertinggi rataan tinggi pohon (20,46 m), Urutan terbesar berikutnya untuk tinggi pohon terdapat pada tegakan leda (19,94 m) dan sengon (19,70 m),
Lampiran 2 menyajikan tabel bonita sementara jenis mangium hanya sampai umur 12 tahun (Harbagung, 1991) yang menunjukkan bahwa rataan peninggi mangium pada umur 12 tahun untuk bonita 1 < 22, 5 m sehingga diperkirakan tegakan mangium pada penelitian ini yang telah mencapai umur 17 tahun dengan rataan peninggi 23,14 m akan masuk ke dalam bonita I yaitu kelas tapak dengan produksi paling rendah, hal serupa terjadi pada tegakan sengon yang diperkirakan akan masuk pada bonita I. Tabel tegakan sengon sementara disajikan pada Lampiran 3. Untuk tegakan leda jika dibandingkan dengan tabel produksi pohon leda maka rataan peninggi tegakan leda pada penelitian ini pada umur 17 tahun (22,58 m) lebih rendah dibanding rataan peninggi tegakan yang tercantum pada tabel tersebut pada umur 5 tahun (27,4 m) (Lampiran 1) Tabel 5. Biomassa komponen pohon contoh tegakan mangium, sengon dan leda.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
210
Tegakan
N/plot
Daun
Cabang
Batang
Kulit
Total
kg/phn
kg/phn
kg/phn
kg/phn
kg/phn
Mangium
I
85
31,2
38,4
1.411,5
171,2
1.652,2
II
119
18,2
127,2
2.140,1
119,0
2.404,4
III
63
33,6
63,4
1.069,9
194,4
1.361,2
RATAAN
89
27,6
76,3
1.540,5
161,5
1.805,9
% Komponen
1,5
4,2
85,3
8,9
100,0
Maksimum
13,3
229,5
1.251,9
136,6
1.443,5
Minimum
42,0
24,9
1.829,1
186,4
2.168,3
Sengon
I
68
7,6
19,5
452,4
106,0
585,5
II
59
2,0
8,2
265,0
41,9
316,9
III
43
7,6
14,2
512,4
121,5
655,5
RATAAN
57
5,7
13,9
409,9
89,8
519,3
% Komponen
1,1
2,7
78,9
17,3
100,0
maksimum
12,9
35,0
759,6
194,9
990,8
Minimum
22,2
22,2
22,2
22,2
22,2
Leda
I
77
5,7
14,2
357,0
54,3
431,1
II
79
3,3
6,1
335,4
40,6
385,3
III
85
3,0
4,8
400,6
33,9
442,1
RATAAN
80
4,0
8,3
364,3
42,9
419,5
% Komponen
0,9
2,0
86,8
10,2
100,0
Maksimum
10,6
26,7
556,6
75,8
330,0
Minimum
0,7
1,6
157,3
30,3
509,0
Biomassa tegakan terbagi pada komponen-komponen penyusun tegakan, yaitu cabang, daun, batang, kulit dan lainnya, Dalam penelitian ini pengukuran biomassa tegakan hanya dilakukan terhadap komponen cabang dan ranting, daun, batang dan kulit yang berada di atas permukaan tanah yang disajikan pada Tabel 5.
Untuk lebih jelasnya proporsi biomassa komponen penyusun tegakan mangium, sengon dan leda yang diperoleh dari pengukuran di UMR Gowa PT Inhutani I disajikan pada TabeL 6.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
210
Tabel 6, Proporsi biomassa komponen tegakan terhadap totalbiomassa tegakan mangium, sengon dan leda
Berdasarkan data pada Tabel 6 tampak bahwa rataan biomassa terbesar dihasilkan oleh tegakan mangium, yaitu sebesar 588,2 ton/ha diikuti oleh tegakan leda dan terkecil dihasilkan oleh tegakan sengon masing-masing sebesar 117,1 ton dan 90,3 ton/ha, Untuk tegakan mangium nilainya lebih besar dibanding dengan biomassa hutan tropika masak tebang di Kade, Ghana yang berumur 40 tahun (361 ton/ha), sedangkan untuk sengon maupun leda biomassanya lebih kecil dibanding biomassa hutan tropika masak tebang di Yangambi, Zaire yang berumur 18 tahun (138 ton/ha) (Sanchez, 1993). Jumlah biomassa tegakan mangium (588,2 ton/ha) melebihi kisaran biomassa hutan tropika masak tebang (berkisar antara 200-400 ton/ha) (Sanchez, 1993). Jumlah biomassa tegakan sengon dan leda lebih rendah dari kisaran tersebut.
Tegakan
Plot
N/ha
biomassa (ton/ha)
Daun
Cabang
Batang
Kulit
Total
Mangium
1
340
10,5
13,0
480,2
58,0
561,7
2
476
8,6
60,1
1,015,2
56,6
1140,6
3
252
8,4
16,0
269,3
48,9
342,6
Rataan
356
9,2
29,7
588,2
54,5
681,6
Max
476
10,5
60,1
1,015,2
58,0
1140,6
Min
252
8,4
13,0
269,3
48,9
342,6
Proporsi Tegakan (%)
1,3
4,4
86,3
8,0
100,0
Sengon
1
272
2,0
5,2
121,7
28,2
157,1
2
236
0,5
1,9
62,0
9,9
74,2
3
172
1,3
2,4
87,1
20,6
111,4
Rataan
227
1,3
3,2
90,3
19,5
114,2
Max
272
2,0
5,2
121,7
28,2
157,1
Min
172
0,5
1,9
62,0
9,9
74,2
Proporsi Tegakan (%)
1,1
2,8
79,0
17,1
100,0
Leda
1
308
1,7
4,3
109,2
16,6
131,8
2
316
1,0
1,9
105,7
12,8
121,4
3
340
1,0
1,6
136,4
11,5
150,5
Rataan
321
1,2
2,6
117,1
13,7
134,6
Max
340
1,7
4,3
136,3
16,6
150,5
Min
308,00
1,00
1,6
105,66
11,52
121,43
Proporsi Tegakan (%)
0,93
1,9
86,99
10,15
100,00
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
212
Hasil penelitian produktivitas biomassa beberapa jenis tegakan hutan tanaman leda, sengon dan jati pada berbagai umur yang pernah diteliti sebelumnya disajikan pada Tabel 7 Tabel 7, Produktivitas biomassa jenis-jenis tegakan hutan tanaman pada berbagai umur
Umur (th)
Jenis
Produksi biomassa (ton/ha/th)
G (m2/ha)
Lokasi
Referensi
1
Leda
2,94
1,3
PT IHM Kaltim
Jati
16,19
2,2
PT SLJ II Kaltim
Murtinah, 2006
4
Leda
8,96
8,4
PT IHM Kaltim
Jati
21,93
14,9
PT SLJ Kaltim
Murtinah, 2006
6
Leda
6,83
11,0
PT IHM Kaltim
Rahmawati, 1999
Jati
6,98
10,0
PT SLJ Kaltim
Murtinah, 2006
9
Leda
9,78
14,7
PT ITCI Kaltim
Ruhiyat, 1993
Leda
12,12
17,1
PT ITCI Kaltim
Ruhiyat, 1993
Sengon
9,60
16,7
PT ITCI Kaltim
Ruhiyat, 1993
Jati
11,74
19,6
PT SLJ II Kaltim
Murtinah, 2006
10
Sengon
10,56
19,5
PT ITCI Kaltim
Ruhiyat, 1993
11
Jati
11,06
18,2
PT SLJ II Kaltim
Murtinah, 2006
12
Leda
5,79
13,1
PT IHM Kaltim
17
Mangium
40,09
21,73
PT Inhutani I UMR Gowa
Penelitian ini
17
Sengon
6,72
11,13
PT Inhutani I UMR Gowa
Penelitian ini
17
Leda
7,92
12,65
PT Inhutani I UMR Gowa
Penelitian ini
Produktivitas biomassa per tahun yang dihasilkan oleh tegakan mangium dalam penelitian ini tergolong tinggi (40,09 ton/ha/th) dibanding dengan produktivitas tegakan hutan tanaman yang pernah diteliti sebelumnya (Tabel 7) namun untuk tegakan leda produktivitas biomassanya lebih rendah (7,92 ton/ha/tahun) dibanding dengan tegakan leda di PT IHM Kaltim (8,96 ton/ha/tahun) yang berumur 4 tahun demikian pula dengan tegakan sengon produktivitas biomassanya lebih rendah (6,72 ton/ha/tahun) dibanding tegakan sengon PT ITCI Kaltim yang berumur 10 tahun (9,60 ton/ha/tahun), Keragaman nilai tersebut dipengaruhi oleh kondisi tegakan (jenis, umur dan kerapatan) dan kondisi tapak, Meskipun umur dan jenisnya sama apabila tempat tumbuh berbeda maka akan mempunyai produktivitas yang berbeda pula, Hal ini juga dikemukakan oleh Satto dan Madgwick (1982) bahwa biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh kerapatan tegakan dan kualita tempat tumbuh, Tegakan yang makin rapat jarak tanamnya akan mempunyai jumlah biomassa yang semakin besar,
Keragaman jumlah biomassa pada tegakan mangium, sengon dan leda disebabkan karena perbedaan dalam kerapatan tegakannya, Tegakan
Evaluasi Distribusi Hara Tanah Dantegakan Mangium, Sengon Dan Leda Pada Akhir Daur
Untuk Kelestarian Produksi Hutan Tanaman Di Umr Gowa PT Inhutani I Unit III Makassar.
Wahjuni Hartati
213
mangium mempunyai kerapatan tertinggi (356 pohon/ha), disusul tegakan leda (321 pohon/ha) dan terkecil sengon (114,2 pohon/ha), Selain itu, variasi nilai jumlah biomassa suatu tegakan terjadi karena adanya perbedaan kondisi dan perubahan-perubahan hubungan antara elemen-elemen tanah-iklim-vegetasi (Ruhiyat, 1987), Sifat-sifat kimia tanah di bawah tegakan mangium walaupun relatif lebih rendah dibanding dengan tegakan sengon dan leda namun dengan tekstur yang kandungan liatnya lebih rendah dan didominasi fraksi debu menyebabkan sifat fisik tanah yang lebih baik sehingga penyerapan hara oleh akar tanaman tidak terganggu, Hal ini didukung oleh Rahayu (1998) tanah dengan kandungan unsur hara yang tinggi tidak menjamin untuk menghasilkan pertumbuhan tegakan yang tinggi apabila tidak didukung oleh sifat-sifat fisik yang baik, Distribusi Hara Tanah dan Tegakan
Dalam hal ini jumlah unsur hara yang tersimpan dalam tanah ditetapkan untuk lapisan tanah atas (0-30 cm). Penetapan tersebut didasari beberapa pertimbangan, yaitu:
a. Daur hara mempunyai dua gudang sebagai penyimpan utama hara yaitu biomassa dan tanah atas (Sanchez, 1993)
b. Lebih dua per tiga perakaran hutan dewasa terdapat pada 0-30 cm tanah atas (Greenland dan Kowal, 1960 dalam Sanchez, 1993) sehingga tanah lapisan bawah memegang peranan sekunder dalam daur hara. Dalam penelitian ini kedalaman perakaran yang dijumpai berkisar 19-34 cm dengan kisaran kedalaman solum tanah 34-64 cm sehingga untuk menghitung persediaan hara ditetapkan tidak melebihi kedalaman minimal solumnya.
c. Di daerah tropis distribusi unsur hara dan bahan organik lebih banyak terdapat di lapisan atas daripada lapisan bawah (Burnham, 1984 dalam Ohta et al., 1992; Salim, 1999).
Nilai absolut (kg/ha) maupun porsi relatif (%) jumlah unsur hara yang tersimpan dalam tanah dan yang terakumulasi dalam tegakan mangium, sengon dan leda yang diteliti disajikan pada Tabel 7.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
214
Tabel 7, Distribusi hara dalam tanah dan tegakan mangium, sengon dan leda
Hara
Mangium
Sengon
Leda
Hutan alam
kg/ha
%
kg/ha
%
kg/ha
%
kg/ha
N
Tanah
4.709,3
26,9
4.557,4
67,3
5.733,1
69,8
36.019,5
Tegakan
12.787,5
73,1
2.217,5
32,7
2.478,8
30,2
Jumlah
17.496,8
100,0
6.774,9
100,0
8.211,9
100,0
36.019,5
P
Tanah
322,5
25,3
274,3
60,8
376,5
62,4
357,1
Tegakan
954,1
74,7
176,9
39,2
226,7
37,6
Jumlah
1.276,7
100,0
451,2
100,0
603,3
100,0
357,1
K
Tanah
239,7
17,5
198,1
48,6
231,6
47,0
235,9
Tegakan
1.127,8
82,5
209,4
51,4
261,1
53,0
Jumlah
1.367,4
100,0
407,5
100,0
492,7
100,0
235,9
Ca
Tanah
4.225,6
67,1
3.491,0
90,8
5.186,6
93,0
4.555,8
Tegakan
2.069,0
32,9
354,0
9,2
387,4
7,0
Jumlah
6.294,6
100,0
3.845,0
100,0
5.574,0
100,0
4.555,8
Mg
Tanah
1.409,9
52,1
1.228,9
85,2
1.582,8
87,1
1.502,0
Tegakan
1.295,6
47,9
213,9
14,8
234,1
12,9
Jumlah
2.705,6
100,0
1.442,8
100,0
1.816,9
100,0
1.502,0
Berdasarkan distribusi relatifnya K merupakan unsur hara yang paling kritis dibandingkan lainnya terutama pada tanah di bawah tegakan mangium, Kisaran relatif hara K dalam tanah adalah 17,5 – 48,6 % atau 198,1 – 239,7 kg/ha dibandingkan dengan tanah di hutan alam (235,9 kg/ha) jumlah tersebut tidak berbeda jauh. Distribusi relatif (%) hara tanah-tegakan untuk seluruh jenis hara, yaitu N, P, K, Ca, Mg yang tersimpan dalam tanah dibawah tegakan mangium menunjukkan nilai terkecil dan diakumulasikan dalam tegakan tersebut dengan jumlah terbesar. Hal sebaliknya terjadi pada tegakan leda, kecuali untuk K karena nilai terbesar dalam tanah terdapat pada sengon (Tabel 7). Hal ini memberi makna bahwa konsumsi hara tegakan mangium terbesar dibanding tegakan sengon dan leda. Konsumsi hara terbesar tegakan mangium ditunjukkan pula oleh produktivitas tegakan (LBD, peninggi dan biomassa) mangium terbesar dibanding sengon dan leda. Beberapa hal yang menyebabkan keragaman akumulasi hara pada tegakan yang diteliti adalah
a. Mangium merupakan spesies dengan perakaran lateral yang terkonsentrasi di permukaan tanah sehingga spesies ini mampu memanfaatkan hara secara maksimal pada tanah lapisan atas yang memang merupakan gudang penyimpanan utama hara dalam daur hara. Kondisi perakaran tersebut juga menyebabkan mangium mampu bersaing dengan
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
214
spesies lain dalam hal penyerapan hara. Di lapangan tampak jarangnya tumbuhan bawah yang terdapat pada hutan tanaman mangium dan kedalaman perakaran efektif mangium terendah dibanding spesies lainnya.
b. Mangium merupakan legum yang dapat bersimbiose dengan bakteri Rhizobium sehingga mangium punya kemampuan memfiksasi N dari udara. Simbiosis perakaran mangium dengan bakteri Rhizobium mampu mengikat N dari udara dan secara khusus mensuplai 40-80 % dari N yang dibutuhkan pohon (Binkley dan Giardina, 1997). De la Cruz dan Yantasah (1993) dalam Rahayu (1998) juga menyatakan jenis Acacia mampu memfiksasi 10-32 kg/ha/tahun N dari udara. Konsentrasi N yang rendah di areal penelitian (Tabel 6) bukan merupakan kendala bagi spesies ini. Sengon juga mempunyai kemampuan memfiksasi N namun
kedalaman solum yang dangkal dan kandungan liat yang tinggi pada areal penelitian menjadi pembatas aktivitas perakaran sengon karena jenis perakarannya dalam
c. Soerjono (1989) menyatakan mangium juga dapat bersimbiose dengan mikoriza Thelephora ramariodes yang dapat membantu menyerap hara terutama P sehingga spesies ini mampu tumbuh bagus pada tanah yang kekurangan hara.
d. Pada kriteria sifat kimia tanah yang sama konsentrasi sebagian besar hara leda menempati nilai terbesar (Tabel 8) namun kedalaman solum dan kadar liat yang tinggi merupakan pembatas perkembangan perakaran leda yang tergolong dalam sehingga akumulasi hara tegakan leda terkecil dibanding lainnya. Tipe iklim daerah penelitian (C) kurang sesuai bagi leda yang biasa tumbuh pada daerah bertipe iklim A-B (Fergusson, 1949 dalam Rosmarlinasiah, 1994)
Tabel 8. Kriteria penilaian sifat kimia tanah lapisan atas di bawah tegakan mangium, sengon, leda dan hutan alam
Sifat tanah
Kriteria penilaian sifat kimia tanah pada tegakan *)
Mangium
Sengon
Leda
Hutan alam
C organik
S
S
S
S
N total
R
R
R
ST
P tersedia
S
S
S
S
P total
R
R
R
R
K total
R
R
R
R
Ca dd
R
R
S
R
Mg dd
T
T
T
T
K dd
S
S
S
S
KTK
S
S
S
S
KB
S
S
S
S
pH H2O
AM
AM
N
N
Ket: R = rendah; S = sedang; T = tinggi; ST = sangat tinggi; AM =agak masam, N = netral nilai terkecil; nilai terbesar *) Staff PPT (1983)
Berdasarkan Tabel 8 secara keseluruhan kondisi kesuburan tanah di areal penelitian tergolong cukup, walaupun kadar P total dan K total
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
216
rendah namun yang memegang peranan dalam tanah adalah bentuk tersedia. Dalam hal ini P tersedia tergolong sedang. Menurut Witherspoon et. al. (1962) K tersedia sebagian besar (90%) berada dalam bentuk Kdd dan hanya 10 % berupa K larut dalam tanah yang siap diserap oleh perakaran tanaman. Namun K dalam larutan mudah mengalami pencucian oleh aliran permukaan (run off) maupun oleh air perkolasi sehingga Kdd berperan besar dalam pertumbuhan tanaman, di areal penelitian Kdd tergolong sedang. Bagi spesies mangium dan sengon kadar N total yang rendah di areal ini tidak menjadi penghalang karena kemampuan spesies tersebut dalam memfiksasi N. Jika dilihat dari persediaan hara tanah pada saat ini hanya Ca yang perlu mendapat perhatian namun untuk jangka panjang pengembangan jenis yang sama tetap perlu memperhatikan hara P dan K.
Kondisi hara tersebut jika dihubungkan dengan akumulasi hara terutama pada tegakan sengon dan leda yang rendah serta dihubungkan dengan produktivitas tegakan (LBD, peninggi untuk semua tegakan dan biomassa untuk tegakan sengon dan leda) yang lebih rendah dari tempat lain maupun tabel hasil dan tabel produksi spesies yang bersangkutan berarti ketersediaan hara yang cukup tidak diimbangi oleh konsumsi hara yang baik untuk produksi tegakannya. Sehubungan dengan hal ini dapat dijelaskan bahwa untuk hidup dan berproduksi tanaman mengabsorpsi unsur-unsur hara dalam bentuk larutan melalui akar dari dalam tanah, Dengan demikian walaupun ketersediaan hara cukup namun apabila tanah tidak dapat menyediakan air secara optimal maka kandungan hara yang tinggi tersebut tidak dapat diserap akar secara maksimal, Penelitian Rahayu (1998) menyimpulkan tanah dengan kandungan unsur-unsur hara yang tinggi tidak merupakan jaminan untuk menghasilkan pertumbuhan tegakan yang tinggi pula apabila tidak didukung oleh sifat-sifat fisik yang baik, Tekstur merupakan sifat fisik utama yang sangat mempengaruhi sifat tanah lainnya, seperti porositas tanah, struktur, BD, KTK, kapasitas tanah dalam menyediakan air dll, Tingginya kadar liat di daerah penelitian (> 30%) mengakibatkan buruknya sifat fisik tanah lainnya sehingga mengakibatkan pertumbuhan dan aktivitas akar terbatas. Solum tanah yang dangkal juga merupakan hal lain yang membatasi pertumbuhan perakaran yang berakibat pula pada pertumbuhan tegakannya.
Porsi relatif hara yang masih tersimpan pada tanah lapisan atas (0-30 cm) setelah tegakan hutan tanaman mencapai umur 17 tahun terhadap hara tanah di hutan alam yang tertera pada Tabel 8 menunjukkan bahwa kandungan N tanah hutan tanaman lebih rendah dibanding hutan alam. Untuk tegakan sengon kandungan seluruh hara lebih rendah dibanding hutan alam. Pada tegakan mangium hanya kandungan K yang lebih tinggi dibanding hutan alam dan untuk leda kandungan P, Ca dan Mg lebih tinggi dibanding hutan alam (Tabel 9). Berdasarkan penelitian ini maka konversi hutan alam menjadi hutan tanaman menyebabkan unsur hara N berkurang sehingga unsur N merupakan hara yang paling perlu mendapat perhatian dalam pengembangan hutan tanaman di areal ini. Jenis-jenis yang dapat menambah pasokan N bisa menjadi alternatif untuk pengembangan hutan tanaman selanjutnya. Selain itu hara lain yang jumlahnya lebih kecil dari yang terdapat pada hutan alam (Tabel 9) mulai harus diperhatikan apalagi jika status hara tersebut juga tergolong rendah, dalam penelitian ini hara dimaksud adalah P, K dan Ca (Tabel 9).
Evaluasi Distribusi Hara Tanah Dantegakan Mangium, Sengon Dan Leda Pada Akhir Daur
Untuk Kelestarian Produksi Hutan Tanaman Di Umr Gowa PT Inhutani I Unit III Makassar.
Wahjuni Hartati
219
Tabel 9, Kandungan hara tanah (kg/ha) sampai kedalaman 30 cm di bawah tegakan mangium, sengon, leda dibanding hutan alam
Kandungan hara tanah (kg/ha)
Unsur hara
Mangium
Sengon
Leda
Hutan alam
N
4.709,3
4.557,4
5.733,1
36.019,5
(%) *
13,1
12,7
15,9
P
3.22,5
274,3
376,5
357,1
(%) *
90,3
76,8
105,5
K
239,7
198,1
231,6
235,9
(%) *
101,6
84,0
98,2
Ca
4.225,6
3.491,0
5.186,6
4.555,8
(%) *
92,8
76,6
113,8
Mg
1.409,9
1.228,9
1.582,8
1.502,0
(%) *
93,9
81,8
105,4
Keterangan * Nilai relatif terhadap Hutan Alam Terdapat pula kemungkinan lain yang menyebabkan keragaman distribusi hara tanah-tegakan masing-masing tegakan Keragaman ini diduga disebabkan karena adanya unsur hara yang diakumulasikan oleh serasah dan gulma serta adanya unsur hara yang hilang akibat erosi dan pencucian yang dalam hal ini tidak diperhitungkan demikian pula masukan hara dari air hujan, aerosol maupun fiksasi non simbiotik. KESIMPULAN
1. Terdapat perbedaan total biomassa dan akumulasi hara antar tegakan hutan tanaman yang diteliti
a. Tegakan mangium terbesar dalam produksi total biomassa, biomassa komponen daun, cabang, batang dan kulit.
Tegakan sengon terkecil dalam produksi total biomassa dan biomassa komponen batang. Tegakan leda terkecil dalam produksi biomassa komponen daun, cabang dan kulit.
b. Biomassa komponen daun mengakumulasi hara (N, P, K, Ca dan Mg) dengan kadar paling tinggi. Konsentrasi hara Ca dan Mg terkecil pada batang, N terkecil pada cabang, P terkecil pada cabang sengon dan leda serta pada cabang dan batang mangium. Kadar K terkecil pada batang mangium, cabang dan batang sengon serta batang dan kulit leda.
c. Akumulasi hara (N, P, K, Ca dan Mg) terbesar terdapat pada tegakan mangium dan terkecil pada tegakan sengon.
Evaluasi Distribusi Hara Tanah Dantegakan Mangium, Sengon Dan Leda Pada Akhir Daur
Untuk Kelestarian Produksi Hutan Tanaman Di Umr Gowa PT Inhutani I Unit III Makassar.
Wahjuni Hartati
217
5. Terdapat perbedaan distribusi hara tanah dan biomassa bagian atas tegakan mangium, sengon dan leda. Akumulasi hara N, P, K tegakan mangium lebih besar dibanding persediannya di dalam tanah sebaliknya untuk Ca dan Mg lebih banyak terdapat di tanah dibanding yang ada pada tegakan. Demikian pula untuk tegakan sengon dan leda persediaan hara pada tanah lebih besar dibanding akumulasinya dalam tegakan.
6. Berdasarkan parameter luas bidang dasarnya dan peninggi maka produktivitas dari ketiga tegakan hutan tanaman ini tergolong rendah atau masuk dalam kategori bonita I. Kadar liat yang tinggi dan kedalaman solum yang dangkal menjadi pembatas sehingga mengakibatkan rendahnya produktivitas dari ketiga jenis hutan tanaman tersebut.
7. Hasil penelitian menyarankan kepada pihak pengambil kebijakan di sektor kehutanan maupun pihak lain yang mengusahakan hutan tanaman untuk mengevaluasi sifat-sifat tanah secara detil bagi lahan calon hutan tanaman industrinya dan memilih jenis-jenis yang sesuai dengan sifat-sifat tanahnya terutama untuk sifat tanah yang relatif permanen (tekstur dan kedalaman solum).
8. Hanya komponen batang tanpa kulit yang diangkut keluar hutan untuk mengurangi besarnya hara yang keluar dari hutan mengingat komponen-komponen yang ditinggalkan tersebut menyimpan hara dengan kadar lebih tinggi dibanding kadar hara di dalam batangnya sendiri. Hal ini dimaksudkan mempertahankan siklus unsur hara dalam hutan seperti yang terdapat pada tegakan alam
9. Khusus di daerah penelitian UMR Gowa PT Inhutani I Unit III Makassar disarankan, pengembangan spesies mangium untuk masa yang akan datang tetap dapat diteruskan dengan memperhatikan penambahan hara N, P dan K sebab hara tersebut diperlukan tegakan dalam jumlah besar namun persediaan yang ada di tanah tergolong rendah. Untuk itu disarankan penanaman tanaman penutup tanah (cover crops) dari jenis Leguminosae karena selain meningkatan kadar hara cover crops dapat memperbaiki sifat fisik tanah.
10. Pengembangan spesies sengon dan leda sebaiknya tidak diteruskan mengingat terdapat faktor pembatas untuk pertumbuhan spesies tersebut yang sifatnya relatif permanen yaitu kedalaman solum yang dangkal dan kadar liat yang tinggi tidak sesuai dengan jenis perakaran sengon dan leda yang tergolong dalam. Khusus untuk spesies leda ketidak sesuaian iklim merupakan pembatas yang lain. Leda umumnya tumbuh baik pada daerah bertipe iklim A-B (basah) sedangkan daerah penelitian mempunyai tipe iklim C yang lebih kering.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1986. Australian Acacias in Developing Countries Proceedings of An International Workshop Held At The Forestry Training Centre, Gympie, Qld., Australia. Aciar Proceedings No. 16. Baker, F.S., T.W. Daniel, J.A. Helms. 1979. Principles of Silviculture Technical. Second Edition. Mc. Graw Hill, New York. Binkley, D, K.A. Dunkin, D. DeBell, and M.G. Ryan, 1992. Production and Nutrient Cycling in Mixed Plantations of Eucalyptus and Albizia in
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
218
Hawaii. Forest Science 38 (2): 393-408. Bussines News. 5 Agustus 2006. Pulp. Jakarta. Evans, J. 1999. Sustainability of Forest Plantations The Evidence A review of Evidence Concerning The Narrow Sense Sutainability of Planted Forests. The Department for International Development (DFID) 94 Victoria Street, London SW1E 5 JL, UK ------. 1995. Forest Resources Assesment 1990. Global Synthesis FAO, Rome FAO Forestry Paper 124, 89 S. Greenland, D.J. and J.M.L. Kowal. 1960. Nutrient Content of A Moist Tropical Forest of Ghana. Plant and Soil. 12:74-154 Harbagung. 1991. Grafik Bonita Sementara Hutan Tanaman Acacia mangium Willd. Buletin Penelitian Kehutanan 537: 13-25. Husch, B. 1963. Forest Mensuration and Statistics. The Ronald Press Company, New York. Jacobs, M.R. 1981. Eucalyptus for Planting. FAO. Rome Jurusan Kehutanan. 2007. Laporan Akhir Kajian Redesain Areal dan Tegakan HTI PT Inhutani I di Kabupaten Gowa. Kerjasama Jurusan Kehutanan dan PT Inhutani I Unit III Makassar, Makassar. Kaumi, S.Y.S. 1983. Four Rotation of Eucalyptus FuelwooTrial Commonwealth. Forestry Review 62: 19-24 Lembaga Penelitian Tanah. 1978. Pedoman Pengamatan Tanah di Lapang. Bogor. 107 h
Mackensen, J. 2000. Kajian Suplai Hara Lestari Pada Hutan Tanaman Cepat Tumbuh. Implikasi Ekologi dan Ekonomi di Kalimantan Timur Indonesia. Badan Kerjasama Teknik Jerman-Deutsche Gesellschait for Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH Postfach 5180 D-65726 Eschborn, Jerman Madgwick, H.A.I. 1976. Mensuration of Forest Biomass. Oslo Biomass Study University of Main at Orono, USA. Murtinah, V. 2006. Studi Keperluan Hara Tegakan Jati di Areal HPHTI Trans PT Sumalindo Lestari Jaya II Kabupaten Kutai Timur. Tesis Sarjana S2 Program Studi Ilmu Kehutanan Program Pascasarjana Universitas Mulawarman Samarinda Pritchett, L. W. and R. F. Fisher. 1987. Properties and Management of Forest Soils. Second edition. John Wiley and Sons. New York Rosmarlinasiah. 1994. Studi Pertumbuhan Jenis Leda (Eucalyptus deglupta, Blume dan Mangium (Acacia mangium, Willd) di Areal HTI PT Inhutani I Unit Gowa – Maros Propinsi Sulawesi Selatan. Tesis Magister Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.117h. Ruhiyat, D 1993a. Dinamika Unsur Hara dalam Pengusahaan Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Siklus Biogeokimia. Prosiding Lokakarya Pembinaan Hutan Tropis Lembab yang berwawasan lingkungan untuk Meningkatkan Produktivitasnya. Departemen Kehutanan R I dan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. h. 13-26
---------------., S. Soedirman dan M. Fatawi. 1990. Study of Phisiology and Growth of Tropical Tree Spesies on Marginal Soil in East Kalimantan. JICA and Pusrehut.
Evaluasi Distribusi Hara Tanah Dantegakan Mangium, Sengon Dan Leda Pada Akhir Daur
Untuk Kelestarian Produksi Hutan Tanaman Di Umr Gowa PT Inhutani I Unit III Makassar.
Wahjuni Hartati
219
Mulawarman University. Samarinda. Sanchez, P. A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika Jilid 2. Alih bahasa Amir Hamzah. ITB Bandung Sarjono, A. 2000. Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Tanah yang Berpengaruh terhadap Pertumbuhan Tegakan Leda di Areal HPHTI PT ITCI Hutani Manunggal. Tesis Magister Program Pascasarjana Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Satto, T. and H.A.I Madgwick. 1982. Forestry Biomass. Martinus Nihjhoff, M. / Dr. W. Junk Publishers The Hague / Boston / London Whitmore, T. C. and C. P. Burnham. 1984. Tropical Rain Forests of The Far East. Clarendon Press. Oxford. Winarto, A. 2006. Mengulang Kejayaan Industri Perkayuan Mungkinkah?. Banjarmasin Post 21 September 2006
Naskah Masuk : 12 Februari 2008
Naskah Diterima : 16 Mei 2008
221
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN KEMIRI RAKYAT DI KABUPATEN MAROS SULAWESI SELATAN
Muspida Dosen Universitas Pattimura ABSTRAK The aim of the research are to describe the indigeneous knowledge and interactions forms between the community in developing and managing candlenut people forest in Maros District of South Sulawesi Province.The research conduct in three sub districts of Maros district, Camba, Mallawa and Cenrana. The research use qualitative approach as the qualitative dominant. Data was collected by deepth interview, obeservation and documentation study.The result of the research is the indegeneous knowledege in managingn the candlenut people forest in Maros District is very urgent to understand how the local community manage the natural resources especially candlenut forest area, completed local institutio, kkowledge and wisdom and the sustain approach for the next generation. The community in the three sub districts also has local values and technology and institution system in managing their candlenut forest. However it still traditional, but consist indegeneous knowledge that can replicate in another place.This indigeneous knowledge need to be survive and need control from the government, especially on forest management system. This tradition need to be managed by community development program that will be based on sustainable forest management Key words : indigeneous knowledge, natural resources, community development
PENDAHULUAN
Hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan dibangun secara swadaya oleh warga masyarakat baik secara individu rumah tangga maupun secara kelompok keluarga (appang) masyarakat sejak zaman Belanda. Swadaya masyarakat membangun hutan kemiri dapat berlangsung karena didukung oleh faktor sosial dan faktor ekonomi. Faktor sosial yang mendorong masyarakat membangun hutan kemiri diantaranya adanya kerjasama/gotong royong membuka lahan, aturan-aturan, dan kelembagaan lokal serta kearifan lokal dalam sistem pengelolaan hutan kemiri rakyat. Faktor ekonomi yang mendorong masyarakat membangun hutan kemiri secara swadaya adalah adanya harapan terhadap buah kemiri sebagai sumber pendapatan keluarga serta penguasaan lahan sebagai modal keluarga dan untuk diwariskan secara turun temurun (Supratman, 2006).
Menurut beberapa ahli yang mengamati hubungan antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alam khususnya hutan kemiri rakyat, bahwa “kearifan lokal” Identik dengan pengetahuan tradisional (traditional knowladge). Zakaria (1994) dan Widjono, (1998) dalam Sarjono (2004) mengemukakan bahwa kearifan tradisional (termasuk di dalamnya kearifan pengelolaan hutan kemiri ) merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
222
pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Pengetahuan dimaksud merupakan citra lingkungan tradisional yang didasarkan pada sistem religi, yang bercorak cosmismagis dan memandang manusia adalah bagian dari alam lingkungan itu sendiri diamana terdapat roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangannya. Oleh karenanya untuk menghindarkan bencana atau malapetaka yang bisa mengancam kehidupannya, manusia wajib menjaga hubungannya dengan alam semesta. Termasuk dalam pemanfaatannya harus bijaksana dan bertanggung jawab. Berdasarkan faktor-faktor ekonomi dan sosial yang melatarbelakangi terbangunnya hutan kemiri di Kabupaten Maros, dapat disimpulkan bahwa hutan kemiri tersebut terbangun sangat ditentukan oleh kearifan lokal masyarakat mulai dari membuka lahan, pengelolaan hutan kemiri, sampai pada proses produksi dan pemasaran hasil kemiri. Pengelolaan hutan kemiri bagi masyarakat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan merupakan suatu pengetahuan yang diwariskan dan dikembangkan berdasarkan pengalaman dari tahun ke tahun mengelola hutan kemiri, Kerjasama masyarakat dalam bentuk gotongroyong baik dalam hal pembukaan lahan dalam skala kepemilikan individu maupun dalam hal kepemilikan masyarakat secara umum merupakan wadah untuk saling bertukar pengalaman yang pada akhirnya terbentuk sebuah pengetahuan dalam konteks tulisan ini disebut kearifan lokal. Kearifan lokal bagi masyarakat pengelolan hutan kemiri di Kabupaten Maros menarik untuk diteliti karena dalam kenyataannya tidak hanya melibatkan masyarakat dalam sentuhan fisik dengan hutan akan tetapi melibatkan alam metafisik dalam merencanakan,dan mengelola hutan kemiri.
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini untuk menggambarkan keraifan lokal dan pola interaksi antara masyarakat dalam membangun dan mengelola lingkungan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna (a) bagi pengembangan Ilmu, berupa sumbangan teoritis dalam menambah dan memperkaya kajian sosiologi masyarakat kehutanan khususnya kajian kearifan local dan pola interaksi antara masyarakat dalam mengembangkan sumberdaya alam dan lingkungan hutan kemiri rakyat, METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan dengan pertimbangan bahwa daerah ini memiliki kawasan hutan kemiri rakyat yang terluas dalam wilayah Sulawesi Selatan, yaitu 9.350 hektar atau 23 persen dari 44.660 hektar luas hutan kemiri di Sulawesi Selatan (Statistik Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Penelitian lapangan dilakukan selama kurang lebih tiga bulan yaitu dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2007. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Maros pada tiga Kecamatan yakni Kecamatan Camba, Kecamatan Cenrana dan Kecamatan Mallawa dengan pertimbangan bahwa ketiga kecamatan tersebut berada dalam satu agro ekosistem. Areal hutan kemiri yang dikelola masyarakat secara intensif di Kabupaten Maros adalah seluas 9.350 hektar, tersebar terutama di tiga kecamatan dengan rincian, Kecamatan Camba seluas 2.086 hektar, Kecamatan Mallawa seluas 4.956 hektar, dan Kecamatan Cenrana seluas 2.064 hektar.
Dari ketiga kecamatan yang dipilih ditetapkan satu desa sebagai perwakilan masing-masing kecamatan
Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat Di Kabupaten Maros
Sulawesi Selatan
Muspida
223
dengan mempertimbangkan sebaran luas dan sejarah pengelolaan hutan kemiri yaitu Desa Cenrana Baru Kecamatan Cenrana, Desa Barugae Kecamatan Mallawa, dan Desa Timpuseng Kecamatan Camba. Pengumpulan data dilakukan melalui Observasi, dan wawncara mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam dilakukan pada orang-orang yang berposisi sebagai pengelola hutan serta orang-orang yang terlibat dalam pembangunan hutan kemiri rakyat baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui pendekatan religi dan budaya antara lain meliputi Kepala Desa atau Lurah, Camat, Ketua RT, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Pemilik lahan kemiri, Pengelola lahan kemiri, Pegawai Kehutanan serta pengambil kebijakan, dan sebagian juga telah diketahui melalui penelitian sebelumnya. Kepada setiap informan yang diwawancarai ditanyakan pula tentang warga masyarakat yang dapat dijadikan informan berikutnya. Selain itu sebagian informan ditentukan sendiri secara sengaja (purposive sampling) oleh peneliti setelah berkunjung ke lokasi hutan kemiri rakyat. Proses ini berlangsung hingga data yang terkumpul mencapai tingkat kecukupan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif atau lebih tepatnya teknik analisis komponensial (componential analysis), meliputi tiga tahapan yaitu : reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Pertama reduksi data adalah merupakan proses untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, menyederhanakan, dan mengorganisasikan data.
Kedua, penyajian data dan informasi yang diperoleh sebagai dasar pengambilan keputusan berupa teks naratif untuk menggambarkan pandangan informan tentang sejarah kearifan lokal dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros. Ketiga penarikan kesimpulan berdasarkan reduksi dan penyajian data baik dalam bentuk narasi maupun yang mencakup verifikasi atas semua kejadian sosial yang ditemukan dilapangan. Hasil penyajian data kemudian dihubungkan dengan konsep dan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Pengelolaan Hutan Kemiri
Masyarakat yang bermukim di kompleks hutan Camba pada awalnya adalah masyarakat yang bermigrasi dari kerajaan Bone yang dipimpin oleh Isossong putra raja Bone ke 27 sekitar tahun 1826. Kedatangan komunitas masyarakat ini akhirnya berkembang melalui proses kawin mawin sampai saat ini 1
Kisah kedatangan Isossong putra Raja Bone ke 27 Lamapaselling Arung Panynyili pada tahun 1826 di Sanrego( perbatasan administrasi wilayah pemerintahan Kabupaten Bone dan Kabupaten Maros sekarang) dengan mengikutsertakan rakyatnya yaitu tau betta ( orang nakal), Tau ripoppangi tana (orang yang melakukan kesalahan besar sehingga tidak diterima lagi sebagai warga dalam kampung), tau ribeta mammusu (tawanan perang) dan ata (hamba atau orang yang berada dalam kekuasaan raja).
1 H.Makkasabang Dg Matteru (60 tahun) lebih dikenal dengan Arung Panagi), Komunitas yang bermukim di Desa cenrana dan Cenran Baru adalah komunitas yang dibawa oleh Isossong putra Raja Bone ke 27 Lamappaselling Arung Panynyili pada tahun 1826. Komunitas ini menyebar ke seluruh wilayah pegunungan Camba untuk membuka lahan yang kemudian terbangunlah hutan kemiri.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
224
Isossong dalam perjalanan hidupnya dikenal sebgai tau warani (pemberani), memiliki kharismatik sehingga dapat menaklukkan orang-orang nakal di daerahnya, serta bijaksana karena memberi kesempatan kepada pengikutnya untuk melakukakan kegiatan usaha tani dengan membuka lahan sebanyak-banyaknya dan sebagian di serahkan kepada isossong untuk dimilikinya. Jiwa pelestarian lingkungan juga dimiliki oleh Isossong karena hampir semua hutan kemiri yang dibangun pada awalnya hanya merupakan padang ilalang. Isossong melanjutkan perjalanan dari Sanrego memasuki wilayah pegunungan dan terdamparlah di suatu bukit (kurang lebih 20 km dari Sanrego) yaitu di Gualiang (sebuah gua ) sekarang menjadi nama sebuah dusun di Desa Cenrana Kecamatan Camba, Di atas Gualiang dibangun sebuah istana sebagai tempat tinggal raja (sekarang dikenall dengan Balla Lompoe). Isossong mulai memerintahkan kepada pengikutnya untuk menyebar ke daerah-daerah pegunungan mencarii lahan tempat bermukim dan membuka lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan pola berpindah-pindah. Isossong meninggalkan kerajaan Bone dengan membawa bekal tanaman kemiri sebagai hasil hubungan baiknya dengan pemerintah Belanda. Tanaman kemiri pada awalnya dijadikan sebagai tanaman pembatas kebun (lakara) yang telah dibukanya dan akan ditinggalkan sementara untuk mengembalikan masa kesuburan setelah melewati suatu rotasi (pemberaan).
Masyarakat migrasi memilih bermukim di wilayah ini karena melihat kondisi biofisik daerah Camba dan sekitarnya adalah hutan dengan topografi datar sampai bergunung, ketinggian 320 - 1200 m di atas permukaan laut, sehingga sulit dijangkau oleh penjajah. Bahasa sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat adalah bahasa bugis yang dialeknya sama dengan dialek bugis Bone bagian Selatan (Mare dan Kajuara) dan bahasa Makassar karena selama ini sudah terjadi kawin mawin dengan orang Makassar khususnya Kampung Ara, Desa Timpuseng yang berbatasan dengan Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep. Setelah kedua komunitas masyarakat tersebut bergabung dalam bentuk kawin mawin dan berkembang hingga terbentuklah suatu sistem pemerintahan yang pada akhirnya disebut dengan distrik Camba.
Sejak tahun 1826 (masih pada zaman penjajahan Hindia Belanda) masyarakat sudah mulai memikirkan kegiatan yang dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara membuka lahan dan melakukan kegiatan bercocok tanam tanaman jangka pendek atau tanaman semusim seperti padi, jagung, kacang, ubi, dan tanaman jangka panjang. Tanaman jangka panjang yang dipilih oleh masyarakat adalah kemiri.2
Tanaman kemiri dipilih oleh masyarakat dengan alasan bahwa buah kemiri disamping sebagai tanaman
2 Kemiri merupakan tanaman rempah-rempah yang diperkenalkan oleh pemerintah Belanda kepada komunitas jajahannya seperti di Maluku dan kerajaan-kerajaan mitranya seperti kerajaan Bone. Kemiri sebagai tanaman jangka penjang pada awalnya hanya merupakan tanam inikator kepemilikan lahan yang ditinggalkan oleh petani karena masa kesuburannya mulai berkurang sebelum berpindah ketempat lain untuk membuka lahan baru, kemiri juga merupakan tanaman yang memiliki fungsi untik kebutuhan minyak untuk penerangan di malam hari, rempah-rempah, dan obat-obatan.
Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat Di Kabupaten Maros
Sulawesi Selatan
Muspida
225
rempah-rempah untuk kebutuhan dapur rumah tangga juga biji kemiri memiliki minyak yang dapat dipakai sebagai minyak untuk menyalakan lampu pelita di malam hari. Lampu atau pelita yang dinyalakan di malam hari disebut pelleng. Pelleng adalah nama sehari-hari kemiri yang dikenal masyarakat bugis. Kearifan Lokal Masyarakat Membangun Hutan Kemiri Pengertian kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutan kemiri rakyat dalam bahasan ini meliputi serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat (human kapital) dalam mengelola hutan kemiri. Kegiatan yang dimaksud meliputi kegiatan persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan tanaman, pemungutan hasil, dan pemasaran hasil. Deskripsi masing-masing kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: Persiapan Lahan Kegiatan persiapan lahan ini dilaksanakan pada akhir musim kemarau yaitu pada bulan Agustus atau September dengan cara menentukan lokasi, membuka lahan dan mengolahnya untuk persiapan penanaman kemiri dan tanaman semusim, seperti kacang tanah dan jagung. Pada kegiatan ini biasanya petani dibantu oleh beberapa anggota keluarganya. Adapun tahap tahap dalam persiapan lahan ini meliputi: Penentuan Lokasi
Para petani kemiri pada umumnya dalam penentuan lokasi penanaman kemiri lebih memilih daerah yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalnya, topografinya datar dan berada pada daerah lembah serta kemiri masih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian tersebut. Apabila petani tidak memiliki lokasi yang demikian, terpaksa petani tersebut mencari lokasi yang lebih jauh dari pemukimannya.3 Terdapat 4 (empat) kriteria yang biasanya digunakan petani dalam menentukan lokasi yang akan dijadikan sebagai areal lahan pengelolaan, yaitu : Lebba (lokasi yang berada diantara gunung), Lappa (lokasi terbuka, datar, dan jauh dari gunung, Empe (lokasi yang miring atau emper gunung), dan Garoppo (lokasi yang medannya berbatu). Lokasi yang umumnya dipilih oleh masyarakat untuk usaha tanaman kemiri adalah lebba. Sementara untuk tanaman tahunan dan musiman pada umumnya dialokasikan pada daerah yang datar dan terbuka (lappa). Keempat kriteria tersebut juga dijadikan masyarakat sebagai pertimbangan dalam menentukan nilai lahan yang akan diperjual belikan. Pembukaan Lahan
Sebelum kegiatan pembukaan lahan dilakukan, terlebih dahulu petani menentukan batas-batas lahan yang akan dibuka. Kegiatan pembukaan lahan dilaksanakan pada akhir musim kemarau yaitu pada bulan Agustus dan bulan September. Selanjutnya petani melakukan pembatasan vegetasi dimulai pada tumbuhan bawah seperti semak, dan alang-alang, kemudian menebang pohon-pohon yang besar dengan menggunakan parang, kapak, cangkul dan linggis. Pohon yang telah ditebang dipergunakan untuk keperluan kayu bakar, bahan pagar areal, dan bahan bangunan. Sisa-sisa kayu yang tidak digunakan lagi, dibiarkan kering selama beberapa hari, untuk persiapan pembakaran areal. Setelah semak-semak dan pohon-pohon sudah agak kering, serta kayu besar yang
3 Pola pemukiman masyarakat dalam kawasan hutan adalah menyebar mengikuti lahan sehingga petani dapat melakukan budidaya, baik tanaman semusim di bawa tegakan kemiri maupun tanaman kemiri secara lebih efisien.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
226
bermanfaat telah diambil maka dilakukan pembakaran.
Selain untuk tujuan pembersihan lahan, kegiatan pembakaran juga bertujuan agar tanah menjadi panas sehingga memudahkan perkecambahan benih kemiri4. Selanjutnya, sisa-sisa kayu yang tidak habis terbakar dipotong-potong untuk disiapkan dibakar kembali. Kegiatan pembukaan lahan dilakukan oleh pemilik lahan atau orang yang dipercayakan untuk mengelola lokasi/lahan dengan istilah Pakkoko atau Paddare. Pakkoko atau Paddare memiliki hak untuk mengelola lahan tersebut selama kurang lebih tiga tahun untuk menanami tanaman semusim seperti Liaya, jagung, kacang, tomat dan cabe disamping tanaman kemiri sebagai tanaman utama. Setelah tanaman kemiri tersebut mencapai usia empat tahun atau usia mulai belajar berbuah maka lahan tersebut diserahkan kembali kepada pemiliknya sebagai kebun kemiri, dan hak pengelolaan paddare atau pakkoko telah habis5. Pembersihan dan Pengolahan Tanah.
Pada kegiatan ini, lahan dibersihkan dari sisa-sisa pembakaran serta dilakukan penggemburan tanah untuk persiapan penanaman tanaman semusim. Kegiatan pengolahan tanah dilakukan pembuatan terasering pada
4 Pola usaha tani kemiri yang dilakukan petani mulai dari pembersihan lahan sampai persiapan pembibitan merupakan pengetahuan yang diperoleh secara turun temurun kemudian berkembang berdasarkan pengalaman bertahun-tahun mengelola kemiri (kearifan local) yang dalam bahasan ini dikenal dengan human capital atau modal manusia dalam bentuk keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan non formal. 5Kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan hutan kemiri diperkuat dengan modal social (saling percaya) anatar Pakkoko (petani penggarap) dengan pemilik lahan.
daerah lereng dan pada daerah datar tidak dibuat terasering, sehingga potensi terjadinya erosi relatif kecil.
Pengadaan Bibit
Hal yang paling menentukan keberhasilan dalam penanaman yaitu pengadaan bibit. Pengadaan bibit dilakukan terdiri atas dua kegiatan yaitu pengadaan benih dan pengadaan bibit. Berdasarkan pengalaman masyarakat selama ini, pohon yang dipilih sebagai sumber benih (pohon induk) adalah pohon kemiri yang berumur lebih dari 15 tahun, berbuah lebat dan berbuah setiap tahun, mempunyai tajuk yang lebar, kualitas buah baik yang dicirikan dengan isinya utuh atau tidak pecah pada saat dikupas dan berasal dari buah yang berbiji dua (kabba) atau berbiji tiga (katte). Kriteria pohon induk yang dipilih masyarakat tersebut sejalan dengan kriteria pohon induk kemiri yang dikemukakan oleh Tanrang (1985) dalam Suhartati dkk (1994), yaitu pohon yang pertumbuhannya baik, batang tegak, sehat, tidak terserang hama dan penyakit, berbuah lebat, berumur 10 – 30 tahun. ` Kriteria-kriteria yang digunakan oleh petani pengelolah hutan kemiri rakyat untuk memilih benih yang baik adalah benih yang tidak cacat, ukurannya sedang (tidak terlalu besar atau terlalu kecil), kondisinya sehat (utuh dan tidak terserang hama atau penyakit). Biji yang bentuknya gepeng (pipih) dan pangkalnya ada lekukan adalah biji betina sedangkan biji yang bentuknya bulat adalah biji jantan. Pada umumnya biji yang pipih (betina) lebih cepat berkecambah dipersemaian dibanding biji yang bulat atau jantan.
Berdasarkan jumlah biji yang terdapat di dalam satu buah kemiri, terdapat tiga tipe buah kemiri, yaitu buah kemiri yang didalamnya terdapat satu biji atau dua biji atau tiga biji. Buah yang dipilih sebagai benih adalah buah
Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat Di Kabupaten Maros
Sulawesi Selatan
Muspida
227
yang di dalamnya terdapat dua biji kemiri (kabba) dengan asumsi bahwa kemiri kabba ukurannya sedang dan bijinya pipih. Menurut kepercayaan dan pengalaman masyarakat, tanaman kemiri yang berasal dari biji pipih dengan ukuran yang sedang mempunyai produksi yang jauh lebih tinggi dibanding kemiri yang bersumber dari biji yang bulat (jantan) dan biji yang berisi tiga. Kriteria pemilihan benih yang digunakan oleh masyarakat/petani tersebut sejalan dengan pendapat Sunanto (1994) yang mengemukakan bahwa biji yang baik untuk benih yaitu kemiri yang masak dengan kriteria buah yang telah tua dan jatuh dari pohon , bentuk biji pipih (bertina) dan jika dikecambahkan akan lebih cepat dibanding dengan biji yang bulat. Pengambilan benih dari pohon induk dilakukan pada bulan November yakni pada akhir musim berbuah atau kurang lebih tiga bulan sebelum penanaman. Benih tersebut dikumpulkan kemudian dikeringkan selama satu hari lalu disimpan di gudang petani.
Cara masyarakat dalam memperoleh benih dilakukan dengan saling memberi informasi siapa pemilik benih kemiri yang unggul dan biasanya tidak diperjual belikan melainkan diberikan secara sukarela karena disamping jumlahnya tidak terlalu banyak, pemilik benih memiliki nilai sosial dari keunggulan benihnya itu sehingga lahir istilah dalam masyarakat kemiri dengan mengikut sertakan nama pemiliknya yang akan dikenang secara turun temurun.6
6 Benih diperoleh melalui dukungan modal sosial yang kuat seperti jaringan informasi tentang benih kemiri yang unggul serta ketulusan pemilik benih memberikan benihnya untuk dikembangkann karena memiliki nilai sosial yang tinggi yaitu dikutkan nama
Pengadaan Bibit
Bibit tanaman kemiri diperoleh melalui persemaian atau dari anakan yang tumbuh secara alami di bawah pohon kemiri. Pengadaan bibit melalui persemaian membutuhkan waktu yang lama yaitu antara 5 – 7 bulan dan biaya yang relatif besar, akan tetapi prosentase pertumbuhannya lebih besar dibandingkan pengadaan bibit secara alami (anakan alam). Pemilihan bibit dari anakan alam dilakukan dengan memperhatikan induk pohon kemiri di atasnya . Anakan alam yang diambil oleh petani adalah anakan alam yang terdapat di bawah pohon kemiri yang pertumbuhannya baik, batang tegak, sehat, tidak terserang hama dan penyakit serta berbuah lebat, berumur lebih dari 10 tahun. Pengambilan bibit dilakukan dengan sistem cabutan. Keuntungan dari pengadaan bibit dari anakan alam ini adalah waktu yang dibutuhkan relatif singkat dan biaya lebih murah, akan tetapi prosentase tumbuhnya lebih rendah dibanding pengadaan bibit melalui persemaian. Penanaman Setelah kegiatan pembakaran dan pembersihan lahan dilakukan, dilanjutkan dengan kegiatan penanaman, pada awal musim hujan. Pengetahuan dan keterampilan petani dalam usahatani kemiri (modal manusia ayau human capital) umumnya dilakukan dengan dua cara tergantung material atau bahan tanaman yang akan ditanam. Cara pertama, yang ditanam adalah benih tanpa melalui proses persemaian, sedangkan cara kedua yang ditanam adalah benih atau bibit.
Pada cara pertama, setelah lahan dibersihkan dilakukan penanaman benih kemiri sedalam 10 – 20 cm, selanjutnya di atas permukaan
pemilik terhadap benih yang dikembangkan .
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
228
tanah yang sudah ditanami benih ditutupi dengan semak yang sudah kering secara merata, untuk kemudian dilakukan pembakaran. Hal ini dimaksudkan agar tanah menjadi panas sehingga merangsang benih untuk cepat berkecambah. Setelah lahan tersebut tersiram oleh air hujan maka paling lambat dua minggu kemudian benih kemiri tersebut sudah berkecambah. Cara ini sudah jarang dilakukan oleh petani karena sulit untuk dilaksanakan.
Penanaman cara kedua dilakukan dengan menanam benih atau bibit setelah lahan dibakar dan dibersihkan. Benih kemiri ditanam sedalam 20 cm atau sampai ujung dari benih kemiri kelihatan sedikit di atas permukaan tanah, benih akan berkecambah setelah 2–3 minggu. Penanaman dalam bentuk bibit dilakukan dengan membuat lubang tanam 20 x 15 x 15 cm, cara ini sering dilakukan masyarakat karena praktis, dan prosentase perkecambahan biji kemiri biasanya berkisar 70 – 80 %7.
Masyarakat pengelola hutan kemiri di kompleks hutan Camba mempercayai bahwa untuk menghasilkan buah yang banyak, maka pada saat penanaman kemiri, benih yang pertama ditanam harus diisi dengan benih jantan dan betina secara bersama-sama di dalam satu lubang tanam. Hal ini dilatarbelakangi oleh realitas kehidupan makhluk hidup yang diciptakan berpasang-pasangan sehingga dapat menghasilkan turunan yang banyak. Agar bibit kemiri yang ditanam pohonnya tidak terlalu tinggi,
7 Model penanaman yang dilakukan oleh petani melalui dua cara merupakan keterampilan dan pengetahuan (human capital) yang diperoleh secara turun temurun berdasarkan pada pengalaman terhadap berbagai cara yang dilakukan baik dilihat dari lama pertumbuhan maupun prosentase pertumbuhan biji kemiri.
maka penanaman bibit kemiri dilakukan pada siang hari pada saat tinggi bayangan tidak lebih tinggi dari tinggi badan si penanam. KepercayaaN ini masih berlangsung di dalam komunitas masyarakat pengelola hutan kemiri di kawasan hutan Camba8. Waktu penanaman kemiri biasanya dilakukan pada awal musim hujan yaitu akhir bulan November atau bulan Desember untuk selanjutnya dilakukan penanaman tanaman semusim seperti kacang tanah, dan sayur-sayuran. Usaha tani ini dilakukan selama 2 sampai 3 tahun atau sampai tanaman semusim tidak dapat diusahakan lagi karena lahan tersebut sudah tertutup oleh tajuk tanaman kemiri. Jarak tanam tanaman kemiri yang dilakukan oleh petani bervariasi, tergantung dari tujuan yang diharapkan oleh petani. Jika lahan yang diusahakan direncanakan untuk penanaman tanaman sela maka jarak tanam kemiri yang digunakan adalah 10 X 10 meter atau 8 X 8 meter. Bila lahan yang digarap tidak direncanakan untuk penanaman tanaman sela maka jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 6 meter atau 5 X 7 meter. Pengetahuan dan pengalaman masyarakat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sunanto (1994) bahwa penanaman kemiri dengan sistem tumpang sari, jarak tanam yang digunakan sebaiknya 6 X 6 meter atau 8 X 8 meter. Akan tetapi apabila lahan tidak direncanakan untuk tanaman sela maka jarak tanaman sebaiknya dibuat lebih rapat.
Secara umum bahwa pengelolaan areal hutan kemiri yang dilakukan oleh masyarakat di kompleks hutan Camba adalah dengan pola
8 Petani dalam megelola hutan kemiri rakyat selain dilakukan berdasarkan pengalaman juga berdasarkan kepercayaan dan filosopi kehidupan manusia.
Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat Di Kabupaten Maros
Sulawesi Selatan
Muspida
229
monokultur yaitu hanya menanam tanaman kemiri saja dan pola agroforestry tradisional yaitu dengan memadukan tanaman jati, kemiri, coklat/kakao, jagung, jahe, vanili dan kacang tanah. Pada saat musim kemarau aktivitas berkebun lebih kepada penanaman tanaman pertanian seperti kacang tanah, jagung dan bawang merah. Pada saat musim hujan aktivitas banyak dilakukan di sawah.
Tahapan-tahapan pengelolaan hutan kemiri oleh masyarakat disekitar kawasan hutan camba dengan pola agroforestry dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Diskripsi Tahapan Pengelolaan Hutan Kemiri dengan Pola Agroforestry.
Tahun/ Kagiatan
Diskripsi Pengelolaan
I Persiapan lahan
Areal dibersihkan dan dibakar sebagai persiapan penanaman Tanaman kemiri dan diapadukan dengan tanaman semusim seperti Jagung, dan Kacang tanah diantara sela-sela tanaman kemiri.
II Pemeliharaan Tanaman kemiri dan tanaman semusim
Pakkoko/Paddare agar tetap memelihara dan menjaga bibit kemiri yang telah ditanam maka dilakukan tanaman semusim diantara sela-sla tanaman kemiri. Hal ini dilakukan agar proses pemeliharaan tetap berlangsung.
III Pemeliharaan Tanaman kemiri dan tanaman semusim
Pakkoko/Paddare tatap melakukan penanaman tanaman semusim agar kegiatan di areal tanaman kemiri tetap berjalan, karena pemeliharaan dan perawatan kemiri berupa pemupukan dilakukan pada tahun pertama hingga tahun ke empat.
IV Pemusatan pemeliharaan pada tanaman kemiri.
Penanaman tanaman semusim tidak lagi dilakukan karena tanaman kemiri sudah mulai berdaun lebat sehingga tidak memungkinkan lagi dilakukan tanaman disela-sela tanaman kemiri.
V Pemungutan hasil
Tanaman Kemiri mulai belajar berbuah
Sumber : Data Kualitatif yang telah diolah, 2007
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
230
Pemeliharaan Tanaman Kemiri
Pemeliharaan tanaman dilakukan terutama untuk menghilangkan persaingan dengan gulma. Pemeliharaan ini dilakukan secara intensif selama tiga tahun pertama oleh pakkoko dimana pada saat itu masih bisa dilakukan penanaman tanaman tumpangsari diantara tanaman kemiri seperti cabe, jahe,tomat dan sayur-sayuran. Setelah umur tiga tahun pakkoko tidak dapat lagi menanam tanaman semusim, hanya menunggu hasil lahan lain seperti pisang selama kurang lebih satu tahun dan setelah itu pakkoko berangsur-angsur meninggalkan lahan sampai kemiri sudah siap untuk berproduksi. Pemeliharaan tanaman selanjutnya tidak lagi dilakukan secara intensif9. Pemeliharaan tanaman kemiri hanya dilakukan pada saat menjelang pemungutan hasil atau hanya sekali dalam setahun. Petani yang melakukan pemeliharaan kemiri secara rutin adalah petani yang mempunyai lahan relatif datar serta dekat dengan pemukiman. Pola pengelolaannya dilakukan secara campuran dengan tanaman lain seperti coklat atau kopi. Pemeliharaan secara berkala dilakukan petani hanya dalam waktu-waktu tertentu seperti saat berbunga atau pada saat mulai berbuah. Bentuk pemeliharaan secara berkala berupa penebasan atau pembersihan tanaman-tanaman pengganggu yang ada dibawa tegakan pohon kemiri. e. Pemungutan Hasil
Proses pemungutan hasil meliputi tiga tahap, yaitu panen raya (makkampiri), panen susulan (mabbali),
9 Hak dan kewajiban pakkoko dalam mengelola tanaman kemiri adalah 3 – 4 tahun atau sampai pohon kemiri tidak dapat lagi dilakukan budidaya di bawa tegakan yang selanjutnya tanaman kemiri diserahkan kepada pemilik lahan.
dan panen akhir (makkalice). Pada tahap panen raya dan panen susulan, pemungutan kemiri dilakukan oleh pemilik dibantu oleh anggota keluarga dan atau masyarakat di sekitarnya dengan sistem upah10. Sebelum tenaga kerja upahan tersebut bekerja, terlebih dahulu pemilik kemiri memberitahukan batas-batas yang akan dipanen agar tidak memungut kemiri orang lain. Pemanenan ini dilakukan dengan memungut buah yang jatuh dari pohonnya sehingga biji kemiri yang dipanen betul-betul sudah tua. Proses panen raya ini meliputi dua tahap, yaitu tahap pemungutan dan tahap pengupasan (abbibireng). Pada tahap pemungutan, semua tenaga kerja bersama-sama memungut buah kemiri yang jatuh dari pohonnya kemudian mengumpulkannya pada suatu tempat yang telah ditentukan, pemungutan biasanya berlangsung dari pagi hingga makan siang, setelah makan siang hingga saat pulang dilakukan tahap pengupasan atau abbibireng. Kemiri yang sudah dikupas kulitnya dibawa ke rumah pemilik oleh pemungut dan dilakukan pembagian hasil atau pembayaran jasa. Sebelum ditampung di gudang, pemilik kemiri mengeringkan kemirinya dengan menjemur selama 2 – 3 hari.
Tahap pemungutan hasil yang kedua adalah mabbali. Kegiatan ini dilakukan apabila setelah panen raya, buah kemiri yang belum terpanen (belum jatuh dari pohon) pada saat makkampiri atau buah susulan masih
10 Aturan upah tenaga pemungut (pakkampiri) pada umumnya dengan cara bagi hasil yaitu 3 : 1 artinya tiga bagian untuk pemilik lahan dan satu bagian untuk pemungut hasil (pakkampiri) atau dikonversi dalam bentuk uang yaitu Rp.25.000,- per hari. Umumnya tenaga pakkampiri berasal dari sanak keluarga terdekat atau orang-orang yang datang untuk menjadi tenaga pemungut (pakkampiri).
Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat Di Kabupaten Maros
Sulawesi Selatan
Muspida
231
banyak, sehingga pemilik memutuskan untuk memanennya pada periode pemanenan berikutnya. Kegiatan mabbali ini dilakukan paling lambat sampai akhir bulan Januari. Dalam kondisi produktifitas kemiri yang menurun selama lima tahun terakhir ini, kegiatan mabbali tidak banyak dilakukan, sehingga setelah panen raya, kegiatan pemungutan selanjutnya diserahkan kepada masyarakat umum di sekitarnya dalam bentuk makkalice. Makkalice, merupakan tahap ketiga dari periode pemungutan hasil kemiri, yang dilakukan setelah makkampiri dan mabbali selesai yang ditandai dengan dibukanya hompong oleh pemilik lahan, dan telah diumumkan oleh pemerintah atau tokoh masyarakat setempat kepada masyarakat. Makkalice umumnya dilakukan pada bulan Pebruari. Orang yang melaksanakan kegiatan makkalice disebut pakkalice. Buah kemiri yang dipungut oleh pakkalice adalah buah sisa dari kegiatan makkampiri dan mabbali. Pakkalice berhak sepenuhnya atas buah kemiri yang dipungut selama makkalice tanpa harus melapor atau membagi kepada pemilik lahan. Kewajiban pakkalice adalah membersihkan tegakan kemiri dari gulma agar pertumbuhannya tetap membaik dan diharapkan menghasilkan buah yang lebih banyak di musim mendatang. Pengelolaan Pasca Panen Pengelolaan pasca panen untuk tanaman kemiri antara lain berupa kegiatan pengupasan/ pemecahan (maddeppa). Kegiatan pengupasan dapat dilakukan setelah pengeringan dengan menggunakan sinar matahari selama 12 jam sekitar kurang lebih 2 hari atau pengeringan dengan panas bara api berbahan bakar kayu atau kulit kemiri selama 12 jam.
Proses pemecahan masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat pemecah disebut paddeppa. Alat ini terbuat dari rotan yang dianyam dan batu sungai yang permukaannya berbentuk datar sebagai tempat hentakan. Pemasaran - Penjualan Penjualan produksi kemiri oleh petani pada umumnya tidak menemui banyak hambatan. Petani akan menjual kemiri jika harga pembelian oleh pengecer maupun pedagang berada pada harga yang cukup tinggi atau dipengaruhi oleh mendesaknya kebutuhan akan uang tunai. Harga kemiri biasanya akan naik pada awal musim hujan untuk setiap tahunnya. Petani yang memiliki lebih dari 50 kg kemiri biasanya langsung dijual kepada pedagang pengumpul besar yang ada di kota Makassar dengan sistem pengiriman melalui sopir mobil dengan biaya transportasi Rp.250 per kg. Sedangkan jika jumlah kemirinya kurang dari 50 kg biasanya petani menjualnya pada pedagang pengumpul kecil atau dipasar desa. Informasi Pasar
Sampai saat ini informasi harga masih berjalan satu arah yaitu dari pedagang ke petani, sehingga peran pedagang dalam menentukan harga sangat dominan. Posisi tawar yang lemah11, informasi pasar yang kurang ke masyarakat merupakan salah satu kendala pemasaran kemiri sehingga tiap rumah tangga berinisiatif secara swadaya untuk memasarkan sendiri hasil panennya. Hal ini berdampak pada tidak stabilnya harga, harga di tingkat petani sangat tergantung dari pedagang yang cenderung rendah. Hal lain yang menjadi kendala dalam pemasaran kemiri adalah jarak pengangkutan dari
11 Informasi pasar (jaringan informasi dalam modal social) yang lemah menyebabkan harga kemiri di tingkat petani tidak stabil, penentuan harga sangat didominasi oleh pedagang.
Jurnal Hutan Dan Masyarakat
Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234
232
produsen sampai ke pasar, sistem penyimpanan dan penanggulangan yang masih bersifat konvensional serta belum adanya standarisasi kualitas kemiri yang layak di pasar. Semua tahapan kegiatan sistem pengelolaan hutan kemiri yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan hutan camba merupakan kegiatan yang telah diusahakan secara tradisional dan turun temurun, dimana telah terbangun suatu sistem pengelolaan yang dibentuk melalui kebiasaan, adat istiadat, pengalaman, kesepakatan tidak tertulis, dan pengetahuan lokal masyarakat atau modal manusia ( Ritchie, 2001). KESIMPULAN Kearifan lokal dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan penting dalam memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumberdaya alam dalam mengelola hutan kemiri, juga terdapat berbagai hal poisitif yang terkandung di dalamnya bagi kepentingan generasi di masa mendatang. Masyarakat di ketiga Kecamatan di Kabupaten Maros memiliki sistem nilai, pengetahuan, teknologi, dan sistem kelembagaan dalam mengelola hutan kemiri mereka. Meskipun sifatnya tradisional, tetapi hal itu mengandung kearifan dalam mengelola hutan mereka. Kearifan lokal ini perlu dipertahankan, meskipun masih diperlukan kontrol dari pemerintah, terutama jika kegiatan pembabatan hutan dan pembakaran lahan mengancam ekosistem. Tradisi pengelolaan hutan kemiri juga membutuhkan sentuhan program pemberdayaan masyarakat, agar mereka tidak semata-mata berorientasi pada eksploitasi hutan, tetapi juga mereka dapat menjaga keseimbangan lingkungan.
Dalam kaitan hal di atas, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, hal yang mengancam keberlanjutan dan kelestarian pengelolaan hutan kemiri di Kabupaten Maros adalah adanya kecenderungan petani mengkonversi hutan kemiri menjadi komoditi lain, disebabkan karena keterbatasan akses masayrakat untuk melakukan peremajaan terhadap tegakan kemiri tua yang dalberdasarkan kriteria TGHK masuk dalam kawasan hutan, disis lian ketergantungan penduduk terhadap hutan kemiri dangat tinggi seiring dengan pertambahan penduduk dan melemahnya sistem kelembagaan yang ada. Kedua,diperlukan adanya kebijakan untuk mengembangkan hutan kemiri agar tidak menjadi perubahan yang signifikan yang dapat merusak keberlanjutan dan tata nilai baik dalam bentuk kelembagaan masyarakat maupun kearifan lokal dalam pengelolaan hutan kemiri yang ada pada masyarakat, sehingga hak kepemilikan lahan melalui pengakuan masyarakat dapat dipertahankan. DAFTAR PUSTAKA Amien, M, 2003. Kemandirian Lokal : Perspektif Sains baru terhadap organisasi, Pembangunan, dan Pendidikan, Lembaga Penerbitan Unhas, Makassar Awang.S.A. 2003 Politik Kehutanan Masyarakat, Center for Critical Social Studies (CCSS), Kreasi Wacana Yogyakarta. Awang.S.A. dkk. 2001. Gurat Hutan Rakyat Di Kapur Selatan, DEBUT Press, Yogyakarta. .
Esman. M.J and Uphoff. N. 1984. Local Organizational Rural Development Kumarian
Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat Di Kabupaten Maros
Sulawesi Selatan
Muspida
233
Press. New York. Gany.A, 1994. Pengembangan Sistem Pendidikan Pertanian Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia Pertanian. Prosiding Lokakarya Nasional, PERHEPI, Jakarta. Mahfud,M.M.D. 1999. Hubungan antara Negara dan Rakyat dalam Hubungannya dengan Sumberdaya Hutan. Dalam Awang.S.A (ed) 1999. Forest for People Berbasis Ekosistem BIGRAF Publishing. Yogyakarta. . Muspida, 2002, Kelembagaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Tesis Program Pascasarjana UNHAS, Makassar. Muspida, 2008, Modal Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Di Kabupaten Maros, Disertasi, Program Pascasarjana UNHAS, Makassar Sardjono M.A, 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan : Masyarakat lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya, DEBUT Press, Jogjakarta. Sirait, 2000 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Kerjasama FKKM dan Ford Fundation, Aditya Media, Yogyakarta. Sotrisno,L.1993, Problematika Sosial Masyarakat Sekitar kawasan Hutan di Indonesia dan Etika Pemanfaatan Sumberdaya Hutan. Fahutan UGM, Yogyakarta.
Suharjito, D, 2000, Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Aditya Media, Yogyakarta.
Supratman (2006). Mencari Nilai Inti pengembangan CBFM di Sulawesi Selatan, Belum diterbitkan, Makassar. Uphoff, Norman ,1986, Local Institutional Development, Kumarian Press. New York. Yin, R.K. 2000. Studi kasus (Desain dan Metode) eds Terjemahan Raja Grafindo, Jakarta Yusuf.Y, 2005, Analisis Performansi dan Pengembangan Hutan Kemiri Rakyat di Kawasan Pegunungan Bulusaraung Sulawesi Selatan, Disertasi, Institut Pertanian Bogor, Bogor